Pemerintahan Koalisi Sipil di Myanmar Bentuk Angkatan Bersenjata Tandingan
Pemerintah koalisi sipil di Myanmar mengumumkan pembentukan angkatan bersenjata, yang disebutkan sebagai rintisan menuju pembentukan tentara federal di negara itu.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
NAYPYIDAW, KAMIS — Pemerintahan Persatuan Nasional atau NUG, yang menjadi tandingan pemerintahan junta militer di Myanmar, membentuk angkatan bersenjata untuk melindungi para pendukungnya dari kekerasan aparat militer junta. Dalam pernyataan, Rabu (5/5/ 2021), NUG menyebut angkatan bersenjata baru itu adalah pelopor pembentukan Tentara Persatuan Federal dengan tanggung jawab ”menjalankan reformasi yang efektif di sektor keamanan guna mengakhiri 70 tahun perang saudara”.
Sejak kudeta militer, 1 Februari lalu, gelombang unjuk rasa terjadi tiap hari di Myanmar. Aparat militer junta menindaknya dengan kekerasan hingga ratusan warga sipil tewas.
Angkatan bersenjata bentukan NUG itu nantinya juga bertanggung jawab menangani serangan kekerasan aparat militer junta terhadap rakyat. NUG, pemerintahan koalisi sipil yang dibentuk sebagai perlawanan atas pemerintahan junta hasil kudeta, dibentuk pada bulan lalu. Mereka bertekad mengakhiri kekerasan, memulihkan demokrasi, dan membangun persatuan demokrasi federal.
Sudah tiga bulan lebih krisis Myanmar berlangsung, kekerasan aparat militer junta tak kunjung berakhir. Para penentang junta di beberapa daerah mulai memperkuat diri dengan persenjataan.
NUG tidak memberikan penjelasan detail tentang bagaimana angkatan bersenjata yang mereka bentuk nanti akan dikelola, dipersenjatai, atau akan melaksanakan tugasnya. Juru bicara NUG belum bisa dimintai komentar saat dikonfirmasi tentang hal itu.
Dalam sejumlah unjuk rasa antikudeta, para penentang kudeta telah menggunakan senjata rakitan sederhana. Sebagian penentang kudeta juga ikut berlatih militer bersama kelompok-kelompok perlawanan etnis minoritas yang bertempur melawan militer Myanmar sejak kemerdekaan tahun 1948.
Selain itu, dalam beberapa pekan terakhir di Myanmar semakin meningkat ledakan-ledakan kecil di sejumlah kota besar dan kota kecil, antara lain menarget kantor-kantor pemerintah dan fasilitas militer. Bentuk kekerasan lainnya, misalnya, ledakan bom yang menewaskan lima orang di daerah Bago, Senin lalu.
Harian pro-junta Global New Light of Myanmar menyebutkan, aparat militer junta menemukan kabel, baterai, telepon yang rusak, dan bagian-bagian dari telepon di lokasi ledakan. Ledakan bom rakitan itu juga menewaskan anggota partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi.
Anak-anak hilang
Selain kekerasan di jalanan saat unjuk rasa, aparat militer junta juga menangkapi anak-anak muda saat mereka menggeledah rumah warga di sejumlah daerah. Akibatnya, ratusan orang hilang, terutama anak muda laki-laki. Banyak keluarga tidak mengetahui keberadaan mereka.
Sejak Februari lalu diperkirakan ada 3.500 penangkapan. Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) menyebutkan, ada 1.000 kasus anak-anak atau anak muda yang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang oleh junta. Banyak dari mereka tak mendapat pendampingan pengacara atau keluarga.
Teknik menangkap dan menahan tanpa dasar hukum ini sudah lama digunakan oleh militer untuk menyebarkan ketakutan dan menekan gerakan prodemokrasi. Anak-anak muda laki-laki diciduk dari rumah, kantor, dan jalanan begitu saja. Banyak yang kemudian dipenjara, disiksa, bahkan kemudian ditemukan tewas. Namun, banyak pula yang hilang tanpa kabar sampai sekarang.
”Situasinya sekarang sudah bergeser ke arah penghilangan paksa secara massal. Penangkapan sewenang-wenang dan sistematis kian meluas,” kata Matthew Smith, salah satu pendiri kelompok hak asasi manusia, Fortify Rights, yang mengumpulkan bukti warga yang tewas saat dalam tahanan.
Foto-foto warga yang hilang membanjiri internet. Belakangan ini foto-foto anak muda yang ditahan aparat militer junta juga mulai beredar di internet dan stasiun-stasiun televisi. Wajah mereka terlihat berdarah dan banyak bekas pukulan serta bentuk-bentuk penyiksaan lainnya. Dari 3.500 orang yang ditangkap, mayoritas adalah laki-laki dan berusia di bawah 30 tahun. Sekitar 2.700 orang ditahan di tempat yang tidak diketahui.
”Militer menganggap warga sipil, pekerja, dan anak-anak sebagai musuh. Mereka pikir dengan membunuh anak-anak muda laki-laki, mereka akan bisa menghentikan revolusi,” kata Ko Bo Kyi dari Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik.
Junta militer Myanmar membantah aparat militer menyasar anak-anak muda. ”Aparat keamanan tidak menangkap berdasarkan jenis kelamin dan usia. Mereka menahan siapa saja yang berbuat rusuh, protes, atau melakukan apa saja yang memancing keributan," kata juru bicara junta militer, Aye Thazin Myint.
Ada yang ditahan karena ikut protes atau memiliki hubungan dengan partai politik pesaing junta. Ada juga yang ditahan begitu saja tanpa alasan jelas. Junta militer hanya menyebutkan, mereka sudah menimbulkan ketakutan. Aktivis HAM Myanmar, Wai Hnin Pwint Thon, sudah hafal dengan taktik junta militer. Ayahnya, aktivis politik yang terkenal, Mya Aye, pernah ditahan pada 1988. Keluarga baru tahu beberapa bulan kemudian, ternyata ia dipenjara di Insein, Yangon.
”Saya tidak bisa membayangkan perasaan keluarga dari anak-anak muda usia 19, 20, 21 tahun yang dipenjara. Situasinya semakin parah,” ujar Wai Hnin Pwint Thon.
Taktik menyeramkan militer selama ini terbukti efektif membuat rakyat takut. Di beberapa daerah banyak warga kini rutin ikut ronda pada malam hari dan berteriak atau memukul panci untuk memberi tahu warga akan keberadaan tentara atau polisi. ”Saya lebih takut ditangkap daripada ditembak,” kata seorang warga yang pernah ditangkap dan dipukuli lalu dibebaskan. (REUTERS/AP)