Berjuang Memberi Harapan
Sebagian tenaga medis yang merawat pasien yang menderita Covid-19 tidak dilengkapi alat pelindungi diri yang lengkap. Di tengah kerentanan tertular penyakit itu, mereka berjuang agar pasien bisa sembuh.
Apabila tekanan udara di kabin ini berkurang secara tiba-tiba, maka masker oksigen akan keluar dari tempatnya sehingga terjangkau. Kenakan masker terlebih dahulu, setelah itu barulah kenakan masker pada anak Anda.
Dalam peringatan yang selalu diucapkan pramugari kepada penumpang pesawat tersebut jelas menginstruksikan bahwa ketika hendak menolong orang lain, pastikan diri sendiri tertolong terlebih dahulu. Namun, sayang, itu tidak terjadi pada sebagian besar tenaga medis yang saat ini merawat pasien yang menderita Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru di Indonesia.
”Tenaga medis yang dikorbankan. Dokter-dokter sudah banyak yang meninggal. Ini barusan saya dengar ada tiga dokter lagi yang meninggal,” ucap dokter Handoko Gunawan dengan suara lirih ketika melalui sambungan telepon, dua pekan lalu. Sesekali terdengar juga batuk kecil ketika ia berbicara.
Dokter Handoko adalah salah satu dokter spesialis paru yang merawat sejumlah pasien Covid-19 di Rumah Sakit Graha Kedoya, Jakata Barat. Dokter yang hampir berusia 80 tahun ini sempat dirawat di ruang isolasi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan karena terkonfirmasi positif tertular penyakit tersebut. Kabar baik, dokter Handoko dinyatakan sembuh dan boleh kembali ke rumahnya, pekan lalu.
Baca juga: Akurasi Permodelan Matematika dan Puncak Pandemi Covid-19
Dalam perbincangan melalui telepon saat itu, ia berkisah bagaimana ia harus berjibaku melawan virus yang diderita pasiennya. Seperti berperang, ucapnya, tetapi tidak diberikan senjata yang lengkap. Jika seharusnya setiap dokter dipersenjatai dengan alat pelindung diri (APD) yang lengkap, kali itu persediaan sangat terbatas.
Kesedihan mendalam ia ungkapkan ketika menerima kabar duka dari rekan sejawatnya yang meninggal saat bertugas melayani pasien Covid-19. Ia sebutkan satu per satu, termasuk almarhum dokter Djoko Judodjoko yang cukup dekat dengannya.
”Keren, sih, difoto-foto dan terpampang dengan APD, padahal itu APD yang sudah dipakai berulang-ulang. Hanya ada satu APD yang harus saya pakai berulang. Itu konyol memang. Bagaimana tidak virus terus melekat pada diri saya,” tuturnya.
Jas hujan
Bahkan, ia melanjutkan, sejumlah perawat hanya dibekali dengan jas hujan plastik. Ia kembali membayangkan betapa perawat itu sebenarnya menggigil ketakutan karena ingat anak dan suaminya. Namun, kenyataannya, meski kondisi seperti itu, mereka tetap mau melayani para pasien di rumah sakit.
Hal itu juga yang dialami oleh Tary, seorang perawat di RSUD Lanto Daeng Pasewang, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Selain hanya dibekali jas hujan plastik sebagai baju pelindung, ia dan perawat lain hanya diberikan satu masker untuk digunakan dalam sehari.
”Dari pagi sampai siang, kami pakai jas hujan itu terus karena tidak ada baju yang sesuai. Berasa di sauna kami pakai itu. Tetapi, bagaimana lagi, yang kami hadapi adalah pasien dalam pengawasan Covid-19,” tuturnya.
Baca juga: Indonesia Mampu Produksi APD hingga 17 Juta Unit Per Bulan
Cerita lain disampaikan Kepala Residen Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Budi Prasetio Nugroho. Ia mengakui selama ini tidak ada kendala terkait APD, terutama untuk dokter yang langsung berhadapan dengan pasien dengan gejala Covid-19.
”Namun, kalau jumlah pasien terus bertambah, saya yakin rumah sakit tidak akan mampu. Sebanyak apa pun tempat tidur ditambahkan, jika pasien yang terinfeksi lebih banyak, pasti akan kewalahan,” katanya.
Dari pagi sampai siang kami pakai jas hujan itu terus karena tidak ada baju yang sesuai. Berasa di sauna kami pakai itu. Tetapi bagaimana lagi, yang kami hadapi adalah pasien dalam pengawasan Covid-19. (Tary)
Meski kebutuhan alat pelindung diri tidak menjadi masalah saat ia bertugas, ia tetap khawatir jika harus pulang untuk bertemu keluarga. Kebetulan keluarganya tinggal di daerah lain sehingga ia juga tidak bisa setiap hari pulang. Namun, ia tetap memilih untuk menunda kepulangannya guna mencegah kemungkinan terburuk.
”Virus ini masih baru. Kita tidak tahu banyak siapa lawan kita saat ini. Sementara senjata yang kita miliki juga terbatas. Jadi, lebih baik mencegah," ucap Budi Prasetio atau yang lebih dikenal sebagai dokter Yoyo.
Kisah dokter Handoko, suster Tary, dan dokter Yoyo hanya sebagian kecil dari perjuangan tenaga medis yang bertugas merawat pasien Covid-19 di seluruh wilayah Tanah Air.
Tidak sedikit pula nyawa dari tenaga medis ini sudah dikorbankan karena tugasnya. Padahal, perlawanan terhadap virus ini masih berlanjut dan belum tahu kapan akan usai.
Jumlah pasien di Indonesia yang positif terinfeksi virus Sars-CoV-2, virus penyebab Covid-19, juga terus bertambah. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat, per Minggu (5/4/2020), kasus konfirmasi positif bertambah 181 kasus sehingga total kasus positif 2.273 penderita, sedangkan kasus kematian bertambah 7 orang menjadi total 198 pasien.
Juru bicara pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto, dalam jumpa pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta, menyatakan, data Gugus Tugas merincikan 5 kasus positif di Aceh, Bali 35 kasus, Bangka Belitung 2 kasus, Bengkulu 2 kasus, dan DI Yogyakarta 34 kasus.
Sejauh ini DKI Jakarta masih jadi provinsi dengan jumlah pasien positif Covid-19 terbanyak, yaitu 1.124 jiwa per 5 April. Berikutnya, di Jawa Barat tercatat ada 252 pasien, Jawa Timur dengan 188 pasien, Banten dengan 177 pasien, dan Jawa Tengah dengan 120 pasien.
Sementara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat, setidaknya ada 13 dokter meninggal karena tertular Covid-19. Mereka yang jasanya patut dikenang, di antaranya Profesor Iwan Dwi Prahasto, Profesor Bambang Sutrisna, dokter Yuniarto Budi Santosa,dokter Hadio Ali, dokter Djoko Judodjoko, dan dokter Laurentius Panggabean.
Kebutuhan alat pelindung
Ketika jumlah pasien terus bertambah, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Mohammad Adib Khumaidi menyampaikan, alat pelindung diri bagi para petugas medis masih terbatas. Padahal, APD sangat diperlukan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk memutus rantai infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan.
Menurut dia, APD ini tidak cukup hanya masker. Masker pun harus berjenis N95. Pemerintah harus bergerak cepat untuk bisa menyediakan kebutuhan yang kini sangat mendesak. Pemberian APD ini juga seharusnya tidak hanya di rumah sakit rujukan saja, tetapi juga fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas yang paling awal menerima pasien dengan dugaan Covid-19.
”Mekanisme layanan juga harus diatur dengan baik. Potensi kontak (dengan pasien terinfeksi) cukup tinggi. Artinya, perlu pengaturan jam pelayanan. Pastikan juga ada jeda untuk istirahat, termasuk perlakuan untuk isolasi mandiri. Ini memberikan konsekuensi penambahan jumlah SDM,” kata Adib.
Secara terpisah, Ketua Tim Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menuturkan, pada 2 April 2020, pemerintah telah menerima 441.725 alat pelindung diri (APD), 3.000 kacamata pelindung, 846.334 masker biasa, 17.000 masker N95, dan 250.000 alat tes cepat massal. Dari jumlah itu telah didistribusikan sebanyak 351.250 APD, 600 kacamata pelindung, 2.000 masker biasa, dan 110.800 alat tes cepat massal.
”Jumlah ini saat ini mungkin cukup, tetapi jelas jika melihat kebutuhan, bisa saja beberapa hari lagi ketersediaannya kembali terbatas. Sudah ada 28 industri dalam negeri yang memproduksi APD, hanya memang kendala lain karena bahan baku juga harus diimpor,” katanya.
Jumlah petugas medis yang terbatas juga jadi tantangan bagi bangsa ini dalam melawan virus ini. Sayangnya tenaga yang terbatas itu dituntut untuk bisa melayani ribuan pasien yang berstatus dalam pengawasan ataupun sudah dinyatakan positif Covid-19. Belum lagi pasien dengan jenis penyakit lain yang jumlahnya tidak sedikit.
Pandemi Covid-19 tidak bisa diremehkan. Jumlah kasus terus bertambah, baik di Indonesia maupun di secara global. Masalah ini butuh kesadaran diri sendiri, terutama masyarakat luas untuk bisa memutus rantai penularan. Berdiam dan menahan diri di rumah merupakan cara terbaik. Jangan tambah jumlah kasus menjadi semakin banyak.
Hal itu juga kini disampaikan para petugas medis, ”Kami bertugas di luar untuk bantu Anda. Anda bantu kami dengan tetap tinggal di rumah.” Jaga jarak, jaga kebersihan, tahan diri, hindari kerumunan, dan tetaplah di rumah!