Mereka yang Ingin Menjadi Dokter di Tempat Terpencil
Semangat Gusti dan Jihan untuk mengabdi di wilayah yang kekurangan tenaga kesehatan patut diapresiasi. Jika semua dokter muda atau calon dokter bersikap serupa, akses warga terhadap kesehatan akan semakin merata.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Keinginan untuk menjadi dokter tak muncul tiba-tiba. Itu merupakan akumulasi pengalaman sejak kecil. Hasrat untuk membantu sesama menjadi titik pijaknya.
I Gusti Agung Ngurah (22), mahasiswa kedokteran Universitas Malahayati, Bandar Lampung, memendam keinginan untuk menjadi dokter sejak kecil. Ibunya seorang bidan di Bengkulu. Setiap hari, ia melihat orang ramai berobat ke rumahnya.
”Banyak sekali yang datang ke rumah. Selalu ada saja orang yang datang berobat. Sejak itu, saya ingin seperti ibu, mengobati orang sakit. Makanya saya memilih kuliah kedokteran,” katanya, ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu (25/10/2020) sore.
Pada 2015, dia terdaftar sebagai mahasiswa kedokteran umum di Universitas Malahayati. Sekarang, anak pertama dari dua bersaudara ini sedang menjalani koas (ko-asisten, sebutan bagi sarjana kedokteran yang menjalani program pendidikan profesi dokter).
Kuliah kedokteran, katanya, termasuk berat. Dia harus mengikuti les pelajaran tambahan bersama kakak tingkatnya untuk lebih memantapkan materi yang sudah dipelajari. Salah satu pelajaran terberat adalah anatomi. Di mata pelajaran ini, dia membedah mayat yang diawetkan atau cadaver.
”Tantangannya itu, kalau di buku semua gambar anatomi manusia itu, kan, jelas sekali warnanya. Namun, di dalam praktik warnanya enggak sama persis dengan yang ada di buku. Jadi, ingatan harus kuat,” jelasnya.
Setelah koas, Gusti akan mengikuti uji kompetensi mahasiswa program profesi dokter (UKMPPD). Jika lulus, dia akan resmi menyandang gelar sebagai dokter. Dia ingin bekerja di wilayah yang masih kekurangan dokter. Sebab, sejak di bangku kuliah, Gusti sudah menyoroti isu ketimpangan jumlah dokter di kota dan di daerah.
”Di kota jumlahnya bisa banyak banget karena faskes (fasilitas kesehatan) juga banyak. Makanya, saya lebih memilih di daerah yang masih kurang dokternya,” katanya.
Jihan Wafda Ramadhan (22) baru menyandang gelar dokter umum pada akhir September lalu. Setiap dokter yang baru selesai mengucapkan sumpah harus mengikuti internship. Tak tanggung-tanggung, dia memilih internship di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Jakarta. Pembekalan dokter internship dimulai 10 November mendatang.
”Ketika internship, kita boleh memilih rumah sakit. Saya pilih Wisma Atlet. Alhamdulillah dikabulkan. Kenapa Wisma Atlet? Karena Covid-19 ini sedang ramai dibahas. Saya juga lulus saat Covid-19 melanda Tanah Air. Ada keinginan untuk terjun langsung mengobati pasien Covid-19,” kata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang, ini.
Di kota jumlahnya bisa banyak banget karena fasilitas kesehatan juga banyak. Makanya, saya lebih memilih di daerah yang masih kurang dokternya.
Seperti cita-cita klasik dari anak Indonesia, Jihan pun ingin menjadi dokter sejak kecil. Bahkan, ketika duduk di SMA, dia sudah menentukan ingin menjadi spesialis kebidanan dan kandungan.
”Hampir sama dengan kebanyakan orang. Ini karena saya selalu ingin membantu sesama. Profesi lain mungkin melakukan hal yang sama. Hanya saja, dokter mungkin porsinya lebih besar,” jelasnya.
Tak seperti Gusti, Jihan adalah orang pertama di keluarga yang berkarier di bidang kesehatan. Ayahnya konsultan di bidang lingkungan hidup, sementara si ibu berstatus ibu rumah tangga.
Jihan pun ingin bekerja di wilayah yang sangat membutuhkan dokter, terutama di daerah yang fasilitas kesehatannya masih tertinggal. Untuk menentukan wilayah kerja, dia akan berdiskusi lebih lanjut dengan calon suami. ”Sebagai perempuan dan calon ibu rumah tangga, tempat bekerja nanti juga akan bergantung kepada suami,” katanya lagi.
Kemarin, Indonesia memperingati Hari Dokter Nasional sekali HUT ke-70 Ikatan Dokter Indonesia. Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia David S Perdanakusuma, dalam keterangan tertulis, berharap dokter Indonesia tetap memegang asas kemaslahatan bagi masyarakat dan asas kesejawatan antardokter.
”Itu adalah ikatan yang abadi dan yang tidak luntur karena waktu. Saat ini dokter bersama masyarakat berupaya keras mengatasi bencana pandemi Covid-19 yang sedang melanda Indonesia. Mari bahu-membahu terus berjuang bersama karena tanggung jawab itu tersemat di pundak kita. Jangan patah semangat. Kalau bukan kita sebagai dokter, siapa lagi yang dapat diharapkan menyelamatkan negeri kita tercinta Indonesia ini dari pandemi Covid-19,” katanya.
Pandemi Covid-19 tak hanya menewaskan masyarakat biasa, tetapi juga dokter dan tenaga kesehatan lain. Catatan Kompas, ada 130 dokter dan 9 dokter gigi tewas akibat Covid-19. Di saat bersamaan, jumlah dokter di Indonesia sebelum pandemi Covid-19 termasuk rendah di Asia dan dunia. Dengan jumlah dokter yang ada, rata-rata satu dokter melayani 3.000 penduduk.