Presiden Jokowi Ajak Masyarakat Berdamai dengan Covid-19
Presiden Jokowi mengingatkan penurunan kasus Covid-19 mestinya tak membuat masyarakat lengah. Berdamai dengan Covid-19 selama belum ditemukan vaksin bukan berarti mengabaikan pembatasan sosial dan protokol kesehatan.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat untuk hidup berdamai dengan Covid-19. Sebab, selama vaksin penangkal virus SARS-Cov2 yang menyebabkan penyakit Covid-19 belum ditemukan, masih ada kemungkinan kasus positif Covid-19 kembali meningkat.
Dalam keterangan yang disiarkan secara virtual, Rabu (7/5/2020), Presiden Jokowi menekankan bahwa pemerintah berusaha keras menanggulangi pandemi dengan memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Berbagai upaya dilakukan agar puncak pandemi Covid-19 segera berlalu.
Meski begitu, Presiden juga mengingatkan bahwa penurunan kasus semestinya tak membuat masyarakat lengah. Sebab, para ahli berpendapat bahwa masih ada kemungkinan kurva kasus positif Covid-19 kembali naik, kemudian turun, naik lagi, dan seterusnya. Ketidakpastian itu diperkirakan terjadi sepanjang vaksin virus SARS-Cov-2 belum ditemukan.
”Beberapa ahli menyatakan, ketika kasus sudah turun, tidak berarti langsung nol. Ada kemungkinan masih bisa naik lagi, turun lagi, naik sedikit lagi, turun lagi, dan seterusnya. Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif kita harus hidup berdamai dengan Covid hingga beberapa waktu ke depan,” tuturnya.
Berdamai dengan Covid-19 bukan berarti mengabaikan pembatasan sosial dan protokol kesehatan. Presiden Jokowi kembali menjelaskan mengenai pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang berarti pembatasan kegiatan di tempat umum ataupun fasilitas umum dalam bentuk pembatasan jumlah orang dan pengaturan jarak.
”Artinya, dengan PSBB, masyarakat masih bisa beraktivitas, tetapi dibatasi. Masyarakat juga harus sadar, membatasi diri, tidak perlu berkumpul dalam jumlah yang besar,” ujarnya.
Presiden Jokowi melihat, sampai saat ini masih banyak masyarakat yang tidak mematuhi pembatasan sosial dan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Jalanan memang sepi kendaraan, tetapi di perkampungan masih banyak warga yang berkumpul dan bergerombol.
Berdamai dengan Covid-19 bukan berarti mengabaikan pembatasan sosial dan protokol kesehatan.
Padahal, lanjut dia, untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, interaksi fisik harus dikurangi. Tak hanya itu, masyarakat juga harus menjaga jarak, memakai masker, dan selalu cuci tangan setelah beraktivitas.
Pemilihan PSBB, bukan karantina wilayah, sebagai solusi mencegah penyebaran Covid-19 disebabkan pemerintah menginginkan roda perekonomian tetap berjalan. Karena itu, pemerintah mengatur agar masyarakat tetap bisa beraktivitas secara terbatas dengan kewajiban menjalankan protokol kesehatan.
”Jadi, tidak hanya aparat yang disiplin, tetapi saya mengajak masyarakat untuk secara sadar mendisiplinkan diri. Saya masih sering menjumpai masyarakat yang tidak bermasker. Nanti tolong semuanya bermasker. Masih bergerombol, berkerumun, tolong dikurangi,” ujar Presiden.
Mudik tetap dilarang
Secara terpisah, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menegaskan, tidak ada perubahan ketentuan tentang mudik Lebaran. ”Mudik bukan termasuk yang dikecualikan dalam pembatasan perjalanan, mudik tetap dilarang,” katanya menegaskan.
Dijelaskan, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 4 Tahun 2020 yang berisi penjelasan teknis dari Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Melalui dua ketentuan itu, pemerintah mengatur pengecualian pembatasan perjalanan.
Dalam SE Gugus Tugas No 4/2020 disebutkan, pengecualian pembatasan perjalanan hanya berlaku bagi warga yang bekerja pada lembaga pemerintahan atau swasta yang menyelenggarakan kegiatan, seperti pelayanan percepatan penanganan Covid-19, pelayanan pertahanan, keamanan, dan ketertiban umum. Selain itu, juga terkait pelayanan kesehatan, pelayanan kebutuhan dasar, pelayanan pendukung layanan dasa; dan pelayanan fungsi ekonomi penting.
Perjalanan pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan darurat atau perjalanan orang yang anggota keluarga intinya sakit keras atau meninggal dunia juga masuk dalam pengecualian.
Pemerintah juga tidak membatasi perjalanan untuk kepentingan repatriasi pekerja migran Indonesia, warga negara Indonesia, dan pelajar atau mahasiswa yang berada di luar negeri. Termasuk pemulangan orang dengan alasan khusus oleh pemerintah sampai ke daerah asal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Secara terpisah, anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat, Syahrul Aidi Mazaat, mengkritik rencana pemerintah melonggarkan PSBB. Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu mencurigai pelonggaran PSBB dilakukan untuk memfasilitasi kepentingan kelompok tertentu, terutama kalangan usaha.
”Kami khawatir ada segelintir pebisnis tertentu yang resah usahanya akan jatuh, kemudian mendesak pemerintah untuk melonggarkan PSBB,” tuturnya.
Jika kecurigaan itu benar, kata dia, pemerintah melanggar asas keadilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Menurut dia, UU No 6/2018 menegaskan bahwa keselamatan masyarakat merupakan hal yang paling utama. Sementara pelonggaran PSBB justru berpotensi membuat penyebaran virus SARS-Cov-2 sulit dikendalikan.