Sebagai penyakit baru, informasi tentang Covid-19 terus berkembang. Kecepatan untuk memetakan gejala dan faktor risiko menjadi sangat penting untuk mencegah penularan dan penanganan dini pasien.
Oleh
Ahmad Arif
·6 menit baca
Covid-19 ibarat penyakit seribu wajah. Gejala yang ditemukan semakin beragam, demikian pula mereka yang rentan terdampak juga tambah variatif. Sekalipun umumnya yang berisiko tinggi adalah lanjut usia dan yang punya penyakit penyerta, belakangan semakin banyak korban remaja, bahkan bayi.
"Selain gejala yang umum diketahui seperti demam, sesak nafas, dan batuk kering, mulai banyak muncul gejala-gejala baru dan mungkin spefisik di Indonesia. Namun, kita memang belum ada publikasi ilmiah tentang ini di Indonesia," kata Zubairi Djoerban, dokter senior yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. "Covid-19 ini seperti penyakit dengan seribu wajah."
Dia mencontohkan, ada pasien dirawat dengan gejala dan hasil laboratorium demam berdarah dengue (DBD), dengan trombosit rendah. Setelah pulang, demam lagi dan batuk kering. "Saat dirontgen ternyata ada pnemonia dan begitu dites positif Covid-19, yang repot adalah orang-orang yang pernah kontak sebelumnya, termasuk dokter dan perawat. Kesalahan diagnosa awal ini bisa membahayakan," kata dia.
Kajian Gabriel Yan dari National University Health System, Singapura dan tim yang diterbitkan di jurnal The Lancet pada 4 Maret 2020 lalu menyebutkan, penyakit dengue dan virus Corona 2019 (COVID-19) sulit untuk dibedakan karena punya gejala dan hasil laboratorium mirip. Studi lain menyebutkan, DBD dan Covid-19 juga bisa koinfeksi dan itu bisa jadi kombinasi mematikan.
Kajian Giuseppe Lupi dari Univeritas Verona, Italia yang di jurnal Clinica Chimica Acta pada Maret 2020 lalu menyebutkan, jumlah trombosit pasien Covid-19 pada tingkat parah umumnya lebih rendah dari rata-rata. Jumlah trombosit yang rendah ini juga bisa dikaitkan dengan peningkatan risiko Covid-19 sehingga disarankan menjadi indikator klinis.
Orang yang dengan penyakit DBD biasanya menderita demam dan ruam di kulit, tetapi tak disertai dengan batuk-batuk atau sakit tenggorokan, tak seperti orang yang terinfeksi COVID-19. Masalahnya, ahli spesialis kulit di Perancis yang tergabung dalam French National Union of Dermatologists-Venereologists (SNDV) menambahkan gejala baru Covid-19, yaitu munculnya kulit kemerahan yang terkadang terasa menyakitkan dan menimbulkan gatal-gatal.
Beberapa laporan terbaru di luar negeri menunjukkan infeksi Covid-19 ini juga bisa ditandai dengan menggigil dan nyeri, sakit kepala, mata merah, hingga hilangnya kepekaan indra penciuman dan perasa. Menurut studi di Amerika Serikat yang dipublikasikan di International Forum of Allergy & Rhinology pada 12 April 2020, kehilangan bau tiba-tiba merupakan tanda awal Covid-19, terutama pada mereka yang memiliki kasus ringan.
Dibandingkan dengan gejala demam atau kelelahan, kehilangan bau atau rasa sering diabaikan penderitanya, sehingga banyak orang dengan gejala ini bisa menjadi pembawa Covid-19 tanpa menyadarinya.
Selain gejala yang semakin variatif, mereka yang rentan terpapar Covid-19 juga semakin meluas. Sekalipun demikian, lanjut usia masih merupakan kelompok berisiko tertinggi, seperti dilaporkan Robert Verity dari Imperial College London di jurnal Lancet Infectious Diseases pada 30 Maret 2020. Secara global, tingkat fatalitas kasus untuk mereka yang berusia di bawah 60 adalah 1,4 persen. Bagi mereka yang berusia di atas 60, tingkat kematian 4,5 persen. Semakin tua populasi, semakin tinggi tingkat kematiannya. Bagi mereka yang berusia 80 tahun ke atas, Covid-19 memiliki tingkat kematian 13,4 persen.
Temuan ini sesuai dengan beberapa data dari Pusat Pengendalian Penyakit China (CDCC). Para peneliti di China mengamati dari 72.314 pasien pertama Covid-19, mayoritas yang meninggal berusia lanjut. Demikian halnya, laporan di Italia juga menunjukkan, Covid-19 memicu banyak kematian di negara tersebut karena terkait tingginya populasi lanjut usia.
Mengapa orang yang lebih tua lebih berisiko? Belum ada alasan pasti. Namun, diyakini fungsi kekebalan tubuh menurun seiring bertambahnya usia, dan orang tua memiliki lebih banyak penyakit lain atau komorbid.
Studi oleh Jing Yang dari The First Hospital of Lanzhou University, China dan tim yang dipublikasikan di International journal of Infectious Diseases (12 Maret 2012) menyebutkan, komorbiditas yang paling berisiko tinggi pada pasien Covid-19 meliputi hipertensi, diabetes, diikuti penyakit kardiovaskular, dan penyakit sistem pernapasan. Kesimpulan ini diperoleh dengan menganalisis delapan studi sebelumnya melalui analisis meta yang melibatkan 46.248 pasien yang terinfeksi.
Namun demikian data-data terbaru di Amerika Serikat menunjukkan, penyakit ini juga mulai banyak memicu kematian remaja dengan kategori sehat di negara itu. Kota New York, yang saat ini memiliki kasus infeksi Covid-19 terbesar di Amerika Serikat, telah mengalami 12 kematian orang dengan usia 19 hingga 44 tahun dari total 3.202 kematian pada 7 April 2020.
Selain itu, sebanyak 11 persen dari lebih dari 19.000 pasien rawat inap adalah mereka yang berusia 18 hingga 44, pada 5 April. Berikutnya, The New York Times memberitakan pada 4 April, bayi berusia 6 minggu dari negara bagian Connecticut, menjadi korban meninggal paling muda di AS.
Obesitas, diduga meningkatkan risiko kematian Covid-19 terhadap anak-anak muda di AS. " Obesitas lebih penting untuk rawat inap daripada apakah Anda memiliki tekanan darah tinggi atau diabetes, meskipun ini sering terjadi bersamaan, dan itu lebih penting daripada penyakit koroner atau kanker atau penyakit ginjal, atau bahkan penyakit paru-paru,” kata Leora Horwitz, Direktur Center for Healthcare Innovation and Delivery Science at NYU Langone, seperti dikutip The New York Times, Kamis (16/4).
Data-data terbaru di AS memberikan alarm bahwa kita harus melindungi diri dari virus SARS-CoV-2 yang memicu Covid-19, berapapun usia kita. Sekalipun data-data resmi tentang detil umur dan kondisi korban Covid-19 di Indonesia, namun beberapa pemberitaan menunjukkan, sebagian korban adalah anak muda, bahkan juga bayi.
Misalnya, seorang anak usia 11 tahun di Jawa Timur diketahui meninggal karena Covid-19 pada 20 Maret 2020, sekalipun hasil testnya baru keluar sembilan hari kemudian. Sebelumnya, laki-laki usia 17 tahun asal Jawa Bara juga dilaporkan meninggal karena Covid-19.
Pada tanggal 12 April 2020, bayi berusia 2,5 tahun dengan status PDP Covid-19 meninggal dunia di Medan. Lalu, tanggal 13 April 2020 bayi berusia 10 hari dengan status PDP Covid-19 dengan gejala pneumonia dan meningitis di Yogyakarta telah meninggal dunia. Berikutnya pada 15 April 2020, bayi usia satu tahun dari Klaten yang juga menjadi PDP kembali meninggal dunia.
"Kematian bayi-bayi dan remaja ini termasuk hal langka, yang harus jadi perhatian. Sayangnya data-data rinciannya belum ada, sehingga masih sulit untuk analisa. Kita harus segera menemukan gejala paling umum dan kelompok berisiko di Indoensia," kata Zubairi.
Hartati B. Bangsa, Wakil Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), yang bertugas di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet mengatakan, sekitar 40 persen dari 942 pasien Covid-19 yang pernah dirawat di Wisma Atlet berusia produktif, yaitu antara 15 - 40 tahun. "Kabar baiknya sebagian sudah pulih, namun benar banyak yang sakit masih muda," kata dia.
Hartati setuju, butuh pendataan yang baik dan studi intensif tentang gejala dan faktor risiko Covid-19 di Indonesia. Masalahnya saat ini tenaga medis banyak yang berjibaku menangani pasien, sementara data pasien Covid-19 yang dilaporkan Kementerian Kesehatan masih sangat terbatas.