Komitmen Daerah Tentukan Keberhasilan Mengendalikan Covid-19
Daerah di sepanjang pantai utara atau pantura Pulau Jawa memiliki risiko penularan Covid-19 yang beragam. Hal itu ditentukan oleh sejauh mana komitmen pemerintah daerah dalam menangani pandemi penyakit itu.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun berada di satu jalur dengan mobilitas tinggi, daerah di sepanjang pantai utara atau pantura Pulau Jawa memiliki risiko penularan Covid-19 yang beragam. Situasi itu terjadi karena komitmen dari tiap-tiap pemerintah daerah yang berbeda dalam upaya penanggulangan di setiap wilayahnya.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (4/7/2020), mengatakan, peta risiko penularan kasus Covid-19 di sepanjang wilayah pantura tidak menunjukkan adanya pola yang sama. Setiap kabupaten/kota menggambarkan risiko penularan yang berbeda.
”Pola risiko penularan kasusnya beragam di setiap wilayah. Ini membuktikan tidak ada korelasi yang kuat antara mobilitas transportasi yang tinggi di jalur pantura dan risiko peningkatan kasus. Meski demikian, kita butuh analisis lebih dalam karena pemetaan ini baru berdasar pada peningkatan kasus, belum pada aspek sosial, ekonomi, dan budayanya,” tuturnya.
Dari 32 kabupaten/kota yang berada di wilayah pantura, Wiku menjabarkan, wilayah dengan zona risiko rendah, antara lain, Karawang, Subang, Indramayu, Brebes, Pekalongan, Tegal, Pemalang, dan Banyuwangi. Sementara wilayah dengan zona risiko sedang, antara lain, Cilegon, Tangerang, Cirebon, Kendal, Semarang, Rembang, Tuban, dan Ponorogo. Wilayah dengan zona risiko tinggi meliputi, antara lain, Jakarta Utara, Demak, Gresik, Surabaya, dan Sidoarjo.
Pemetaan risiko penularan itu menunjukkan, wilayah barat dan tengah pantura didominasi oleh zona risiko rendah ke sedang, sementara wilayah timur pantura didominasi oleh zona risiko sedang dan tinggi. Meski demikian, sejumlah wilayah menunjukkan adanya perbedaan risiko dengan wilayah sekitarnya, seperti di Banyuwangi yang menunjukkan risiko rendah.
Pola risiko penularan kasusnya beragam di setiap wilayah. Ini membuktikan tidak ada korelasi kuat antara mobilitas transportasi yang tinggi di jalur pantura dan risiko peningkatan kasus.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengungkapkan, terdapat beberapa perbedaan strategi pariwisata Banyuwangi pada masa adaptasi kebiasaan baru. Anas menyatakan bahwa saat ini faktor kebersihan, kesehatan, dan keamanan menjadi daya tarik utama para wisatawan.
”Kalau dulu pariwisata ini yang dijual dan menjadi daya tarik adalah harga dan servis, sekarang tidak lagi. Yang menjadi nomor satu saat ini adalah kesehatan, kebersihan, dan keamanan sehingga protokol kesehatan menjadi yang utama. Jangan sampai, ketika para wisatawan datang sekali, kemudian tidak ingin datang kembali lagi,” ungkap Anas.
Selain itu, implementasi aktivitas pariwisata di Banyuwangi juga mengalami perubahan, seperti jadwal operasional tempat wisata yang aktif seminggu tujuh hari saat ini maksimal hanya lima hari dalam seminggu.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melakukan beragam simulasi dalam mempersiapkan pembukaan sektor pariwisata pada masa adaptasi kebiasaan baru, salah satunya kegiatan sertifikasi hotel dan restoran yang informasinya tersedia dalam aplikasi Banyuwangi Tourism.
Melalui aplikasi ini, para wisatawan dapat melihat hotel dan restoran mana saja yang telah memiliki sertifikasi sesuai protokol kesehatan. Tidak hanya sertifikasi, pengawasan berkala juga terus dilakukan pada hotel dan restoran yang disertifikasi agar dapat terus mempertahankan pelayanannya dan tidak melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Jika hotel dan restoran melanggar protokol kesehatan, maka akan langsung ditutup dan tidak diizinkan beroperasi.
Indikator kesehatan
”Komitmen pemerintah daerah sangat berperan dalam menentukan keberhasilan penanggulangan Covid-19 di daerahnya. Komitmen ini terutama dalam memenuhi indikator kesehatan masyarakat yang digunakan untuk mengukur risiko penularan Covid-19 di suatu daerah,” kata Wiku.
Adapun 15 indikator tersebut itu meliputi, antara lain, penurunan jumlah kasus positif, orang dalam pemantauan (ODP), dan pasien dalam pengawasan (PDP); penurunan jumlah kematian dari kasus positif, ODP, dan PDP; kenaikan kasus sembuh; kenaikan jumlah pemantauan; penurunan jumlah kematian; peningkatan jumlah pemeriksaan spesimen; serta peningkatan jumlah tempat tidur pasien Covid-19.
Wiku menambahkan, gugus tugas saat ini menyiapkan dua indikator lain untuk menyusun instrumen peta risiko dari suatu wilayah. Selain berdasarkan jumlah kasus, indikator yang akan dinilai terkait perubahan perilaku masyarakat dan dampak ekonomi.
Untuk perubahan perilaku, gugus tugas berencana membuat sistem khusus terintegrasi dengan aplikasi Bantu Lawan Covid. Laporan sukarelawan akan menunjukkan seberapa padat kerumunan di suatu wilayah. Dari ukuran ini dapat dilihat seberapa besar kepatuhan masyarakat untuk menerapkan jaga jarak dan tidak menimbulkan kerumunan yang berisiko menimbulkan penularan penyakit.
”Perubahan perilaku menjadi salah satu indikator pengendalian penularan Covid-19. Jika perubahan perilaku dalam adaptasi baru bisa optimal, penularan yang terjadi pun bisa dihindari sehingga prinsip masyarakat produktif aman dari Covid-19 bisa tercapai,” kata Wiku.