Pembatasan Sosial Tidak Cukup untuk Menghadang Sebaran Virus Korona
Sebagian kalangan mengusulkan penanganan pandemi Covid-19 berbasis kabupaten atau kota untuk menghadang laju virus korona jenis baru yang sedang mewabah.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Strategi yang sudah dijalankan belum cukup menghadang laju virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit Covid-19. Setiap hari, jumlah kasus positif bertambah signifikan. Pada kondisi ini, perlu ada perbaikan strategi penanganan.
Presiden Joko Widodo menyikapi ini dengan kebijakan pembatasan sosial dalam skala yang lebih besar dan darurat sipil. ”Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, jaga jarak fisik dilakukan lebih tegas, disiplin, dan efektif sehingga perlu didampingi adanya darurat sipil,” ucap Jokowi dalam rapat terbatas dengan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 melalui siaran video.
Kebijakan tersebut akan didukung payung hukum sebagai panduan pelaksanaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Untuk itu, Jokowi meminta pusat dan daerah sevisi sehingga kebijakannya selaras.
Presiden menambahkan, kekarantinaan kesehatan, termasuk karantina wilayah, merupakan kewenangan pemerintah pusat, bukan kewenangan pemerintah daerah.
Kini situasi pandemi kian mengkhawatirkan karena kasus baru terus meningkat, bahkan melewati angka psikologis, yakni 1.000. Menurut Pengurus Pusat Bidang Politik dan Kesehatan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Syahrizal Syarif, apa pun langkah dan skenario kasus pandemi, tempat tidur di rumah sakit yang ada tidak akan cukup menampung mereka yang membutuhkan penanganan.
Oleh karena itu, strategi yang bisa menjadi pertimbangan harus berbarengan dengan langkah operasional yang berdampak pada pencegahan penularan, mengatasi kekurangan kebutuhan fasilitas kesehatan, mengurangi dampak sosial dan ekonomi yang terjadi, serta berdasarkan pada sistem dan sumber daya yang ada.
”Prediksi perkembangan kasus sudah ada dari ahli-ahli di perguruan tinggi. Tentu sangat menakutkan melihat angka-angkanya yang lengkap dengan skenario pesimistis maupun optimistis,” ujar Syahrizal.
Setidaknya ada empat strategi yang dapat dipertimbangkan. Strategi pertama ialah penanganan penanggulangan berbasis kabupaten/kota melalui manajemen kendali. Saat ini peran kepala daerah, terutama di Jawa, sangat kelihatan.
Strategi kedua, menyediakan tiga jenis fasilitas kesehatan dengan kebutuhan berbeda, yakni pusat karantina untuk orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan, rumah sakit khusus untuk merawat kasus dengan gejala ringan dan sedang, serta rumah sakit rujukan untuk kasus dengan gejala klinis serius hingga berat.
”Pusat karantina dapat dibangun dengan memanfaatkan berbagai fasilitas yang ada,” lanjutnya.
Adapun strategi ketiga adalah menemukan kasus sedini mungkin. Caranya, dengan tes cepat pada warga dengan suhu lebih atau sama dengan 38 derajat, orang tanpa gejala, orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan, serta perluasan pemeriksaan diagnostik. Sementara aspek pembiayaan tidak boleh menghambat upaya itu.
Adapun strategi keempat ialah membentuk desa atau rukun tetangga siaga Covid-19 di bawah manajemen kendali kabupaten/kota. Nantinya desa atau rukun tetangga ini didukung para kader atau relawan. Tujuannya, lanjut Syahrizal, memantau status demam harian warga, memberi arahan istirahat di rumah, memantau pergerakan, membantu proses diagnostik dini, membantu proses rujukan, dan memantau status suhu orang tanpa gejala yang berasal dari daerah tertular.
Proses pemantauan dapat memanfaatkan internet atau menggunakan instrumen sederhana berupa simbol status kesehatan.
”Keempat strategi ini menjadi bagian dari strategi lainnya yang sudah dijalankan. Setiap strategi, termasuk opsi karantina wilayah, hendaknya meminimalkan dampak sosial dan ekonomi warga yang sudah menderita akibat kehilangan mata pencarian,” ucapnya.
Gugus Tugas Penanganan Covid-19 melaporkan, hingga Senin (30/3/2020) sore, sebanyak 1.414 kasus terkonfirmasi dengan rincian 1.217 dirawat, 75 sembuh, dan 122 meninggal. Sebanyak 698 kasus terdapat di DKI Jakarta, 180 di Jawa Barat, 128 di Banten, dan 91 di Jawa Timur.