Masyarakat Takut Tertular Covid-19, Paham Antivaksin Diyakini Bakal Berkurang
Masyarakat antivaksin akan cenderung lebih menerima keberadaan vaksin apabila kesehatan mereka benar-benar terasa terancam akibat pandemi.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan masyarakat terhadap vaksin diyakini akan meningkat di tengah terjadinya sebuah pandemi, termasuk pada kelompok antivaksin. Namun, pemerintah diminta untuk tidak mengabaikan pentingnya penjelasan kepada publik yang jelas dan transparan mengenai vaksin.
Apabila terjadi pandemi, kelompok masyarakat yang memiliki kecenderungan menolak vaksin atau biasa disebut antivax akan bersikap lebih menerima dan terbuka. Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, I’im Halimatusa’diyah pada Rabu (12/8/2020) meyakini hal ini karena faktor proximity; ancaman kesehatan lebih terasa dekat bagi mereka.
Hal ini sesuai dengan temuannya pada 2018 ketika ia menggelar survei untuk melihat persepsi masyarakat terhadap vaksin di tengah wabah difteri. Dalam survei daring dengan 526 responden tersebut, ditemukan bahwa, misalnya, ketika ada wabah cacar air, penerimaan terhadap vaksin akan meningkat dari 40 persen menjadi 67 persen.
Hasil yang sama terjadi dalam skenario terjadinya wabah difteri. Sikap masyarakat menjadi lebih terbuka dalam menerima vaksin difteri; dari 41 persen menjadi 71 persen.
I’im berpendapat, hal yang sama akan kembali terjadi di tengah pandemi Covid-19 yang terjadi global saat ini. Masyarakat yang mungkin antivaksin akan lebih terbuka terhadap keberadaan vaksin Covid-19.
”Saya memprediksi, penerimaan itu akan cukup tinggi untuk vaksin korona. Ini karena masyarakat takut tertular, sudah terasa dekat. Kalau kita khawatir tertular, itu yang membuat orang akan lebih memilih rasa aman,” kata I’im saat dihubungi dari Jakarta.
Lepas kelas sosial
I’im mengatakan, tidak ada hubungan signifikan antara kelas sosial ekonomi dan pendidikan dengan paham antivax. Akses informasi yang kecil pun tidak serta-merta membuat orang menjadi antivax.
Menurut I’im, ada dua faktor besar—di luar ketakutan terhadap jarum, misalnya—yang berkontribusi pada terpengaruhnya seseorang terhadap narasi antivaksin.
Pertama, kecenderungan orang yang suka teori konspirasi. ”Misalnya, bagi orang yang menganggap korona itu adalah hasil konspirasi, tentu mereka akan menolak vaksin korona,” kata I’im.
Kedua, kepedulian sosial yang rendah. Seperti yang diketahui, vaksin baru bisa sukses untuk memutus penularan suatu penyakit ketika sebagian besar populasi telah divaksinasi.
Apabila seseorang lebih mementingkan kebebasan individualnya dibandingkan dengan upaya bersama memutus penularan, dia akan lebih menolak vaksin. ”Kalau dia tidak memikirkan kepentingan bersama, dia akan menentang vaksinasi,” kata I’im.
Kepatuhan masyarakat untuk mendapat vaksin memang menjadi hal yang penting dalam upaya pengendalian Covid-19 apabila kelak vaksin sudah selesai dikembangkan.
David Dowdy dan Gyspyamber D’Souza, epidemiolog Johns Hopkins University, mengatakan, pada setidaknya 70 persen populasi harus divaksinasi dan imun untuk dapat memutus rantai penularan. Hal ini yang disebut herd immunity melalui vaksin.
Itu pun apabila mengasumsikan vaksin berefikasi tinggi. Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) AS Anthony Fauci pada Juni lalu mengatakan, apabila efikasi vaksin hanya 70-75 persen dan hanya dua pertiga masyarakat yang mau menerima vaksin, kekebalan komunitas tidak akan tercapai. Covid-19 akan masih bisa menular di tengah masyarakat.
Pesan transparan
Untuk itu, menurut I’im, pemerintah perlu melakukan komunikasi mengenai vaksin yang dapat mendorong masyarakat lebih terbuka terhadap vaksin. Hal ini dapat diraih apabila pemerintah berkomunikasi secara terbuka.
”Kalau masyarakat percaya kepada pemerintahnya, mereka juga akan percaya bahwa vaksin ini bermanfaat bagi publik. Kalau tidak ada transparansi dari pemerintah, ya, tadi ini bisa dianggap konspirasilah atau pemerintah menutup-nutupi,” kata I’im.
Kalau masyarakat percaya kepada pemerintahnya, mereka juga akan percaya bahwa vaksin ini bermanfaat bagi publik. Kalau tidak ada transparansi dari pemerintah, ya, tadi ini bisa dianggap konspirasilah atau pemerintah menutup-nutupi.
Pendapat senada disampaikan oleh psikolog University of Illinois Urbana Champaign, Prof Dolores Albarracin. Menurut dia, jika pemerintah tidak memberikan pesan yang konsisten dan jelas terhadap pentingnya imunisasi, segala hoaks—segila apa pun—dapat berdampak.
Selain itu, Albarracin mengatakan, diskusi antara teman dan keluarga megenai vaksin dapat meningkatkan keterbukaan masyarakat terhadap vaksin dibandingkan dengan melalui pesan-pesan media sosial.
Temuan ini didapatkan analisis yang dilakukan Abarracin dan dua koleganya—Man-pui Sally Chan serta pengamat kebijakan publik University of Pennsylvania AS, Kathleen Hall Jamieson—terhadap 115.330 kicauan Twitter bersama data survei dari 3.005 responden orang dewasa di AS selama September 2018-Mei 2019 mengenai vaksin. Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal ternama Vaccine pada Senin (10/8/2020).
Untuk itu, Albarracin meminta pemerintah untuk mendorong masyarakat berdiskusi langsung dengan teman dan keluarga untuk mempromosikan pentingnya vaksin.
”Pemerintah bisa mengajak masyarakat untuk saling berdiskusi mengenai vaksin. Tidak harus secara langsung menyuruh untuk menerima, tetapi setidaknya masyarakat harus memahami betapa pentingnya vaksin,” kata Albarracin.