”Aliansi Teh Susu” Bergerak Bersama Rakyat Myanmar
Gerakan lintas batas dan lintas platform berusaha menggugah pikiran dan perasaan warga Asia bahwa ada saudara mereka sedang berjuang hingga titik darah penghabisan agar bisa kembali menerapkan demokrasi di negara mereka.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
NAYPYIDAW, SENIN — Aktivis di banyak kota besar di Asia, Minggu (28/2/2021), berunjuk rasa mendukung gerakan pembangkangan rakyat Myanmar yang tengah berjuang menghadapi kudeta militer dalam sebuah gerakan yang disebut ”Aliansi Teh Susu”. Tagar #MilkTeaAlliance bergema tidak hanya di platform media sosial, tetapi juga di jalanan.
Menyusul seruan yang menggema di dunia maya, di berbagai platform media sosial, ratusan orang di Taipei, Bangkok, Melbourne, dan Hong Kong turun ke jalan sambil melambaikan tanda dan bendera #MilkTeaAlliance.
Tagar, yang berasal dari protes terhadap serangan daring atau doxing kaum nasionalis China, digunakan jutaan kali saat hal ini muncul pada Minggu petang. Tagar ini diambil dari kecintaan yang sama warga di beberapa negara, yaitu Thailand, Hong Kong, dan Taiwan, atas minuman yang dikenal sebagai teh susu.
Para aktivis di Indonesia dan Malaysia melangsungkan aksi protes sebagai dukungan terhadap perjuangan rakyat Myanmar secara daring, diikuti oleh ribuan lainnya di seantero Asia Tenggara, dengan cara memukul panci selama beberapa menit. Mereka juga mem-posting berbagai pesan dan karya seni sebagai bagian dari dukungannya.
Perjuangan rakyat Myanmar menentang kudeta menjadi perjuangan paling berdarah setelah gerakan pembangkangan dimulai pada 3 Februari lalu. Setidaknya 21 pengunjuk rasa tewas sejak militer merebut kekuasaan dari tangan pemerintahan sipil.
”Ketika kita melihat rakyat Myanmar yang berani turun ke jalan, menghadapi meriam air, gas air mata, pentungan, dan peluru, ingatan menyakitkan muncul. Pengunjuk rasa Hong Kong juga menderita akibat ini pada 2019. Hari ini kami ingin menunjukkan solidaritas kami,” kata Debby Chan, peneliti hubungan Sino-Myanmar yang ikut serta dalam unjuk rasa di Hong Kong.
Para pegiat Hong Kong mendaki gunung kecil, Lion Rock atau Bukit Singa, landmark kota Hong Kong, sambil memegang tanda #MilkTeaAlliance dan yang menyerukan diakhirinya kediktatoran di Myanmar.
Para pendukung prodemokrasi mengatakan, koalisi solidaritas pan-Asia prodemokrasi, yang sedang tumbuh sekarang, memainkan peran yang konsisten dalam membantu para aktivis memobilisasi gerakan. Gerakan lintas batas wilayah dan bahkan lintas platform berusaha menggugah pikiran dan perasaan warga Asia bahwa ada saudara mereka sedang berjuang hingga titik darah penghabisan agar bisa kembali menerapkan demokrasi di negara mereka meski harus ada korban jiwa.
”Aktivis Myanmar sangat aktif terlibat dengan Aliansi Teh Susu sejak kudeta. Kami merasa seperti berada di sana, bersama-sama dengan mereka,” kata aktivis Thailand, Rathasat Plenwong.
Perlawanan
Akan tetapi, dukungan yang berlimpah terhadap gerakan pembangkangan rakyat Myanmar tampaknya tidak menghentikan aparat keamanan melakukan tekanan dan bahkan melakukan kekerasan terhadap warga. Polisi Myanmar menembakkan peluru karet untuk membubarkan aksi warga di seluruh wilayah kota di Myanmar.
Aparat keamanan meningkatkan penggunaan kekuatan bersenjata untuk membungkam perbedaan pendapat. Mereka menggunakan gas air mata, meriam air, peluru karet, dan bahkan peluru tajam untuk membubarkan protes warga.
”Apa yang polisi lakukan? Mereka melindungi diktator gila,” teriak para pengunjuk rasa saat mereka diusir oleh polisi.
Ratusan pengunjuk rasa etnis Mon berkumpul di kota Yangon bersama kelompok minoritas lainnya untuk memprotes kudeta. Mereka menyebar ke berbagai jalan dan perumahan, membangun barikade darurat dari kawat berduri dan meja untuk menghentikan polisi yang mencoba mendekat. Banyak yang memakai helm dan masker gas, serta menggunakan perisai buatan sendiri untuk perlindungan.
”Kami akan mencoba mencari cara lain untuk memprotes, tentu saja, kami takut akan tindakan keras mereka. Kami akan berjuang sampai kami menang,” kata Moe Moe (23), pengunjuk rasa, yang menggunakan nama samaran.
Setidaknya tiga wartawan termasuk di antara mereka yang ditahan, termasuk seorang fotografer Associated Press, seorang jurnalis video dari Myanmar Now, dan seorang fotografer dari Myanmar Pressphoto Agency.
Di dekat persimpangan Hledan, beberapa butir granat kejut ditembakkan. Menurut wartawan AFP, dan sumber polisi, lebih dari 140 orang telah ditangkap. Aye Myint Kyi, seorang ibu, mengkhawatirkan kondisi putrinya yang didengarnya dibawa oleh aparat keamanan. ”Saya tidak tahu ke mana dia dibawa. Dia ditangkap secara tidak adil,” katanya.
Sejak kudeta, lebih dari 770 orang telah ditangkap, didakwa dan dijatuhi hukuman, menurut kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik. Sebanyak 680 orang di antaranya masih berada di balik jeruji besi.
Thailand
Kondisi di Thailand tidak berbeda dengan Myanmar meski jumlah pengunjuk rasa jauh lebih sedikit. Meski begitu, polisi menembakkan peluru karet ke pengunjuk rasa yang ada di luar kediaman resmi Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha. Para pengunjuk rasa menyerukan pengunduran diri pemerintah PM Prayuth.
Sekitar 2.000 orang pengunjuk rasa berbaris dan berjalan dari Monumen Kemenangan menuju kediaman resmi PM Prayuth. Bentrokan antara pendemo dan polisi serta anggota militer yang menjaga kediaman PM Prayuth terjadi ketika ratusan pendemo menerobos kontainer dan barikade kawat berduri yang memisahkan kedua pihak.
”Mereka sedang mempersiapkan segalanya, perisai, tongkat, air dengan beberapa bahan kimia, dan peluru karet,” kata seorang pengunjuk rasa di garis depan.
Pusat Medis Darurat Erawan mengatakan, 16 pengunjuk rasa terluka dan seorang polisi pasukan antihuru-hara pingsan. Seorang perawat di Rumah Sakit Rajavithi mengatakan kepada AFP bahwa petugas tersebut meninggal. Meski demikian, perawat tersebut tidak menjelaskan keadaannya.
Setidaknya dua pengunjuk rasa ditangkap. Namun, polisi belum mengonfirmasi jumlah totalnya. Pengacara Thailand untuk Hak Asasi Manusia mengatakan, 19 orang ditangkap termasuk seorang anak berusia 16 tahun.
Gerakan prodemokrasi Thailand dimulai Juli lalu dan pada puncaknya menarik puluhan ribu orang yang kebanyakan anak muda. Tuntutan gerakan tersebut, dia antaranya adalah penulisan ulang konstitusi yang dirancang militer dan reformasi monarki—permintaan yang sangat tabu di negara di mana keluarga kerajaan yang sangat kaya telah lama tidak tersentuh. (AFP/Reuters)