Perkuat Daya Dukung Layanan Kesehatan Sebelum Longgarkan Pembatasan Sosial
Tenaga kesehatan berisiko tinggi tertular Covid-19 karena keterbatasan alat pelindung diri dan beban kerja tinggi. Karena itu, pemerintah mesti menghitung kapasitas tenaga medis sebelum melonggarkan pembatasan sosial.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan alat pelindung diri masih jadi masalah di sejumlah daerah dan risiko tenaga kesehatan untuk tertular Covid-19 juga tinggi. Hal itu, antara lain, disebabkan beban kerja sangat tinggi. Pemerintah diharapkan menghitung kesiapan layanan rumah sakit dan kapasitas tenaga kesehatan sebelum menerapkan kenormalan baru.
”Ketersediaan alat pelindung diri memang sudah lebih baik dibandingkan bulan lalu. Namun, keberlanjutannya meragukan dan harganya masih mahal, khususnya masker N95. Itu menyebabkan banyak yang mendaur ulang dan memakainya sampai lebih dari lima kali,” kata Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) M Adib Khumaidi, di Jakarta, Rabu (27/5/2020).
Kekurangan APD, menurut Adib, terutama dikeluhkan tenaga medis di daerah-daerah, khususnya luar Jawa. Kepala Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daha Husada, Kediri, Jawa Timur, Tri Maharani mengharapkan adanya kepastian pasokan alat pelindung diri, terutama masker N95 dan variannya, dengan harga terjangkau.
Ketersediaan alat pelindung diri memang sudah lebih baik dibandingkan bulan lalu. Namun, keberlanjutannya meragukan dan harganya masih mahal, khususnya masker N95.
”Untuk masker N95 saat ini di daerah masih Rp 100.000 per lembar, sedangkan yang produk China KN95 Rp 40.000 per lembar. Ini memberatkan sehingga rumah sakit hanya memberi jatah satu masker untuk satu bulan,” kata Tri.
Dengan kondisi ini, Tri harus memakai masker N95 hingga berkali-kali dengan memanggang dan kemudian merebusnya setelah dipakai. ”Dengan dipanaskan pasti akan berkurang fungsinya untuk melindungi, selain baunya yang tidak nyaman. Tetapi, memang kondisinya serba terbatas. Jadi, kami harus tetap bekerja,” tuturnya.
Jangan buru-buru
Terkait dengan rencana pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menuju situasi normal baru, Adib berharap jangan terburu-buru. ”Kesiapan sarana-prasarana, sumber daya manusia, termasuk ketersediaan ruang isolasi, harus dihitung dan dipetakan sehingga, kalau ada lonjakan kasus, kita lebih siap,” ucapnya.
Menurut Adib, perhitungan itu hingga sejauh ini belum terlihat. Perdebatan masih seputar penurunan kasus, itu pun banyak diperdebatkan karena kapasitas pemeriksaan yang masih terbatas.
Selain harus terukur, harus dilihat juga dinamika di setiap daerah, terutama di luar Jawa, yang kapasitasnya sangat terbatas. Dia mencontohkan, beban rumah sakit dan tenaga kesehatan di Jakarta saat ini cenderung turun seiring dengan berkurangnya jumlah pasien.
”Ini mungkin disebabkan banyak pemudik meninggalkan Jakarta. Jadi, kita perlu melihat kondisi Jakarta sampai dua minggu mendatang karena muncul kekhawatiran, setelah banyaknya aktivitas saat Lebaran, akan muncul banyak kluster baru. Selain itu, yang harus diwaspadai adalah arus balik,” ujarnya.
Ketika situasi di Jakarta relatif mereda, lanjut Adib, kondisi di sejumlah daerah menunjukkan adanya peningkatan kasus, yang berakibat menambah beban tenaga kesehatan. ”Jawa Timur yang saat ini terlihat kewalahan dan mengkhawatirkan,” katanya.
Sejumlah tenaga kesehatan di Rumah Sakit Universitas Airlangga saat ini positif Covid-19. Surat pemberitahuan yang ditandatangani Wakil Direktur Pelayanan Medis dan Keperawatan RS Universitas Airlangga, Hamzah, menyebutkan, layanan pasien baru Covid-19 di rumah sakit tersebut dihentikan sementara karena keterbatasan kapasitas perawatan pasien dan penyesuaian layanan.
”Risiko tenaga kesehatan tertular amat tinggi. Penyebabnya bukan hanya APD. Ini bisa karena faktor kelelahan sehingga kewaspadaan berkurang, selain standardisasi fasilitas kesehatan. Misalnya, poliklinik pelayanan harus ada standar tekanan negatif agar tak ada akumulasi virus dalam ruangan,” ujarnya.