Penyebaran wabah Covid-19 semakin meluas seiring pergerakan penduduk ke sejumlah daerah. Dibutuhkan upaya karantina yang jitu untuk menghambat persebaran yang lebih masif.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pilihan untuk mengarantina wilayah di pusat wabah tak bisa ditawar lagi. Tidak cukup di Jabodetabek, saat ini pembatasan pergerakan harus dilakukan antarpulau mengingat wabah sudah menyebar luas seiring pergerakan pemudik. Karantina wilayah diusulkan berbasiskan pulau.
Laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan, hingga Sabtu (28/3), wabah sudah menyebar di 29 provinsi dengan jumlah orang yang positif korona di Indonesia sebanyak 1.155 kasus, 59 sembuh, dan 102 meninggal. Angka ini bertambah signifikan dibandingkan dengan sehari sebelumnya yang sebanyak 1.046 kasus, 46 sembuh, dan 87 meninggal.
Jumlah kasus positif terbanyak masih terdapat di Jakarta, yaitu 427 kasus, Jawa Barat 119 kasus, Banten 103 kasus, Jawa Timur 77 kasus, Jawa Tengah 55 kasus, dan Yogyakarta 22 kasus. Adapun Sulawesi Selatan saat ini memiliki 33 kasus.
”Saat ini kita sudah terlambat untuk mengarantina Jabodetabek. Virus sudah ke daerah-daerah di Pulau Jawa seiring pergerakan orang. Anjuran untuk membatasi pergerakan orang telah gagal karena orang sudah mudik,” kata ahli epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono.
Jumlah orang yang positif korona di Indonesia sebanyak 1.155 kasus, 59 sembuh, dan 102 meninggal.
Menurut Pandu, pembatasan pergerakan orang merupakan kunci untuk mencegah penularan Covid-19 lebih luas. Ini hanya bisa dilakukan dengan menerapkan pembatasan fisik melalui ketegasan, terutama di episenter wabah. Tanpa pembatasan fisik ini, daya dukung kesehatan kita tidak akan sanggup lagi melayani pasien.
”Kita sudah punya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah dan kita punya aparat keamanan yang bisa dikerahkan. Kita masih bisa melakukannya. Pusat dan daerah harus bekerja sama,” ujarnya.
Melihat kondisi penyebaran wabah saat ini, menurut Pandu, pilihan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan karantina wilayah per pulau. Tak hanya orang dari Jabodetabek, masyarakat dari wilayah lain di Jawa juga harus dibatasi bepergian ke pulau lain atau sebaliknya.
”Kondisi geografis kita yang kepulauan memberikan keuntungan untuk menerapkan karantina per pulau. Pergerakan orang antarpulau sudah harus dilarang, kecuali logistik dan kesehatan. Karena itu, saya dukung kebijakan cepat kepala daerah di Papua yang menutup wilayah mereka,” ujarnya.
Melampaui kapasitas
Lonjakan kasus ini menyebabkan kapasitas rumah sakit dan tenaga medis di Jabodetabek kewalahan. Cadangan alat pelindung diri untuk petugas medis juga tinggal seminggu. Jika pasien korona terus melonjak, dikhawatirkan tidak bisa tertangani dengan baik.
Pasien Covid-19 yang terlambat ditangani rumah sakit rujukan semakin banyak dan sebagian telah meninggal. Salah satu di antaranya adalah Willy Dresskandar, mantan wartawan tabloid Otomotif dan kemudian memimpin Motor Plus, yang meninggal pada Kamis (26/3/2020), karena tidak segera ditangani rumah sakit rujukan. Kisah serupa dialami Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Ahmad Djuhara yang tak mendapat kamar perawatan di rumah sakit dan meninggal pada Jumat (27/3/2020).
”Kita saat ini mengalami masalah serius dengan keterbatasan ruang rawat isolasi dan ICU. Ventilator juga terbatas. Beberapa orang mengalami nasib sama, meninggal sebelum dapat perawatan,” kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Ari Fahrial Syam.
Menurut Ari, pasien positif Covid-19 membutuhkan ruang isolasi khusus dengan tekanan udara untuk mengurangi penularan ke tenaga medis dan pasien lain. Selain itu, untuk kasus pasien yang parah, membutuhkan ventilator untuk membantu pernapasan. Masalahnya rumah sakit dengan ruang isolasi yang memadai ini sangat terbatas, terutama di daerah-daerah. ”Saya juga membantu di rumah sakit, memang sudah penuh dan kewalahan,” ujarnya.
Selain kewalahan menghadapi pasien Covid-19, rumah sakit dan tenaga medis saat ini juga kesulitan alat pengaman diri (APD). Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi mengatakan, stok APD menipis.
”Perhitungan dari teman-teman yang sudah mendapatkan bantuan, cadangan APD diperkirakan hanya cukup untuk satu minggu karena ini hanya untuk sekali pakai,” ujarnya, ”daerah-daerah malah banyak yang belum dapat.”
Amnesty International bersama lima organisasi kesehatan di Indonesia, yakni IDI, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), telah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo pada Selasa lalu agar bisa menyediakan APD yang layak untuk tenaga medis.
”APD mutlak dibutuhkan tenaga medis. Sayangnya, hingga saat ini, distribusi APD belum merata,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Menurut Usman, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak tenaga kesehatan. Jika jumlah alat tes terbatas, pemerintah harus memprioritaskan tenaga kesehatan dan masyarakat yang paling membutuhkan.
”Mengobati dan mengurangi penyebaran virus adalah kewajiban negara dalam menjamin hak asasi manusia. Untuk itu, lindungilah garda depannya, yaitu para tenaga kesehatan,” ujarnya.