Aturan Zonasi Semakin Ketat
Sekolah wajib menerapkan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru Sekolah berbasis zonasi untuk 90 persen dari siswa baru. Syarat PPDB adalah jarak dari rumah ke sekolah, bukan nilai.
JAKARTA, KOMPAS - Aturan mengenai zonasi diperkuat melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Melalui aturan ini, potensi kecurangan jual beli kursi sekolah dan penerimaan siswa tidak berdasarkan jarak rumah ke sekolah bisa diantisipasi.
"Permendikbud 51/2018 merupakan penyempurnaan dari Permendikbud 14/2018 tentang PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan evaluasi dari sistem zonasi pada tahun ajaran 2018/2019," kata Mendikbud Muhadjir Effendy dalam taklimat media di Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Dengan aturan baru ini, kata Muhadjir, targetnya adalah sekolah yang proaktif mendata calon siswa berdasarkan data sebaran anak usia sekolah milik dinas pendidikan di kabupaten/kota dan provinsi. Aturan menegaskan bahwa syarat PPDB adalah jarak dari rumah ke sekolah, bukan nilai rapor maupun Ujian Nasional. Sekolah wajib menerapkan PPDB berbasis zonasi untuk 90 persen dari siswa baru.
"Jalur prestasi akademik dan non akademik memiliki kuota tersendiri, yaitu 5 persen. Dapat pula dipakai untuk kuota 5 persen sisanya bagi pelajar yang mendaftar ke sekolah di luar zona mereka," tutur Muhadjir.
Lebih lanjut Staf Ahli Mendikbud Bidang Regulasi Chatarina Girsang menjelaskan, apabila tersisa satu kursi di sekolah sementara yang mendaftar lebih dari satu orang, sekolah bisa memilih siswa dengan nilai UN atau rapor lebih tinggi. Akan tetapi, sekolah tidak bisa menentukan batas minimal nilai UN dan rapor dalam melakukan seleksi.
Menurut dia, sistem zonasi bertujuan mendobrak mental "sekolah favorit" yang terpatri di masyarakat. Semua sekolah harus memiliki mutu pendidikan yang baik agar semua anak yang ada di zona bisa bersekolah di tempat terdekat dan dijamin tidak mengalami diskriminasi dalam dunia pendidikan, karena pendidikan sejatinya menambah mutu hidup manusia.
Keterbukaan informasi
Chatarina mengatakan, sekolah harus menerapkan keterbukaan informasi jumlah kursi siswa baru. Pada PPDB 2018, banyak sekolah berbohong soal jumlah kuota siswa baru. Misalnya, jumlah kursi yang tersedia ada 300, tetapi sekolah mengumumkan hanya 200 ketika PPDB. Sisanya digunakan untuk praktik jual beli kursi.
Ia menekankan, sekolah tidak boleh membuka rombongan belajar atau kelas baru setelah PPDB ditutup atau pun di tengah tahun ajaran. Penambahan jumlah siswa setelah PPDB usai merupakan tanda kemungkinan praktik kecurangan telah terjadi.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud Hamid Muhammad memaparkan, setiap dinas pendidikan memiliki daftar siswa kelas VI dan IX. Mereka bisa memperkirakan jumlah siswa baru di SMP dan SMA. Dinas beserta Majelis Kerja Kepala Sekolah yang menyusun prakiraan jumlah siswa yang masuk ke sekolah negeri, sekolah swasta, madrasah, SMK, maupun Kejar Paket.
Setiap dinas pendidikan memiliki daftar siswa kelas VI dan IX. Mereka bisa memperkirakan jumlah siswa baru di SMP dan SMA.
Hamid mengatakan, sistem zonasi diterapkan di semua wilayah, kecuali di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal karena faktor geografis yang sukar. Selain itu, sekolah berasrama dan satuan pendidikan kerja sama yang mengombinasikan kurikulum nasional dengan internasional juga tidak mempraktikkan zonasi.
"Dinas berkewajiban meluaskan zonasi apabila diperlukan agar tidak ada lagi titik-titik tak terjamah yang membuat siswa tidak bisa bersekolah di mana-mana," katanya.
Untuk lampiran berkas pendaftaran, kata Chatarina, Kartu Keluarga (KK) yang dianggap sah adalah jika keluarga tersebut sudah tinggal di zona tersebut minimal enam bulan. Walaupun begitu, Kemdikbud menyadari ada siswa yang terpaksa berpindah domisili akibat mengikuti orangtua yang terikat dinas, seperti aparat TNI/Polri yang bisa dipindah sewaktu-waktu.
Terkait hal ini, KK bisa diganti dengan Surat Keterangan Domisili yang dikeluarkan oleh kelurahan atau pun kecamatan. Syaratnya adalah sudah berdomisili di wilayah itu selama setahun. Artinya, siswa sudah bersekolah di zona itu selama setahun.
"Untuk mencegah orangtua memindahkan domisili pada akhir tahun pelajaran demi mengincar sekolah tertentu, sekolah memiliki aturan tidak menerima siswa baru di kelas VI dan IX. Sekolah juga tidak bisa menerima siswa pindahan apabila tidak ada kursi kosong," ucapnya.
Demikian pula, Surat Keterangan Tanda Miskin (SKTM) mulai tahun 2019 tidak sah sebagai lampiran berkas pendaftaran sekolah. Alasannya karena berkaca pada pengalaman terdahulu, SKTM sangat mudah dipalsukan. Semestinya dengan kewajiban kuota zonasi 90 persen semua anak usia didik di wilayah mendapat sekolah.
Surat Keterangan Tanda Miskin (SKTM) mulai tahun 2019 tidak sah sebagai lampiran berkas pendaftaran sekolah. Berkaca pada pengalaman terdahulu, SKTM sangat mudah dipalsukan.
Optimalkan swasta
Hamid Muhammad mengatakan, hendaknya ada pengoptimalan sekolah-sekolah swasta yang memenuhi standar pelayanan minimal. Tujuan zonasi menghapus diskriminasi pendidikan turut berlaku bagi sekolah swasta. Mereka yang mampu memberi pelayanan sesuai standar minimal hendaknya disubsidi agar memperbaiki mutu pembelajaran beserta sarana prasarananya sehingga siswa nyaman bersekolah di sana. Hal ini juga menghilangkan kasta antara sekolah negeri dan swasta.
"Pengoptimalan sekolah swasta jauh lebih efektif daripada membangun sekolah negeri baru. Pendidikan tidak akan maju kalau sekolah swasta ditinggalkan," ucapnya. Peningkatan mutu sekolah swasta sangat berguna di wilayah berpenduduk padat yang tidak semua siswa bisa masuk ke sekolah negeri.
Secara terpisah, pakar pendidikan dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Nisa Felicia mengingatkan bahwa muara pendidikan adalah perguruan tinggi. Selama ini, masyarakat mengincar lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang menyaring calon mahasiswa melalui nilai rapor dan prestasi.
Sekolah dengan akreditas A mendapat kuota SNMPTN 40 persen, akreditasi B boleh mendaftarkan 25 persen dari siswanya, dan akreditasi C serta sekolah tanpa akreditasi cuma diberi jatah 5 persen.
"Sistem ini yang membuat munculnya kasta-kasta sekolah. Orangtua berebut memasukkan anak ke sekolah berakreditasi A. Pembenahan pendidikan harus terintegrasi dengan perguruan tinggi bahwa di level pendidikan dasar dan menengah favoritisme sudah tidak ada," tuturnya.