JAKARTA, KOMPAS — Menyusul terjadinya bencana beruntun yang terus menelan korban jiwa, pemerintah menyiapkan peraturan presiden untuk membenahi sistem peringatan dini untuk berbagai jenis ancaman. Aspek sosial budaya menjadi bagian penting dalam peraturan ini, selain juga pembaruan peralatan dan sinergi antarlembaga.
Penyusunan sistem peringatan dini multi-ancaman ini diprakrasai oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). ”Kami mengoordinasikannya dengan kementerian dan lembaga terkait,” kata Deputi Bidang Konflik Sosial dan Dampak Bencana Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Sonny B Hary Harmadi, di Jakarta, Rabu (23/1/2019).
Menurut Sonny, dalam sistem yang baru nanti, dimensi sosial dan budaya harus menjadi bagian penting. ”Kita tidak bisa hanya mengandalkan peralatan dan teknologi untuk peringatan dini, tetapi juga sangat penting adalah menginternalisasi budaya kesiapsiagaan bencana. Untuk itu, peran pendidikan formal dan informal menjadi sangat penting,” katanya.
Asisten Deputi Pengurangan Risiko Bencana Iwan Eka S menambahkan, draft peraturan tentang sistem peringatan dini multi-ancaman ini diharapkan akan selesai pada Febuari 2019. Sistem peringatan dini ini tidak hanya untuk tsunami, tetapi juga berbagai jenis ancaman lain, seperti banjir dan longsor.
Draft peraturan tentang sistem peringatan dini multi-ancaman ini diharapkan akan selesai pada Febuari 2019.
”Kami sudah mengundang beberapa kali rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk menyempurnakan sistemnya, terutama untuk meningkatkan sinergi antarlembaga,” kata Iwan.
Berbasis masyarakat
Irina Rafliana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, sejumlah kajian menunjukkan bahwa sistem peringatan dini bencana, terutama tsunami, yang bersifat teknokratis dengan mengandalkan peralatan sering kali tidak mampu menyelamatkan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat di daerah bencana sering kali memiliki pengetahuan lokal untuk selamat dari bencana. Namun, karena tak terakomodasi dalam sistem yang ada, sering kali pengetahuan ini hilang.
Dia mencotohkan, kajian yang dilakukannya bersama Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan Risiko Bencana (The United Nations Office for Disaster Risk Reduction/UNISDR) di Teluk Palu menemukan, sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) tidak mampu menyelamatkan masyarakat di daerah terdampak. Ini terjadi karena tsunami tiba lebih cepat dari peringatan dini yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Selain itu, pada saat kejadian listrik dan telekomunikasi juga mati.
Sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) tidak mampu menyelamatkan masyarakat di daerah terdampak.
Disebutkan dalam kajian ini, masyarakat di Pantai Barat Donggala, seperti di Desa Labean, Kecamatan Balaesang, ternyata sudah mengungsi sebelum tsunami terjadi pada 28 September 2018. Mereka melakukan evakuasi secara mandiri ke perbukitan ketika gempa-gempa pendahuluan berkekuatan M 6,1 terjadi sejak pukul 15.00 Wita atau tiga jam sebelum gempa utama yang berkekuatan M 7,5.
Pengetahuan untuk evakuasi mandiri ini, terutama karena masyarakat di kawasan ini masih menyimpan pengetahuan tentang tsunami yang pernah dialami pada 1968. Daestiah (82), saksi mata tsunami 1968 yang ditemui di Desa Labean beberapa waktu lalu, mengatakan, ”Saat tsunami dulu, juga sebelumnya ada gempa kecil, sebelum ada gempa yang besar yang kemudian diikuti tsunami. Itulah sebabnya, saat gempa kali ini, masyarakat di sini sudah mengungsi sejak sore,” katanya.
Pengetahuan lokal masyarakat di Pantai Barat Donggala ini juga terjadi saat tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Masyarakat di Pulau Simeulue berhasil menyelamatkan diri ke perbukitan karena mereka masih menyimpan pengetahuan bahwa gempa besar akan diikuti dengan smong, bahasa setempat untuk tsunami. Sekalipun ribuan rumah di Pulau Simeulue hancur, jumlah korban jiwa di daerah ini tiga orang.