Melacak Riwayat Kontak Pasien Covid-19
Pemerintah masih belum sepenuhnya terbuka soal riwayat kontak pasien positif Covid-19. Ketidakterbukaan riwayat kontak pasien membuat banyak rantai penularan hilang dan berpotensi mengakibatkan wabah tak terkendali.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah hingga saat ini masih belum sepenuhnya terbuka soal riwayat kontak pasien positif Covid-19. Ketidakterbukaan riwayat kontak pasien membuat banyak rantai penularan yang hilang dan berpotensi mengakibatkan wabah Covid-19 jadi tak terkendali.
Investigasi harian Kompas yang melacak riwayat kontak empat pasien positif mengungkap, kemungkinan ada yang terlewat dari pelacakan pemerintah. Identitas pasien yang diwawancarai sengaja dirahasiakan dan hanya disebut berdasarkan nomor.
Pasien 1 mengaku positif Covid-19, Rabu (18/3/2020). Sebelumnya pada 7 Maret, pasien 1 menjalani pemotretan di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Pada 8-11 Maret ia hanya beraktivitas di rumahnya di kawasan Cilandak. Tanggal 12 Maret, pasien 1 kembali menjalani pemotretan di kawasan Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
Setelah itu pada 8-11 Maret, pasien 1 hanya beraktivitas di rumahnya di kawasan Cilandak. Pada 12 Maret, pasien 1 kembali menjalani pemotretan di kawasan Jalan Gatot Subroto.
Pada 13 Maret, pasien 1 baru mengalami demam tinggi dengan suhu 38,5 derajat celsius. Saat itu ia mengunjungi unit gawat darurat salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Namun karena lambat dalam memperoleh pelayanan, ia pindah ke rumah sakit swasta di Jalan TB Simatupang dan dinyatakan menderita demam berdarah.
Dua hari setelah dirawat di rumah sakit swasta tersebut, pada 15 Maret, pasien 1 tak lagi mengalami demam. Namun untuk memastikan kondisi kesehatannya, pasien 1 menjalani serangkaian pemeriksaan, yakni pemeriksaan toraks dan influenza. Kedua pemeriksaan itu menunjukkan hasil yang bagus. Namun, giliran paru-parunya diperiksa, baru ditemukan ada flek di kanan kiri paru, salah satu indikasi tertular Covid-19.
”Karena ada flek, besoknya tanggal 16 Maret aku cek swab untuk tes apakah aku terinfeksi Covid-19 apa tidak. Baru tanggal 18 Maret aku dikasih kabar kalau aku positif Covid-19,” ujar pasien 1.
Setelah itu pasien 1 dikirim ke rumah sakit rujukan khusus menangani pasien Covid-19 di kawasan Jakarta Pusat dengan ambulans. Hingga saat diwawancara, ia masih menjalani perawatan dengan menempati salah satu ruangan perawatan bersama 5 pasien positif Covid-19 lainnya. Pasien 1 mengaku, dirinya merasa sehat selama menjalani perawatan.
Menurut dia, selama menjalani pemotretan di kawasan Pondok Indah dan Gatot Subroto, ia tak menemukan orang-orang di sekitarnya yang mengalami gangguan kesehatan. Ia hanya sekali saja berada di tengah kerumunan, salah satu kondisi ideal penularan Covid-19, yakni saat memeriksakan dirinya ke UGD di dua rumah sakit swasta itu. ”UGD rumah sakit itu ramai,” ujarnya.
Oleh karena itu, sulit bagi pasien 1 untuk menduga-duga dari siapa ia tertular Covid-19. ”Tidak tahu (dari siapa saya tertular) karena lingkungan (tempat pemotretan) pada saat saya ketemu orang-orang tersebut dalam keadaan sehat semua,” katanya.
Apalagi, katanya, orang yang mengantarnya berobat ke rumah sakit swasta hingga akhirnya ia dinyatakan positif Covid-19 pun dalam kondisi sehat. ”Dia sudah melakukan tes kesehatan dan hasilnya baik. Dokter mengimbau jika tidak ada gejala apa pun, seperti batuk, pilek, sesak napas, dan demam, sebaiknya di rumah melakukan karantina mandiri selama 14 hari,” katanya.
Tertular warga negara Jepang
Pasien 2 diketahui positif setelah tertular warga negara Jepang di sebuah restoran di Jakarta Selatan, 14 Februari 2020. Pasien 2 menulari 11 orang, termasuk orangtuanya, yakni pasien 3.
Dari pelacakan yang dilakukan Kompas, pasien 3 pernah terlibat ikut tampil dalam pertunjukan tari tradisional yang melibatkan 30 penari dan pemain gamelan. Pertunjukan ini dihadiri lebih dari 100 penonton. Pertunjukan digelar di sekitar kawasan Taman Mini Indonesia Indonesia, Jakarta, pada 23 Februari, atau empat hari sebelum pasien 3 dirawat di rumah sakit di Depok, Jawa Barat.
Dari penuturan TG (60), salah satu teman sekaligus orang yang pernah menari bersama pasien 3 pada 23 Februari, ada banyak aktivitas bersama yang dilakukan dengan pasien 3.
”Saya tidak ingat persis interaksi (yang terjadi dengan pasien 3). Tapi yang jelas kami menari bersama, menarinya berdekatan. Ada perang. Kami makan siang bersama, ngobrol bersama. Dandan bersama pada 23 Februari. Kami cium pipi atau enggak, saya enggak ingat. Tapi rasanya iya karena kami bersahabat,” jelasnya yang dihubungi pada Sabtu, 14 Maret 2020.
Setelah pertunjukan, TG mengaku, ia bersama pasien 3 dan penari lainnya berbaur dengan penonton. Pada kesempatan itu mereka berinteraksi dengan sejumlah penonton yang merupakan teman mereka. Pasien 2 juga hadir dalam acara itu.
”Ada sekitar 30 orang terlibat dalam pertunjukan. Ada penari, perias, dan pemain gamelan. Penonton, jumlahnya lebih banyak, ratusan orang. Setelah pertunjukan, kami (penari) membaur ke penonton, teman-teman kami. Rasanya mereka (penonton) masih sehat semua,” katanya.
TG mengaku pernah dihubungi pihak Dinas Kebudayaan DKI dan menanyakan kondisi kesehatannya dan menawarkan pemeriksaan kesehatan. ”Saya bilang, terserah saja. Tapi sampai hari ini, alhamdulillah saya sehat,” katanya.
Ada sekitar 30 orang terlibat dalam pertunjukan. Ada penari, perias, dan pemain gamelan. Penonton, jumlahnya lebih banyak, ratusan orang. Setelah pertunjukan, kami membaur ke penonton, teman-teman kami. Rasanya mereka masih sehat semua.
Sebelum menggelar pertunjukan tari, TG mengungkapkan ia bersama pasien 3 pernah latihan bersama puluhan penari lain di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, pada 15 Februari.
Sayangnya, interaksi yang pernah dilakukan warga Jepang dengan pasien 2 hanya diketahui sebatas aktivitas mereka menari di dua restoran di Jakarta Selatan. Hingga kini pemerintah tak mengungkap mobilitas warga Jepang itu selama berada di Jakarta, baik tempatnya menginap maupun transportasi yang digunakan selama beraktivitas di Jakarta.
Sementara itu, pasien 4 diketahui positif Covid-19, Minggu (15/3/2020), setelah keluarganya melakukan tes karena orangtua pasien 4 berinteraksi dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang sebelumnya dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Ada dua orang lain di rumah pasien 4 yang positif, yakni sopir dan asisten orangtuanya. Selama sepuluh hari sebelum dinyatakan positif Covid-19, pasien 4 mengaku berada di Jakarta.
Pasien 4 mengaku tak menunjukkan gejala sakit sebelum dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. ”Kebetulan Pak Menhub dinyatakan positif. Alhasil pemerintah mengimbau kabinet beserta jajaran dan keluarganya untuk tes Covid-19 di RSPAD Gatot Subroto. Akhirnya kami satu keluarga tes. Kami menunggu hasil 3-4 hari. Jawabannya adalah ada 3 orang yang terpapar virus korona di rumah, yaitu ada satu sopir, asisten pribadi (orangtua), dan juga saya,” kata pasien 4.
Karena tak mengalami sesak napas, batuk, dan demam, seperti ditemukan pada penderita Covid-19 lainnya, pasien 4 pun mengisolasi diri secara mandiri. ”Tapi kalau dilihat dari gejalanya saya tidak termasuk yang alami demam, flu, dan batuk. Saya sama sekali tidak dalam kondisi tersebut. Mungkin karena daya tahan saya masih bagus, jadi kondisinya tidak separah yang lain,” katanya.
Pasien 4 mengaku tak dapat menduga-duga dari siapa ia tertular Covid-19. Dari pihak RSPAD Gatot Subroto yang memonitor kesehatannya, ia memperoleh informasi bahwa indikasi mengenai terpaparnya virus korona itu dalam kurun waktu 1-10 hari sebelum munculnya gejala seperti batuk dan flu. Selama sepuluh hari terakhir itu, ia mengaku berada di Jakarta.
Jika menengok ke belakang lagi, pada Februari, pasien 4 mengaku pergi ke Arab Saudi dan pada Januari ke Jepang. ”Tapi menurut saya, (kepergiannya ke luar negeri) itu bukan patokan (sebagai penyebab ia tertular Covid-19). Bisa jadi juga saya kena (tertular) ketika di Jakarta. Karena negara kita juga sudah darurat,” jelasnya.
Dianggap rahasia negara
Dari keterangan pasien 3, dia mengaku tidak pernah memperoleh penjelasan terkait penyakit yang dideritanya selama dirawat di Rumah Sakit Pusat Infeksi Soelianti Saroso. Pasien 3 mengaku, ia hanya memperoleh informasi bahwa penyakit yang dialaminya terkait dengan rahasia negara.
”Katanya (informasi dari rumah sakit) ini sudah rahasia negara. Jadi kita enggak akan dapat report sampai keluar (dari rumah sakit),” ujarnya.
Pasien 3 sempat mempertanyakan hal ini karena sepengetahuannya ada undang-undang yang mengatur tentang hak pasien untuk memperoleh informasi terkait tindakan maupun pemeriksaan pada dirinya. Hak pasien diatur setidaknya dalam Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Pasal 52 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang hak-hak pasien memperoleh penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, saat dikonfirmasi, Sabtu, 21 Maret 2020, menyampaikan, pemerintah akan terus melakukan pelacakan penularan Covid-19 di tengah masyarakat. Sementara untuk pelacakan interaksi WN Jepang yang menularkan Covid-19 kepada pasien 2 1, menurut dia, dilakukan Dinas Kesehatan DKI.
Dalam pelacakan penularan, menurut Yuri, pemerintah juga perlu berhati-hati dalam mengungkapnya karena terkait dengan identitas pasien. ”Tidak semua nyaman diketahui identitasnya,” katanya.
Namun terkait pengakuan pasien 3 yang tak memperoleh diagnosis dari rumah sakit dengan alasan rahasia negara, Yuri tak memberikan penjelasan secara jernih. ”Kalau enggak tahu (itu rahasia negara) kenapa (pasien 3) mau dan ikhlas diisolasi,” ujarnya.
Sulit terkendali
Dokter spesialis penyakit dalam sekaligus ahli vaksin, dr Dirga Sakti Rambe, mengungkapkan ada banyak sekali jaring penularan yang hilang dari pelacakan penularan Covid-19 yang dilakukan pemerintah. Dirga mengaku mengetahui ada 80 orang yang diperiksa kesehatannya karena sempat berada di tempat warga Jepang menularkan Covid-19 ke pasien 2 di Jakarta Selatan. Namun, hingga saat ini, tak ada satu pun yang diumumkan oleh pemerintah terkait kondisi kesehatannya.
Dari pengamatan di lapangan, restoran tempat warga Jepang menularkan Covid-19 ke pasien 2 telah kembali beroperasi.
”Yang menyulitkan karena pemerintah belum detail mengumumkan (rantai penularan) dan banyak sekali missing-link. Ini bukan berarti mengungkap identitas pasien seperti pada kasus 1 dan 2. Sebab, ini adalah hak pasien. Beda dengan Singapura yang jelas banget (pemetaan pelacakan penularannya),” kata Dirga.
Dirga mengatakan, pelacakan riwayat kontak bukan berarti mengungkap identitas pasien. ”Kalau ada missing-link, kita tidak tahu bagaimana riwayat kontaknya. Akan sulit melacaknya. Kalau melacak tiap kasus atau kluster tidak tuntas, wabah tidak akan terkendali atau sulit terkendali,” kata Dirga.
Pelacakan tak lengkap
Ahli kesehatan masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Budi Haryanto, mengungkapkan, dari jumlah korban dan pelacakan penularan yang dialami korban seperti yang disampaikan pemerintah, tampak bahwa pemerintah baru sebatas melakukan pelacakan penularan Covid-19 secara pasif. Jika pemerintah aktif melakukan pelacakan, setiap orang yang pernah berinteraksi dengan warga Jepang yang menulari Covid-19 ke kasus 1 itu harus dilacak keberadaannya dan kondisi kesehatannya.
”Jadi yang ditularkan oleh warga Jepang itu semestinya tidak hanya satu, tetapi ada banyak. Selama di Jakarta, warga Jepang itu bepergian ke mana saja, naik transportasi apa saja. Misalkan naik ojek online, sopirnya siapa. Di hotel, dia berinteraksi dengan petugas hotel siapa saja,” kata Budi.
Pemetaan penularan (yang lengkap) ini penting untuk mendapatkan potensial kontak dekat. Kemudian baru dilakukan rapid test. Dengan demikian, bisa dikendalikan kecepatan penularan.
Pelacakan aktif ini, menurut Budi, cukup penting untuk melacak penularan lokal agar dapat diperoleh penularan yang potensial terjadi akibat kontak dekat. Dari temuan itu baru dilakukan rapid test atau tes cepat terkait penularan Covid-19, terhadap orang-orang yang pernah berinteraksi dengan orang yang sudah tertular.
Di tengah kondisi penularan Covid-19 telah meluas di Jakarta, kata Budi, pelacakan aktif ini tetap dibutuhkan supaya penularannya ke wilayah luar Jakarta dapat dikendalikan. ”Pemetaan penularan (yang lengkap) ini penting untuk mendapatkan potensial kontak dekat. Kemudian baru dilakukan rapid test. Dengan demikian, bisa dikendalikan kecepatan penularan ke orang atau populasi lain,” ujarnya.
Pelacakan aktif ini tentu akan memakan waktu lebih lama dibandingkan pelacakan penularan Covid-19 dari kasus impor yang terbukti lebih mudah dideteksi. ”Kasus impor yang ketahuan dari kapal pesiar, contohnya, dari awal kan sudah terdeteksi dan dikarantina,” katanya.
Pembawa virus
Apalagi, kata Budi, ada sejumlah orang yang tak menunjukkan gejala meski telah tertular Covid-19 karena daya tahan tubuhnya bagus dan hal itu telah dipublikasikan oleh jurnal ilmiah Iran maupun Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat. Berdasarkan artikel ilmiah yang dirilis CDC, disebutkan bahwa hingga 28 Februari ada 705 orang positif Covid-19 dari 4.061 penumpang dan kru kapal Diamond Princess. Sebanyak 392 kasus di antaranya tidak menunjukkan gejala, 36 orang dirawat di unit perawatan intensif, dan 6 orang meninggal.
Oleh ahli mikrobiologi, kata Budi, orang-orang yang tak menunjukkan gejala ini disebut immunocompetence. Meskipun gejala sakit tak muncul pada kelompok orang ini, tetapi mereka menulari virus yang ada di tubuhnya kepada orang lain terutama pada kelompok rentan atau immunocompromised, seperti pada kelompok lanjut usia.
”Jadi immunocompetence itu daya tahan tubuhnya bagus. Virus di dalam tubuhnya dia bawa ke mana-mana. Si virus ini belum bisa berkembang dengan baik karena daya tahan tubuh orang ini baik sehingga tak muncul gejala. Tapi karena dia membawa virus, dia bisa menularkan ke orang lain yang rentan,” katanya.
Penularan pada orang dengan imunitas baik ini pun mulai muncul belakangan. Salah satunya ditemukan pada DW.
Pelacakan ini, menurut Budi, pernah dilakukan Singapura untuk memetakan penularan flu burung saat penyakit itu wabah pada 2005-2006. Dari pelacakan itu ditemukan ada penular super karena ia dapat menularkan virus flu burung dari tubuhnya ke 24 orang. Dengan dilakukan pemetaan seperti ini, dapat dicari tahu secara pasti siapa saja yang berpotensi tertular.
”Pelacakan ini sangat bisa dilakukan. Studi kesehatan masyarakat memiliki ilmunya,” kata Budi.
Pada akhir pekan lalu, pemerintah sudah mulai melakukan tes cepat di kawasan Jakarta Selatan. Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers tanpa tatap muka di Jakarta pada saat itu hanya menyampaikan, penggunaan tes cepat secara massal akan diprioritaskan di area yang menurut hasil pemetaan menunjukkan indikasi paling banyak terinfeksi Covid-19.