Kepanikan warga tidak terhindarkan sepanjang merebaknya virus SARS-CoV-2. Kondisi ini terjadi lantaran terbatasnya informasi yang tepat diterima warga terkait pandemi Covid-19. Siapa yang harus bergerak meredakannya?
Oleh
Andy Riza Hidayat
·4 menit baca
Kepanikan warga pada virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) merebak cepat. Belakangan, beberapa kejadian di tengah aktivitas warga ditangani dengan prosedur pandemi Covid-19. Padahal orang yang ditangani itu tidak terjangkit Covid-19, tetapi mengidap epilepsi, diputus pacar, atau sakit karena penyebab lain.
Nuansa yang mirip terjadi di Jakarta akhir Maret lalu. Saat dua warga mengejutkan pengunjung salah satu pusat perbelanjaan karena mereka berbelanja dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) ala tim medis. Keduanya seperti tidak merasa aneh dengan atributnya. Namun, banyak yang bertanya-tanya, apakah harus begitu berbelanja di era pandemi Covid-19.
Sementara itu, di banyak tempat di Indonesia, warga mendeklarasikan lockdown di lingkungan masing-masing. Entah paham atau tidak dengan konsep lockdown, mereka mengunci permukimannya dari mobilitas manusia. Penguncian itu ditandai dengan memampang spanduk bertuliskan lockdown.
Maka tak terbendung, spanduk bertuliskan ”Karang Bedil Lockdown” terpasang di pintu masuk Lingkungan Karang Bedil, Kecamatan Mataram, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kompas, Senin (30/3/2020).
Poster serupa terpasang di kawasan Larangan Selatan, Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kompas, Senin (30/3/2020). Juga di Desa Citapen, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, sebagaimana cuitan admin Twitter Bandung Barat @BdgBaratUpdate pada 30 Maret lalu.
Penulisan lockdown seperti dibuat spontan, ada yang menuliskannya menjadi lock dont sampai download. Entah apa yang ada di benak penulis spanduk dan poster itu. Makin ke sini, makin jauh dari semangat awal untuk menghindari serangan virus korona.
Kehadiran negara
Fenomena ini terjadi lantaran minimnya literasi tentang virus korona jenis baru di level akar rumput. Pada saat yang bersamaan, aturan teknis yang mudah dipahami warga belum juga diterima warga setidaknya hingga, Rabu (8/4/2020) malam.
Kenyataan ini, menurut peneliti kebijakan publik Bogor University, Deddy S Bratakusumah, tidak boleh dibiarkan. Jika dibiarkan, benturan kepentingan antarwarga bukan hal yang mustahil terjadi. ”Negara harus hadir dengan kebijakan yang tepat. Kebijakan yang lahir dari analisis para ahli di berbagai sektor,” kata Deddy kepada Kompas.
Fenomena latah ini diperparah dengan sebaran berita bohong di tengah masyarakat. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, ada peningkatan berita bohong yang diklarifikasi Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi per Maret hingga April.
Pada awal Maret lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika merilis ada 147 berita bohong seputar pandemi Covid-19. Kabar bohong ini meningkat pada awal April menjadi 474 kasus. Peredaran kabar bohong ini berpotensi mengacaukan pemahaman mereka tentang pandemi Covid-19. Sebab kabar bohong ini sebagian di antaranya datang dari media massa, media sosial dengan mencatut narasumber tokoh masyarakat, hingga kabar bohong Covid-19 yang dibungkus dengan konten bernuansa agama.
Fenomena inilah yang disebut Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai infodemi (infodemic). Selain melawan pandemi Covid-19, warga dunia saat ini berjuang melawan infodemi informasi yang salah.
”Untuk mengatasi sebaran virus korona, kita perlu segera mengedepankan fakta dan sains,” kata Sekjen PBB António Guterres, 28 Maret lalu.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan, infodemi adalah jumlah informasi yang berlebihan tentang suatu masalah. Hingga pada kemudian membuat orang sulit mengidentifikasi informasi benar yang salah. Infodemi ini dapat menciptakan kebingungan dan ketidakpercayaan sesama warga.
Langkah inisiatif
Di luar keriuhan informasi tentang pandemi, sebagian inisiatif warga layak mendapat apresiasi positif. Banyak pengurus lingkungan warga, tanpa menunggu intervensi pemerintah setempat mengambil langkah-langkah efektif. Mereka berinisiatif membentuk tim gugus tugas ala warga seperti yang terjadi di RW 012 Kelurahan Curug, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat.
Gugus tugas warga bekerja cepat, mereka melakukan survei digital yang diedarkan lewat grup aplikasi percakapan mengenai riwayat perjalanan warga, komposisi usia, keluhan kesehatan, dan data lain. Informasi ini kemudian diolah tim gugus tugas yang sebagian memang tenaga medis di rumah sakit terdekat. Dampak positifnya, warga merasa lebih aman dengan langkah-langkah itu.
Langkah ini semata-mata untuk melawan kecemasan yang entah kapan berakhir. Kecemasan itu muncul karena informasi yang tidak jelas dan ketidakjelasan bagaimana lembaga otoritatif menjangkau layanan hingga ke tingkat warga. Karena alasan itulah, inisiatif warga hadir.
Namun untuk wilayah-wilayah di luar contoh itu, perlu ada intervensi cepat pemerintah. Komisioner Ombudsman RI, Alamsyah Siregar, mengingatkan di era pandemi ini, kepemimpinan yang efektif amat dibutuhkan.
Pengamatannya sejauh ini, di sejumlah negara yang berhasil mengatasi pandemi ini, bukan karena pemerintahnya bertumpu pada fasilitas pelayanan kesehatan. Namun, pemerintah setempat efektif melakukan pengendalian sosial karena obat virus SARS-CoV-2.
”Kunci dari pengendalian sosial adalah kepemimpinan, kebijakan yang konsisten, dan kepercayaan rakyat,” kata Alamsyah. Tanpa itu, kepanikan warga masih akan meraja.