Di luar normalitas, lahirlah sebuah genre baru dalam dunia seni rupa yaitu art brut atau seni wantah, seni yang bersahaja karena tak ada tendensi apapun dari pencipta karyanya.
Munculnya paradigma baru tentang seni wantah berawal dari gagasan Dr Hans Prinzhor dalam bukunya Bildnerei der Geisteskranken - Ein Beitrag zur Psychologie und Psychopatologie der Gestaltung yang diterbitkan pada 1922. Psikiater sekaligus sejarawan seni asal Jerman itu mengidentifikasi fenomena seni yang muncul secara polos tanpa merujuk pada konsep-konsep estetika dalam kesenian.
Pemikiran Prinzhor menginspirasi seniman Perancis Jean Philippe Arthur Dubuffet (1901-1985) untuk mengamati secara khusus sisi artistik karya-karya para penyandang gangguan mental. Dari merekalah, ia mempelajari karakter-karakter seni yang muncul secara polos, lugu, dan bersahaja dari alam bawah sadar.
“Dubuffet menemukan kemungkinan ‘berkesenian’ yang lain pada pengungkapan bawah sadar itu. Dia mencatat bahwa orang-orang tertentu-semuanya orang marjinal atau korban desosialisasi lain-membuat karya seni tanpa merasa dirinya menjadi pencipta atau seniman. Mereka hanya mengikuti ‘dorongan’ primer,” kata kritikus Seni Rupa Jean Couteau dalam buku Monolog Aldy-Kisah Inspiratif Artistika Lukisan Penyandang Autisma karya Agus Dermawan T terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, Desember 2018.
Bagi seniman Perancis itu, kreator-kreator bersahaja itulah praktisi yang sesungguhnya dari seni yang digerakkan oleh alam bawah sadar. Menurut Couteau semua ragam seni lainnya, dan terutama seni modern, “termakan” oleh evolusinya sendiri, karena setiap temuan barunya ditelan dan dibanalkan oleh pasar.
Pelukis sekaligus kurator Bentara Budaya, Ipong Purnama Sidhi, mengatakan, sampai saat ini art brut masih dianggap sebagai seni mentah yang ganjil dan liar di luar jalur akademik seni rupa. ”Art brut memang bukan lukisan populer yang disukai banyak orang. Karya-karyanya sangat spontan dan teknik-tekniknya tidak dilandasi teori seni rupa yang diperoleh di dunia pendidikan.
Sampai saat ini art brut masih dianggap sebagai seni mentah yang ganjil dan liar di luar jalur akademik seni rupa.
Namun, gaya art brut mampu memengaruhi perupa-perupa besar mulai dari sisi teknik hingga visual. Ini terbukti dengan munculnya gaya-gaya spontanitas dan pengabaian teknik karya pada lukisan Jean-Michel Basquiat, perupa belia Amerika Serikat yang meninggal di usia 27 tahun. Pelukis legendaris Vincent van Gogh bahkan mengalami gangguan jiwa yang tergambar dalam karya-karyanya yang ekspresif serta penuh kemarahan. Karya-karya Van Gogh baru diakui dan menjadi rebutan para kolektor setelah ia meninggal dunia.
Di Indonesia berkembang dua kutub seni liyan, yaitu art brut dan outsider art. Jika Art brut merupakan fenomena seni liyan yang muncul dari orang-orang dengan gangguan mental atau kejiwaan, maka outsider art lebih dikhususkan sebagaiekspresi seni yang muncul dari orang-orang marjinal (bukan penyandang gangguan kejiwaan) tanpa latar belakang pendidikan seni konvensional.
Mulai ditampilkan
Beberapa tahun terakhir, karya-karya seni wantah (art brut) dan seni marjinal (outsider art) mulai ditampilkan di ruang-ruang publik. Sebagian besar pameran digelar secara mandiri oleh keluarga, komunitas, dan orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap penyandang gangguan mental maupun disabilitas.
Seniman art brut asal Indonesia yang sudah mendapat ”panggung” di luar negeri adalah Ni Nyoman Tanjung asal Bali. Beberapa karyanya telah dipamerkan di sejumlah museum di Eropa, termasuk Swiss.
Mewakili kalangan muda tampil pula seniman Hanah Alfikih atau biasa dipanggil Hanah Madness. Pengidap bipolar disertai halusinasi ini pernah menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Festival Unlimited 2016 di London.
”Setelah digelar ajang olahraga paralimpik di London beberapa tahun sebelumnya, Pemerintah Inggris menjadi peduli pada kaum difabel. Kesenian hasil karya difabel diapresiasi. Hal ini juga perlu dilakukan di Indonesia sehingga kaum difabel tidak lagi fokus pada kekurangan mereka, tetapi pada karya,” ucap Hanah.
Di Inggris, kesenian hasil karya difabel diapresiasi. Hal ini juga perlu dilakukan di Indonesia sehingga kaum difabel tidak lagi fokus pada kekurangan mereka, tetapi pada karya.
Munculnya karya-karya seni wantah dan seni marjinal ke ruang-ruang publik menegaskan eksistensi seni sebagai milik dari siapapun tanpa terkecuali. Bagi sebagian penyandang gangguan mental dan kejiwaan, seni juga menjadi salah satu cara terapi yang efektif. Tentu, terapi ini hanya bisa dilaksanakan jika di sekitarnya tercipta ruang yang kondusif untuk berkarya.
Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta A Sudjud Dartanto mengatakan, ketika berada pada ranah seni muncul sebuah pertanyaan, apakah masih penting dan perlu mereka (para penyandang gangguan mental dan disabilitas) menyandang predikat, cap, atau stigma sebagai kaum disabilitas?
“Seni adalah ranah yang dapat membebaskan (siapapun) dari stigma dan prasangka, termasuk dalam hal ini adalah berbagai predikat dan penamaan yang membuat para penyandang kebutuhan khusus seolah-olah adalah kelompok sosial yang kontras dengan masyarakat pada umumnya. Karya-karya mereka menjanjikan kejujuran, kelugasan, dan spontanitas tanpa pretensi,” kata dia.
Tak dimungkiri, dunia seni rupa Indonesia masih belum familiar dengan kehadiran kreator maupun karya-karya seni wantah dan seni liyan. Namun, pelukis maestro Sudjojono pernah mengatakan, karya seni itu harus jujur. Di sinilah, karya-karya seni wantah dan liyan yang penuh dengan spontanitas, kejujuran, dan keluguan membuktikannya. Mari kita songsong bersama kebangkitan seni di luar alur.