Deteksi Dini dan Kenali Gejala Korona
Sekalipun hingga saat ini Indonesia masih menyatakan bebas korona, tidak ada salahnya masyarakat mengenali karakter virus ini, bagaimana penyebarannya, dan gejala yang ditimbulkan guna mengurangi risikonya.
Sekalipun pertama kali muncul di kota Wuhan, China, SARS-CoV-2 tidak memiliki kewarganegaraan dan kini telah menyebar di 28 negara lain. Hingga kini, virus itu belum dikonfirmasi masuk ke Indonesia. Meski demikian, masyarakat perlu berjaga-jaga dengan mengenali gejala dan mencegah penularan.
Sejak diidentifikasi pada akhir Desember 2019 lalu, virus korona galur baru ini telah menginfeksi 75.119 orang dan menewaskan 2.012 jiwa hingga Rabu (19/2/2020). Sebagian besar korban terdapat di kota Wuhan, tetapi korban tewas juga ditemukan di Filipina, Hong Kong, Jepang, Taiwan, dan Perancis.
Menurut informasi terbaru, tiga dari 78 warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di kapal Diamond Princess, yang kini berlabuh di perairan Jepang, dipastikan positif Covid-19, nama penyakit yang disebabkan infeksi SARS-CoV-2. Ditambah satu orang yang terinfeksi virus ini di Singapura, total WNI yang positif terinfeksi empat orang. Belakangan, WNI yang terinfeksi virus itu di Singapura sudah pulih.
Baca juga : Nama Baru dan Urgensi Vaksin Virus Korona
Semua kasus positif ini dideteksi otoritas di luar negeri. Sementara pemeriksaan yang dilakukan Kementerian Kesehatan belum menemukan kasus positif di Indonesia. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyebut, hingga Senin (17/2/2020), dari 104 sampel yang diperiksa, 102 negatif dan dua masih dalam proses.
Data terbaru dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China (CCDC) menemukan bahwa lebih dari 80 persen kasus infeksi tergolong ringan dengan orang paling berisiko adalah orang lanjut usia dan yang mengalami komplikasi penyakit.
Penelitian tersebut juga menunjukkan risiko tinggi bagi anggota staf medis. Direktur Rumah Sakit Wuchang di kota Wuhan, Liu Zhiming (51), termasuk yang meninggal karena virus itu pada Selasa (18/2/2020). Pekan sebelumnya dilaporkan, total 1.716 petugas kesehatan di China telah terinfeksi virus ini dan enam di antaranya meninggal.
Sejauh ini belum ada bukti virus SARS-CoV-2 bisa menular melalui udara, seperti campak atau cacar. ”Jika ada orang yang terinfeksi di bagian depan pesawat, misalnya, dan Anda berada di bagian belakang pesawat, risiko Anda tertular mendekati nol karena area paparan diperkirakan 6 kaki (1,8 meter) dari orang yang terinfeksi,” kata Charles Chiu, ahli penyakit infeksi dari Universitas California, dalam keterangan tertulis.
Baca juga : Sains dan Irasionalitas tentang Korona
Cara penularan utama Covid-19 sejauh ini masih dari tetesan cairan dari saluran pernapasan. Virus masih bisa menular hingga 1,8 meter dari seseorang yang bersin atau batuk sehingga masker tetap menjadi penting. Meski demikian, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, sekalipun mengenakan masker, dalam hal ini masker N95, membantu membatasi penyebaran beberapa penyakit pernapasan, hal itu tidak cukup untuk menghentikan semua infeksi.
Menurut CDC Amerika Serikat, mungkin saja seseorang menderita Covid-19 dengan menyentuh permukaan atau benda yang memiliki virus di atasnya dan kemudian menyentuh mulut, hidung, atau mata mereka sendiri. Oleh karena itu, tindakan pencegahan terbaik adalah cuci tangan sesering mungkin, cobalah untuk tidak menyentuh wajah Anda, menghindari tempat ramai, dan mencoba berjarak 1 meter dari orang lain. WHO juga hanya menyarankan penggunaan masker jika Anda memiliki gejala pernapasan seperti batuk atau bersin, gejala mirip korona.
Pencegahan dan pengobatan
Sejumlah kajian menunjukkan, virus itu bisa menyebabkan pneumonia atau radang paru dengan masa inkubasi bisa mencapai 14 hari. Mereka yang jatuh sakit dilaporkan menderita batuk, demam, dan kesulitan bernapas, tetapi ada juga yang terinfeksi tanpa gejala sakit. Sementara pada kasus yang parah bisa terjadi kegagalan organ.
Hingga saat ini belum ada vaksin dan obat khusus untuk Covid-19. Sejak terjadi wabah, Pemerintah China telah melakukan lebih dari 80 uji coba klinis dengan menggunakan obat-obatan farmasi baru hingga terapi tradisional, tetapi belum ada yang teruji menyembuhkan.
Pemulihan tergantung pada kekuatan sistem kekebalan tubuh. Sebaliknya, banyak dari mereka yang meninggal sudah dalam kondisi kesehatan buruk.
Soumya Swaminathan, kepala ilmuwan di WHO, mengatakan, timnya telah memeriksa banyak uji coba pengobatan di China serta baru menyusun rencana untuk protokol uji klinis yang secara simultan dapat dijalankan oleh dokter di seluruh dunia.
Baca juga : Seperti Berperang Melawan Musuh yang Tak Tampak
Dengan kondisi ini, kapankah kita pergi ke dokter untuk memeriksakan kemungkinan infeksi korona?
Pemerintah Inggris, seperti diberitakan The Guardian pada Selasa lalu, menyarankan kepada siapa saja yang telah menempuh perjalanan ke Inggris dari daratan China dan negara-negara lain yang memiliki kasus positif infeksi dalam 14 hari terakhir dan yang mengalami batuk atau demam atau sesak untuk tetap di dalam ruangan dan menghubungi petugas kesehatan meski gejalanya ringan.
Upaya deteksi dini infeksi Covid-19 menjadi kunci dalam mengeliminasi penyebaran penyakit ini. Hal itu juga yang dilakukan Pemerintah Singapura dengan meningkatkan pemeriksaan dan melacak riwayat kontak.
Bowo Mahastu, warga negara Indonesia yang bekerja dan tinggal di Singapura, mengatakan, selain pemeriksaan suhu rutin dua kali dalam sehari, tiap karyawan yang memiliki riwayat perjalanan ke China dan riwayat kontak wajib lapor ke perusahaan untuk diteruskan kepada otoritas kesehatan sehingga bisa terus terpantau. ”Di sini, informasi terkait korona dan arahan pemerintah sangat jelas,” ungkapnya.
Sejak mengumumkan adanya infeksi Covid-19 pada 23 Januari, total kasus terinfeksi yang dikonfirmasi di Singapura sebanyak 81 kasus, sebanyak 29 pasien telah dipulangkan. Informasi ini, termasuk bagaimana penanganannya, dilaporkan secara waktu nyata dan bisa diakses publik di laman khusus yang dibuat pemerintah.
Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pernyataannya menyatakan sangat terkesan dengan upaya yang dilakukan Pemerintah Singapura untuk menemukan setiap kasus, menindaklanjuti dengan kontak, dan menghentikan transmisi.
Kondisi berbeda di Indonesia. Sekalipun Kementerian Kesehatan telah menerbitkan panduan penanganan korona di Indonesia, hal ini belum tersampaikan dengan baik dan masih membingungkan publik.
Laraswasti, ibu dari satu anak yang tinggal di Tangerang Selatan, misalnya, berada di Taiwan selama 22-30 Januari lalu dan pada Kamis (13/2/2020) mengalami demam dan batuk. Awalnya, dia datang ke Rumah Sakit UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat dengan menyampaikan riwayat perjalanan. ”Dokter bilang mereka tidak bisa melakukan tes korona, tetapi disarankan ke RSPAD (RS Pusat Angkatan Darat), RS Persahabatan, atau RS Sulianti Saroso,” tuturnya.
Kalau yang diperiksa darah kemungkinan hasilnya akan negatif korona. Tes virus korona dengan swab tenggorokan dan rongga hidung.
Dia memilih ke RSPAD pada Jumat lalu. Sekalipun biaya pemeriksaan mencapai Rp 1,2 juta, dia tetap merogoh koceknya karena dihantui kekhawatiran, apalagi ayah dan anaknya sakit. ”Saya diambil darah dan foto rontgen, katanya itu untuk deteksi korona. Hasil laboratorium darah keluar dalam sejam, sama foto parunya normal, tetapi karena saya masih demam, dokter tidak bisa memberi surat keterangan sehat. Saya disuruh balik Jumat depan buat diperiksa lagi,” tuturnya.
Namun, setelah mencari informasi lebih lanjut, Laraswati bertambah bingung. Pemeriksaan untuk korona seharusnya tidak perlu cek darah karena virusnya ada di saluran pernapasan. ”Kalau yang diperiksa darah, kemungkinan hasilnya akan negatif korona. Tes virus korona dengan swab tenggorokan dan rongga hidung,” kata peneliti virus dari Lembaga Eijkman, Frilasita Yudhaputri.
Ketidakjelasan informasi hingga biaya yang harus dikeluarkan pada akhirnya membuat publik yang ingin melakukan pemeriksaan mandiri mengalami kesulitan. Padahal, kejelasan informasi, selain mengurangi risiko wabah, juga bisa mencegah kepanikan publik.