Kota bak Zona Perang, Ribuan Warga Tinggalkan Yangon
”Di sini seperti zona perang, mereka menembak ke mana-mana,” ujar seorang aktivis buruh di Distrik Hlaing Tharyar, kawasan industri pinggiran kota Yangon, Myanmar.
Oleh
BENNY D KOESTANTO DAN LUKI AULIA
·4 menit baca
YANGON, KAMIS — Ribuan warga di kawasan industri Distrik Hlaing Tharyar, pinggiran Yangon, Myanmar, terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak Selasa (16/3/2021) setelah junta militer memberlakukan status darurat militer. Tidak ada yang bisa mengabarkan situasi di daerah itu karena jaringan internet diputus oleh junta. Mayoritas warga di distrik pinggiran kota miskin itu adalah migran dan pekerja pabrik.
Unjuk rasa antikudeta militer terus mendidih di sejumlah lokasi di negara itu, Rabu (17/3/2021). Unjuk rasa secara keseluruhan berlangsung damai, kecuali di Yangon yang diwarnai bentrokan antara warga dan aparat keamanan. Di kota itu, pendemo melontarkan berbagai benda dengan katapel raksasa dan melemparkan bom molotov setelah mereka ditembaki aparat junta.
Berdasarkan data Asosiasi Bantuan bagi Para Tahanan Politik (AAPP), yang mendokumentasikan jumlah korban, sejak kudeta 1 Februari hingga Selasa lalu tercatat sedikitnya 202 orang tewas dan 2.181 orang ditangkap atau didakwa. Rabu, sedikitnya dua orang tewas dalam unjuk rasa di wilayah barat laut negara tersebut.
Di pinggiran Yangon, Distrik Hlaing Tharyar menjadi medan peperangan dengan suara tembakan terdengar di mana-mana sepanjang Selasa. Akibatnya, warga takut ke luar rumah. Mereka akhirnya memilih meninggalkan rumah, membawa barang-barang seadanya dengan mengendarai sepeda motor dan kendaraan tuk-tuk. Sejumlah pabrik di Hlaing Tharyar dirusak, dijarah, dan dibakar.
”Di sini seperti zona perang, mereka menembak ke mana-mana,” ujar seorang aktivis buruh di distrik tersebut.
Myanmar bisa dikatakan kembali ke titik nol. Militer Myanmar mengudeta pemerintahan demokratis yang telah diakui dunia internasional pada 1 Februari lalu dan kembali memberlakukan aturan secara otoriter dan represif. Aparat dilaporkan semakin brutal dalam menghadapi pengunjuk rasa.
Sejumlah dokter mengungkapkan, di Hlaing Tharyar masih banyak korban terluka dan membutuhkan perawatan medis. Namun, tim medis tidak bisa masuk karena tentara memblokir jalan masuk.
Memburuknya situasi di Myanmar mengundang reaksi keras dari dalam dan luar negeri Myanmar. Asosiasi biksu Buddha paling kuat di Myanmar, Komite Negara Sangha Maha Nayaka, meminta junta mengakhiri kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Kelompok itu juga menuduh ”minoritas bersenjata” telah menyiksa dan membunuhi warga sipil tak berdosa sejak kudeta, bulan lalu.
Hal tersebut termuat dalam draf surat pernyataan komite itu. Sebagaimana diungkapkan portal berita setempat, Myanmar Now, pernyataan akhir akan dikeluarkan secara resmi setelah komite itu berkonsultasi dengan kementerian urusan agama Myanmar. Komite Negara Sangha Maha Nayaka adalah organisasi yang diakui dan ditunjuk Pemerintah Myanmar. Namun, dalam kecaman paling tegas atas tindakan brutal militer Myanmar, komite itu memilih bersuara keras.
Para biksu memiliki sejarah panjang aktivisme di Myanmar. Mereka, antara lain, berada di garis depan Revolusi Saffron tahun 2007 melawan kekuasaan militer. Aksi perlawanan yang menghadapi tekanan balik dari militer kala itu ikut membantu mengantarkan reformasi demokrasi Myanmar.
Seruan Paus
Seruan diakhirinya kekerasan militer di Myanmar kembali diungkapkan Paus Fransiskus. Paus, yang mengunjungi Myanmar pada 2017, mengatakan bahwa darah tidak menyelesaikan apa pun dan karena itu dialog harus dikedepankan. Sri Paus sangat prihatin dengan kondisi terbaru di Myanmar yang terus memakan korban.
Dalam audiensi mingguan secara virtual di Vatikan, Paus menyatakan, ”Bahkan saya siap berlutut di jalan-jalan Myanmar dan mengatakan ’hentikan kekerasan’.” Ungkapan ini mengingatkan aksi dramatis Suster Ann Rose Nu Tawng, 8 Maret lalu, saat ia berlutut di jalanan berdebu kota Myitkyina, meminta sekelompok polisi agar tidak menembaki pengunjuk rasa dan mengambil nyawanya sebagai ganti.
Komunitas internasional terus mengecam keras junta, beberapa di antaranya menjatuhkan sanksi. Perancis mengatakan, Uni Eropa akan menyetujui sanksi bagi pelaku dan semua yang terlibat dalam kudeta militer di Myanmar. Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian mengatakan, pengesahan persetujuan sanksi itu akan diputuskan pada pertemuan tingkat menteri luar negeri, Senin mendatang. Sanksi itu bisa berupa penangguhan semua anggaran dan menyasar kepentingan ekonomi siapa pun yang terlibat dalam kudeta militer.
Peringatan China
Pernyataan atas kondisi di Myanmar juga disampaikan Pemerintah China. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, di Beijing menyatakan, Myanmar harus mengambil tindakan ”yang lebih konkret dan lebih kuat” guna memastikan keamanan warga dan perusahaan China di Myanmar. Sebagaimana diwartakan, lebih dari 30 pabrik di Myanmar yang dimiliki atau didukung investor China dirusak dan dibakar dalam kekerasan di Yangon, Minggu (14/3/2021).
Televisi China, CGTN, sebelumnya juga memperingatkan akan kemungkinan terjadinya lebih banyak serangan lagi atas aset-aset China di Myanmar. ”China tidak akan membiarkan kepentingannya diserang. Jika otoritas Myanmar tidak bisa menyelesaikan masalah ini, China terpaksa bertindak tegas untuk melindungi kepentingannya,” sebut CGTN.
Dalam kunjungan resminya ke Myanmar pada Januari 2020, Presiden China Xi Jinping menyebut Myanmar adalah negara yang ditakdirkan senasib sepenanggungan dengan China. Pernyataan kala itu disampaikan untuk mendorong Myanmar secara tegas lebih dekat ke China dan menjauh dari Amerika Serikat. Myanmar menjadi salah satu bagian dari megaproyek Prakarsa Sabuk dan Jalan China, termasuk pipa minyak dan gas serta pelabuhan ke Samudra Hindia. (AP/AFP/REUTERS)