Kesepian Saat Remaja Pengaruhi Kesehatan Mental Saat Dewasa
Penggunaan internet ternyata membuat banyak anak muda makin terasing dari sekitarnya dan mengalami kesepian di masa pandemi Covid-19. Padahal, kesepian menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental remaja.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Internet membuat dunia makin terhubung. Namun koneksi maya itu nyatanya membuat banyak anak muda makin terasing dari sekitarnya dan mengalami kesepian. Padahal, kesepian menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental yang juga akan berdampak pada kesehatan fisik masyarakat.
Ancaman itu makin mengkhawatirkan di tengah pandemi Covid-19 saat ini yang membuat banyak aktivitas nyata harus berpindah ke mode digital. Pembatasan sosial dan karantina wilayah yang diberlakukan di sejumlah daerah memaksa anak muda hanya diam di rumah, memutus kebutuhan mereka untuk bersosialisasi dan menjalin pertemanan dengan rekan-rekan mereka.
Survei Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) yang dipublikasikan 14 Agustus 2020 menunjukkan anak muda umur 18-24 tahun termasuk kelompok populasi paling menderita gangguan mental akibat pandemi Covid-19 dibandingkan kelompok umur lain. Gangguan itu berupa kecemasan, depresi, trauma, dan stres terkait Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru.
Sebagai gambaran, sekitar 62,9 persen anak muda mengalami gangguan kecemasan atau depresi. Prevalensi itu jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok lanjut usia yang berumur lebih dari 65 tahun yang mengalami cemas dan depresi hanya sebesar 8,1 persen. Padahal, kelompok lanjut usia ini merupakan kelompok yang paling tinggi risiko kematiannya akibat Covid-19.
Bahkan, 25,5 persen anak muda memiliki pikiran untuk bunuh diri dalam sebulan terakhir selama survei yang dilakukan pada 24-30 Juni tersebut. Padahal, keinginan bunuh diri pada kelompok lanjut usia hanya 2 persen. Selama ini, bunuh diri dianggap sebagai puncak dari persoalan kesehatan mental yang buruk sehingga besarnya pikiran untuk bunuh diri pada anak muda itu mengkhawatirkan.
Dampak isolasi sosial
Situasi itu menuntut ilmuwan untuk lebih memahami konsekuensi isolasi sosial dan kesepian yang dialami anak-anak muda bagi kesehatan mental mereka. Sebelum ini, riset telah menunjukkan isolasi sosial semasa kanak-kanak bisa merusak fungsi dan perilaku otak mereka saat dewasa.
Bunuh diri dianggap sebagai puncak dari persoalan kesehatan mental yang buruk sehingga besarnya pikiran untuk bunuh diri pada anak muda itu mengkhawatirkan.
Kerusakan otak akibat isolasi sosial dan kesepian itu terjadi pada seluruh spesies mamalia. Namun, mekanisme sirkuit otak yang mendasari kerusakan otak itu kurang dipahami.
Untuk memahami mekanisme kerusakan otak akibat isolasi sosial dan kesepian itu, peneliti dari Sekolah Kedokteran Icahn, Mount Sinai, New York, Amerika Serikat, mengidentifikasi sel-sel otak di bagian korteks prefrontal atau otak bagian depan. Bagian otak ini yang menunjang kemampuan seseorang untuk bersosialisasi saat dewasa.
Hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Neuroscience, 31 Agustus 2020, itu menunjukkan neuron atau sel saraf di korteks prefrontal medial yang memproyeksikan ke bagian talamus paraventrikular adalah bagian yang terdampak akibat isolasi saat remaja. Talamus paraventrikular adalah bagian otak yang menyampaikan sinyal ke bagian penghargaan di otak.
Pada tikus remaja yang diisolasi sosial, maka rangsangan neuron pada korteks prefrontal yang memproyeksikan ke talamus paraventrikular akan mengalami penurunan. Selain itu, hambatan input dari neuron lainnya justru mengalami peningkatan. Mekanisme sirkuit otak inilah membuat kemampuan bersosialisasi remaja hingga mengalami isolasi sosial.
”Setelah mengidentifikasi sirkuit khusus di korteks prefrontal yang sangat rentan terhadap isolasi sosial selama masa remaja, nyatanya sirkuit itu juga bisa menjadi target perawatan yang menjanjikan akibat kurangnya relasi sosial,” kata Hirofumi Morishita, psikiater, ahli neurosains dan dokter mata di Sekolah Kedokteran Ichan seperti dikutip dari Science Daily, Minggu (31/8/2020).
Meski temuan ini baru didasarkan pada otak tikus remaja, tetapi jika bisa direplikasi pada otak manusia, hal itu akan membuka gerbang untuk perawatan atau terapi gangguan mental akibat isolasi sosial yang dialami seseorang saat remaja.
Terapi yang dilakukan pada saat dewasa itu, lanjut Morishita, bisa dilakuan dengan menstimulasi sirkuit khusus pada korteks prefrontal yang memproyeksikan ke area talamus paraventrikular. Terapi ini mampu memperbaiki defisit relasi sosial akibat isolasi sosial atau kesepian yang dialami semasa remaja.
Terapi yang dipilih tim adalah teknik optogenetika dan kemogenetika. Kedua metode itu diharapkan bisa memulihkan aktivitas proyeksi dari korteks prefrontal medial ke talamus paraventrikular hingga memperbaiki defisit kemampuan bersosialisasi pada tikus dewasa yang mengalami isolasi sosial saat remaja.
Teknik optogenetik digunakan untuk merangsang proyeksi korteks prefrontal media ke talamus paraventrikular dengan menstimulasi neuron tertentu pada otak yang bergerak bebas dengan cahaya. Sementara teknik kemogenetika dilakukan dengan mengontrol secara kimiawi pada sel-sel tertentu di otak.
Dengan menggunakan kedua teknik tersebut, baik dengan stimulasi cahaya maupun obat kimia tertentu, peneliti dapat dengan cepat meningkatkan interaksi sosial pada tikus dewasa yang mengalami isolasi sosial saat remaja. ”Dari hasil pemeriksaan, defisit perilaku sosial yang terjadi sebelum stimulasi pada akhirnya menjadi berbalik setelah dilakukan stimulari,” kata Morishita.
Namun karena defisit perilaku sosial adalah dimensi umum dari banyak gangguan perkembangan saraf dan kejiwaan, seperti autisma dan skizofrenia, metode stimulasi pada neuron di korteks prefrontal yang memproyeksikan ke talamus paraventrikular itu kemungkinan juga bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki defisit perilaku sosial pada berbagai gangguan jiwa.