Menjaga Ketahanan Anak Perempuan
Pendidikan kesehatan reproduksi sangat penting untuk menjaga ketahanan reproduksi anak perempuan. Ini merupakan bentuk pemberdayaan anak perempuan untuk mencegah pernikahan usia anak.
Saat para remaja bersukaria merayakan hari Valentine pada 14 Februari lalu, jutaan anak perempuan harus berkutat dengan urusan rumah tangga, baik sebagai istri maupun ibu.
Berdasarkan data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) pada 2019, setiap tahun 12 juta anak perempuan atau satu dari lima anak perempuan di dunia menikah sebelum berusia 18 tahun. Di Indonesia, 1 dari 9 anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun (Badan Pusat Statistik, 2018).
Banyak faktor yang berkontribusi terhadap pernikahan usia anak, mulai dari kemiskinan, geografis, kurangnya akses pendidikan, budaya, ketidaksetaraan jender, konflik sosial dan bencana, hingga ketiadaan akses terhadap layanan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif. Dari sejumlah penelitian, ketiadaan akses terhadap layanan informasi kesehatan yang komprehensif sejak dini menjadi faktor dominan pernikahan usia anak.
Penelitian Djamilah dan Reni Kartikawati di delapan wilayah di Indonesia yang dipublikasi di jurnal Studi Pemuda Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Mei 2014, misalnya, menunjukkan penyebab utama pernikahan usia anak ialah kurangnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi. Ini menjadi penyebab utama kehamilan tidak diinginkan di kalangan remaja yang berakhir dengan pernikahan.
Banyak dispensasi pernikahan diberikan kepada remaja karena kehamilan yang tidak diinginkan dan hubungan seks pranikah. Studi oleh Koalisi 18+ tentang dispensasi pernikahan menunjukkan, sebanyak 98 persen orangtua menikahkan anaknya karena anak sudah berpacaran/bertunangan. Dan, sebanyak 89 persen hakim mengabulkan permohonan dispensasi pernikahan.
Baca juga: Pengajuan Dispensasi Perkawinan Diperketat
Survei U-Report di Indonesia pada 2017 juga menunjukkan, alasan utama anak perempuan menikah ialah karena hamil, baru kemudian alasan ekonomi, budaya, dan cinta. Demikian juga alasan utama anak laki-laki menikah, yaitu kehamilan pacarnya, disusul alasan budaya dan cinta. Di Indonesia, 1 dari 100 laki-laki menikah pada usia anak.
Banyak remaja tidak tahu tentang masa subur, bahkan beberapa belum pernah mendengar tentang masa subur.
Semakin rentan
Kurangnya informasi terhadap kesehatan reproduksi dan seksual, sebut Djamilah dan Kartikawati, membuat posisi remaja semakin rentan dan tidak bisa melindungi diri dari kekerasan, termasuk pernikahan usia anak. Mereka tidak tahu risiko pilihan dalam menentukan apa yang terjadi pada reproduksinya. Mereka tidak paham konsep pacaran yang benar, bagaimana bersikap menghadapi tekanan teman sebaya, terutama terhadap pacar bagi anak perempuan.
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja oleh Litbang Kependudukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2018 menunjukkan, 3 dari 10 remaja tidak tahu bahwa perempuan bisa hamil meskipun hanya sekali berhubungan seksual. Banyak remaja juga tidak tahu tentang masa subur, bahkan beberapa belum pernah mendengar tentang masa subur.
Sering kali, norma di masyarakat yang menganggap bahwa hal seperti itu tabu, porno, dan dosa menutup akses informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas bagi remaja, bahkan masyarakat secara umum. Ketabuan membicarakan hal-hal tersebut membuat remaja mencari tahu lewat teman sebaya yang juga belum tentu tahu, atau melalui internet yang sering kali justru dapat menjerumuskan mereka ke hal-hal negatif.
Ketidaktahuan akan kesehatan reproduksi juga menyebabkan anak tidak kuasa menolak ketika dijodohkan dan dinikahkan oleh orangtuanya. Orangtua juga tidak sadar telah menjerumuskan si anak ke dalam siklus konsekuensi negatif dari perkawinan usia anak.
Arkanksha Marphatia dan tim peneliti dari Jurusan Demografi, Universitas Cambridge, Inggris, dalam penelitian mereka yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Public Health pada 2017 menyebut pernikahan usia anak sebagai ”gerbang” menuju berbagai konsekuensi kesehatan yang terkait dengan usia melahirkan. Pasalnya, banyak implikasi kesehatan akibat melahirkan di usia anak.
Kehamilan pada usia anak 4,5 kali berpeluang berisiko tinggi dan dua hingga lima kali berpeluang preeklamsia. Ini menyumbang potensi angka kematian ibu yang saat ini mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi 24 per 1.000 kelahiran hidup. Bayi yang lahir dan hidup pun rawan kurang gizi dan mengalami tengkes (stunting).
Implikasi kesehatan ini termasuk risiko lebih tinggi mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Berdasarkan data Plan International pada 2014, sebanyak 44 persen anak yang menikah mengalami KDRT. Implikasi kesehatan ini juga termasuk masalah kesehatan mental yang akan memengaruhi generasi selanjutnya.
Pada akhirnya, hal itu akan berdampak pada pendidikan, perekonomian, dan sosial. Kembali ke siklus awal, anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang masih berusia anak juga rentan mengalami nasib seperti ibu mereka, menikah di usia anak.
Langkah penting
Pemerintah Indonesia dalam Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak menyadari bahwa informasi kesehatan reproduksi dan seksual penting untuk mencegah pernikahan usia anak. Namun, belum terlihat koordinasi dan kolaborasi yang memadai antar-kementerian/lembaga, yang antara lain memiliki target intervensi terhadap kesehatan reproduksi ini.
Dengan kondisi anak yang masih usia sekolah, lembaga seperti sekolah memiliki peran penting dalam pemberian informasi ini. Menurut Frenia Nababan, Koordinator Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak, informasi ini harus diberikan secara komprehensif sejak dini kepada siswa melalui mata pelajaran pendidikan kesehatan reproduksi.
Baca juga: Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk Mitigasi Risiko
Memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi ke dalam mata pelajaran terkait tidak akan efektif untuk memberikan pemahaman kepada siswa tentang hal ini. Hasil survei U-Report menyebutkan, remaja terhambat memperoleh informasi terkait kesehatan reproduksi dari lembaga-lembaga formal, misalnya sekolah.
Pendidikan kesehatan reproduksi tidak hanya berisi mengenai seksualitas dan organ produksi, tetapi lebih luas lagi mengenai siklus kehidupan reproduksi perempuan dan laki-laki. Pengetahuan dan pemahaman ini penting untuk menjaga ketahanan reproduksi anak, terutama anak perempuan.
Pendidikan kesehatan reproduksi juga merupakan upaya untuk memberdayakan anak perempuan, hal penting untuk mengakhiri pernikahan usia anak. Lebih luas lagi, menurut Frenia, pendidikan kesehatan reproduksi merupakan bentuk mitigasi risiko agar anak-anak, terutama anak perempuan, terlindung dari kekerasan, terutama kekerasan seksual.
Dengan demikian, harapannya, hal ini akan turut mempercepat target pemerintah untuk menurunkan angka prevalensi pernikahan usia anak dari 11,2 persen (2018) menjadi 8,74 persen pada 2024 dan 6,94 persen pada 2030. Dalam 10 tahun terakhir angkanya memang turun, yaitu 3,5 persen, tetapi ini tergolong lambat.
Baca juga: Mengakhiri Perkawinan Anak