Siasat Pekerja Informal di Jakarta Selama Pandemi Covid-19
Para pekerja informal masih mengandalkan pendapatan harian untuk menghidupi diri saat pandemi Covid-19. Beberapa di antaranya mulai bersiasat agar memperoleh sumber rezeki lain.
Oleh
sekar gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pekerja informal masih mengandalkan pendapatan harian untuk menghidupi diri saat pandemi Covid-19. Beberapa di antaranya mulai bersiasat agar memperoleh sumber rezeki lain.
Gunawan Wicaksono (39) sudah berjam-jam menunggu penumpang yang mau menggunakan jasanya sebagai pengendara taksi daring. Namun, sejak Senin malam hingga Selasa siang ini, ia hanya memperoleh satu penumpang.
”Sepi penumpang. Akhirnya, saya memutuskan berjualan jambu kristal saja sampai petang nanti,” kata Gunawan di Jakarta, Selasa (31/3/2020).
Alih profesi dari pengemudi taksi daring menjadi pedagang jambu baru ia jalani selama beberapa hari terakhir. Jambu dipasok dari Purwokerto, Jawa Tengah, dan dijual di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Usaha dagang dadakan ini merupakan ide Gunawan dan rekannya sesama sopir taksi daring.
Menurut Gunawan, cukup banyak warga yang membeli jambu dagangannya. Warga diyakini semakin rutin makan buah dan sayur guna menjaga kesehatan selama pandemi berlangsung. Hal ini dipandang Gunawan sebagai peluang mencari rezeki.
Jambu sebanyak 30 kilogram laku terjual di hari pertama berjualan. Harga satu kilogram jambu sebesar Rp 25.000. Gunawan mengambil keuntungan Rp 5.000 per kilogram. Hari Selasa ini, ia mencoba peruntungan dengan menjual 60 kilogram jambu.
”Mengandalkan taksi online saja tidak memungkinkan dalam kondisi seperti sekarang. Ini berdampak ke kami yang masih mengandalkan penghasilan harian. Apa pun yang bisa menghasilkan uang akan saya jalani untuk bertahan,” tutur Gunawan.
Sopir taksi daring lainnya, Lyla (38), turut menyiasati krisis akibat pandemi dengan berjualan buah. Selain jambu, ia juga menjual durian dengan menggunakan mobilnya. Ia perlu memutar otak mencari penghasilan lain untuk membiayai dua anaknya.
Ibaratnya, dulu saya punya dua sumur untuk menghidupi keluarga. Sekarang, sumurnya tinggal satu dan airnya kering. Saya sebenarnya takut untuk narik saat wabah. Tetapi, ketakutan harus dilawan agar saya tidak mati karena ketakutan di rumah.
Adapun Wirman (49) kini hanya menggantungkan hidup dengan menjadi sopir taksi daring. Sebelum Covid-19 mewabah, ia memiliki penghasilan lain dengan berdagang pakaian di pasar malam. Setelah pemerintah memberlakukan pembatasan sosial, operasi pasar malam dihentikan. Ia pun kehilangan salah satu sumber pendapatan.
”Ibaratnya, dulu saya punya dua sumur untuk menghidupi keluarga. Sekarang, sumurnya tinggal satu dan airnya kering. Saya sebenarnya takut untuk narik saat wabah. Tetapi, ketakutan harus dilawan agar saya tidak mati karena ketakutan di rumah,” kata Wirman.
Penjual roti keliling, Pangestu (46), juga merasakan dampak virus korona baru (SARS-CoV-2). Pendapatannya berkurang hingga 50 persen selama sebulan terakhir. ”Saya bingung mau kerja apa lagi karena tidak punya keterampilan,” katanya.
Paket stimulus
Pemerintah menyiapkan tiga paket stimulus untuk mengantisipasi dampak Covid-19 terhadap perekonomian nasional. Kendati demikian, para pekerja informal masih harap-harap cemas menantikan realisasinya.
Paket stimulus pertama adalah melalui Kartu Prakerja yang diluncurkan dua pekan lalu. Program ini diharapkan dapat mengantisipasi kondisi ekonomi yang lesu dan ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja.
Stimulus kedua adalah penghapusan Pajak Penghasilan (PPh 21) untuk pekerja di sektor manufaktur. Stimulus ketiga berupa jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin (Kompas, 20/3/2020).
Kendati demikian, stimulus yang diberikan pemerintah dinilai belum menyentuh para pekerja informal harian. Itu karena pekerja informal tidak terlindungi program Kartu Prakerja dan tidak menerima dampak positif dari penghapusan Pajak Penghasilan.
Data Badan Pusat Statistik menyatakan ada 70,49 juta pekerja informal di Indonesia atau setara 55,72 persen pada Agustus 2019. Jumlah pekerja formal pada periode yang sama sebanyak 56,02 juta orang atau 44,28 persen. Pekerja informal biasanya bekerja secara serabutan dan bergantung pada pendapatan harian, seperti pedagang kaki lima dan buruh.