Dulu Pernah ”Work from Jungle”, Sekarang ”Work from Home”
Dulu, akibat Agresi Belanda, para pemimping bangsa pernah bekerja dari hutan (”work from jungle”). Kini, akibat wabah virus korona baru Covid-19, elemen bangsa bekerja di rumah (”work from home”). Apa bedanya?
Pendiri Institut Otonomi Daerah, yang juga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, Kamis (26/3/2020) pagi lalu, mengirimkan foto diri di depan laptop. Ia mengenakan batik biru dengan pandangan menghadap layar komputer jinjing.
Djohermansyah mengangkat tangan kanannya agak ke atas. Di layar laptop berwarna perak tersebut tampak sejumlah orang dalam kotak-kotak kecil, mereka berinteraksi.
Foto itu menunjukkan Djohermansyah mengajar mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dari rumahnya di kawasan Cilandak Timur, Jakarta Selatan. Sementara para mahasiswanya berada di asrama yang terletak di Jalan Ampera Raya, Cilandak, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Mereka terpisah jarak sekitar 1 kilometer.
Baca juga: Tantangan Bekerja dari Rumah
Para mahasiswa dan dosen itu tengah melakukan aktivitas belajar mengajar secara daring. Aplikasi Zoom mereka gunakan dalam aktivitas perkuliahan tersebut.
Kita pakai baju rapi, tapi (pakai) celana pendek dan (pakai) sandal saja.
Bagi Djohermansyah, itulah pengalaman pertama mengajar secara jarak jauh lewat teknologi internet. Ia merasa terbantu dengan aplikasi yang dipergunakan. Tak lupa ia menyebutkan bahwa aplikasi tersebut juga bisa dipakai untuk rapat.
Karena pertama kali, tentu ada sejumlah pengalaman unik. Paling kentara adalah sejumlah hal lucu yang dialaminya selama proses belajar mengajar secara daring.
”Kita pakai baju rapi, tapi (pakai) celana pendek dan (pakai) sandal saja,” sebut Djohermansyah terkekeh.
Hal lain lain yang juga cukup unik adalah jika ada peserta kelas yang belum mandi, hal itu disebutnya tidak akan ketahuan. Sebelum perkuliahan atau rapat dimulai, membuat janji menjadi keharusan. Hal ini penting untuk memastikan kesiapan kelas ataupun peserta rapat.
Kendala teknis yang dihadapinya seputar isu audio. Karena itulah ada semacam protokol bahwa ada masa gantian dalam berbicara. Bagi yang sedang tidak berbicara atau bertanya, fungsi mikrofonnya dinonaktifkan.
Pemerintahan darurat
Djohermansyah mengatakan, bekerja dari rumah dalam kaitannya dengan menjalankan pemerintahan belum pernah ada presedennya di Indonesia. Ia mengatakan, hal ini merupakan pertama kalinya terjadi dalam dunia pemerintahan di Indonesia.
Namun, pada masa awal kemerdekaan Indonesia, pemerintahan pernah dijalankan dari hutan. Masa itu adalah era pemerintahan darurat Republik Indonesia pada 22 Desember-13 Juli 1949 yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara.
Ia menyebut pemerintahan darurat RI sebagai era di mana pemerintahan dijalankan secara work from jungle. Sebuah masa tatkala pemerintahan dijalankan dari hutan-hutan di Sumatera bagian tengah demi menunjukkan eksistensi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 di antara negara bangsa pada saat menguatnya Agresi Belanda ketika itu.
Menurut Djohermansyah, kedaruratan masa itu dapatlah dipadankan dengan masa kini. Jika pada masa pemerintahan darurat RI darurat perang, kini adalah masa darurat wabah virus korona baru, yang disebut Covid-19. Keduanya sama-sama berbahaya.
”Tetapi, pemerintah harus tetap jalan. Tidak boleh berhenti mengurus rakyat,” kata Djohermansyah.
Baca juga: Kerja Parlemen di Tengah Virus Korona…
Dalam kondisi darurat, imbuh Djohermansyah, yang paling utama adalah keselamatan rakyat. Selain itu juga keselamatan dan perlindungan jiwa pegawai pemerintah, termasuk tenaga medis.
Hal ini membuat ukuran-ukuran target, output, dan outcome juga mesti disesuaikan dengan keadaan darurat. Menurut dia, penyesuaian itu tidak apa-apa jika dilakukan. Jangan kaku.
Transformasi budaya
Bekerja dari rumah juga dilakukan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, ia mengatakan, kemanfaatan bekerja daring cukup banyak.
Di antaranya bisa melihat dan berbincang dengan anak serta istri, sekaligus tetap bekerja. Selain itu, kegiatan di kampus dan bersama pihak lain juga bisa sama-sama dilangsungkan.
Kita pakai baju rapih, tapi (pakai) celana pendek dan (pakai) sandal saja.
Ia menambahkan, kelemahan bekerja dari rumah paling hanya berusaha mengatasi rasa suntuk karena menghadapi ruang yang sama. Akan tetapi, pikiran positif, terutama menyadarkan diri sebagai bagian dari upaya memutus mata rantai penyebaran wabah Covid-19, dapat membantu mengatasi kelemahan bekerja dari rumah.
”Paling antisipasi kekhawatiran saja yang agak berat karena memikirkan orangtua, teman,” sebut Feri.
Ia menyebutkan, kendala yang dihadapi juga di seputar audio saat pertemuan. Kecepatan koneksi internet yang tidak sama menjadi sebabnya. Ini menjadi semacam bukti bahwa isu kesenjangan digital itu nyata dan mendesak diatasi.
Sejauh ini, Feri mencoba sejumlah aplikasi untuk tujuan tersebut. Salah satu yang kerap digunakan bersama sejumlah pegiat demokrasi dan konstitusi adalah Google Hangout.
Hal senada disampaikan profesor riset bidang sosiologi pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Henny Warsilah, bekerja dari rumah cenderung tidak menjadi penghalang bagi pekerja kantoran.
Beberapa orang bahkan merasa lebih produktif karena tidak ada keharusan menerima tamu, misalnya. Ini membuat alokasi waktu menjadi lebih efisien. Namun, bagi sebagian orang lain yang berada di bagian produksi, akan cenderung kebingungan.
Henny melihat, secara sosiologis pertemuan fisik yang digantikan secara virtual akan membuat sebagian orang agak tergagap. Akan tetapi, kecanggihan teknologi di masa kini dapat menjadikan orang terbiasa berkomunikasi dengan media daring.
Ia juga melihat hal tersebut sesuai dengan tuntutan zaman. Era Revolusi Industri 4.0 dengan konsekuensi Masyarakat 5.0.
Secara sosiologis pertemuan fisik yang digantikan secara virtual akan membuat sebagian orang agak tergagap. Akan tetapi, kecanggihan teknologi di masa kini dapat menjadikan orang terbiasa berkomunikasi dengan media daring.
Bersamaan dengan berlangsungnya revolusi teknologi itu, imbuh Henny, terjadi juga evolusi kota-kota. Ini terjadi tatkala kota-kota tersebut membutuhkan teknologi untuk pelayanan jasa. Sebagian di antaranya termasuk layanan pemerintahan dengan sejumlah sistem elektronik.
Baca juga: Kerja Parlemen di Tengah Virus Korona…
Manusia dan teknologi berada dalam posisi saling membutuhkan, bahkan cenderung tak terpisahkan. Akan tetapi, manusia tetap mesti menjadi pusatnya.
Karena itulah transformasi sosial budaya harus memanfaatkan teknologi. Henny mengatakan, hal itu penting agar tidak ada ketertinggalan budaya dan gegar budaya.