Semua nampak biasa saja mencermati paparan pasangan calon presiden dan wakil presiden saat berada di panggung debat. Namun ketika mereka berkata-kata, sebenarnya ekspresi wajah kandidat ikut “menyampaikan sesuatu”. Sebagian ahli menyebut, di sanalah kebenaran sebenarnya ada.
Oleh
Andy Riza Hidayat
·6 menit baca
Semua tampak biasa saja mencermati paparan pasangan calon presiden dan wakil presiden saat berada di panggung debat. Namun, ketika mereka berkata-kata, sebenarnya ekspresi wajah kandidat ikut ”menyampaikan sesuatu”. Sebagian ahli menyebut, di sanalah kebenaran sebenarnya ada.
Pembacaan ekspresi mikro pada wajah seseorang ini dapat disaksikan di drama seri Lie To Me (2009-2011). Drama ini mengusung slogan the truth is written on all our faces atau kebenaran tertulis di semua wajah kita. Pesan yang ingin disampaikan dalam drama ini adalah kata-kata bukanlah segalanya. Kata-kata itu perlu diselaraskan dengan ekspresi mikro dengan pendekatan facial action coding system (FACS) atau sistem kode pada wajah.
Dengan modal itu, tokoh utama yang bernama Cal Lightman (diperankan Tim Roth) dan Gillian Foster (diperankan Kelli Williams) membantu aparat membongkar sejumlah kasus kejahatan di Amerika Serikat.
Salah satu aksi mereka terlihat saat Lightman berhadapan dengan tersangka kejahatan ketika ia dilarang bicara oleh pengacaranya. Lightman memancing tersangka dengan sejumlah pertanyaan tanpa mengharapkan dia berkata-kata.
Melalui gerak bahu, kedipan mata, kerutan jidat, dan gerak bibir, Lightman bisa menyimpulkan dialah pelakunya, seperti yang terlihat di episode pertama sesi pertama drama.
Ekspresi mikro makin dikenal orang ketika ilmuwan Amerika Serikat, Paul Ekman, bersama rekannya, Wallace V Friesen, memopulerkannya tahun 1978. Melalui ekspresi mikro wajah seseorang akan terlihat ekspresi senang, sedih, terkejut, marah, takut, jijik, dan muak. Ekspresi yang bersifat universal ini muncul sepersekian detik saat orang berkata-kata atau beraksi atas perkataan orang.
Beberapa adegan menarik pada debat pertama, Kamis (17/2/2019) lalu, terjadi saat Prabowo menanyakan sikap pemerintah saat ada aparat desa yang diproses hukum. Penyebabnya, aparat itu mendukung pencalonan pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Menanggapi hal ini, Joko Widodo menyampaikan, ”Kalau ada bukti, sampaikan saja ke aparat hukum. Jangan grusa-grusu (terburu-buru) menyampaikan sesuatu.” Demikian diungkapkan Jokowi dengan alis mata naik.
Handoko Gani, analis kebohongan lulusan Emotional Intelligence Academy, Manchester, Inggris, menilai kedua pihak sedang menguji argumentasi lawan debat. Pada titik ini, ekspresi nonverbal menjadi faktor penting daripada sekadar kata-kata. Handoko menduga, alis Jokowi yang naik ketika itu terjadi untuk memberi penegasan sebuah pernyataan. Naiknya alis ini, kata Handoko, menjadi ciri khas Jokowi ketika menekankan sesuatu di hadapan publik.
Adegan berikutnya tak kalah seru. Jokowi menanyakan komitmen Prabowo dalam memberantas korupsi, terutama karena sejumlah calon anggota legislatif yang diajukan oleh Gerindra di Pemilu 2019 adalah mantan koruptor.
”Yang saya tahu, caleg itu yang tanda tangan adalah ketua umumnya. Bagaimana Bapak menjelaskan mengenai ini,” kata Jokowi sambil menuding-nudingkan tangan ke arah Prabowo. Seperti diketahui, Prabowo juga menjabat Ketua Umum Gerindra.
Baca juga: Capres Siap Adu Gagasan di Debat
Namun, Prabowo mengaku tidak tahu mengenai hal tersebut. ”Baik itu (mata kanan berkedip), mungkin ICW, saya sendiri belum dapat laporan itu (kedua mata berkedip berkali-kali). Dan, itu benar-benar saya kira sangat subyektif, saya tidak (mata kembali berkedip), saya tidak setuju itu (mata berkedip). Saya seleksi (mata kembali berkedip) caleg-caleg itu. Kalau ada bukti silakan laporan ke kami.”
Suara Prabowo lalu meninggi. ”Kalau ada kader Partai Gerindra korupsi, saya akan memasukkan ke penjara sendiri.”
Meski waktu masih tersisa, Prabowo menolak memberi penjelasan lebih panjang. ”Cukup. Pokoknya kita antikorupsi!”
Memancing ekspresi
Jokowi kembali memancing ekspresi Prabowo. Dia mengulangi data ICW bahwa ada enam caleg mantan koruptor di Gerindra.
Saat Jokowi memiliki waktu menjelaskan, Prabowo meminta kepada Ira Koesno untuk menyela. ”Boleh menjawab?”
Ira merespons, ”Tidak boleh.” Ini karena belum tiba saat Prabowo untuk menanggapi pernyataan Jokowi.
Sejurus kemudian Prabowo menari. Tangan dan tubuhnya meliuk seperti penari.
Handoko menyebut, debat sebenarnya adalah ajang pasangan calon memancing reaksi lawan debat melalui pertanyaan, ekspresi wajah, dan gerak tubuh. Cara ini dapat mendorong lawan debat menunjukkan ekspresi mikro tanpa sadar. Adapun ketidaksinkronan ekspresi mikro dengan pernyataan seseorang bisa diindikasikan pernyataan itu tidak sesuai fakta.
Mengutip Paul Ekman dalam bukunya, Mendeteksi Kebohongan (Penerbit Baca, 2009), pemalsuan atau penyembunyian informasi yang sebenarnya bisa disempurnakan dengan tindakan. Dengan demikian, seolah-olah informasi yang disampaikan adalah kebenaran.
Mengapa hal ini bisa terjadi, sementara jadwal debat sudah ditentukan Komisi Pemilihan Umum jauh-jauh hari? Tim sukses seharusnya memiliki waktu cukup untuk menyiapkan kandidat tampil semaksimal mungkin.
Secara umum, pada debat pertama, Handoko menangkap ekspresi Jokowi relatif stabil selama di panggung. Selain alis mata yang naik turun, Jokowi juga sempat menuding-nudingkan tangannya ke arah Prabowo. Dua hal ini dapat dianggap sebagai keinginan untuk memberi penegasan pada pernyataan yang disampaikan.
Sementara itu, Prabowo sempat memperlihatkan senyum dengan menarik sudut bibir atau biasa disebut duping delight. Senyum ini dapat diartikan sebagai perasaan menang dengan jawaban-jawabannya.
Senyum duping delight pernah diperlihatkan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pada 26 Januari 1998 silam saat menyangkal berhubungan seks dengan mantan anggota staf Gedung Putih, Monica Lewinsky, di Washington DC, AS. Penyangkalan ini kemudian terpatahkan. Clinton dan Lewinsky ternyata melakukan hubungan di luar nikah setelah Lewinsky dan sejumlah warga memberikan keterangan di pengadilan. ”Saya telah mengatakan, saya membuat satu kesalahan yang buruk dan ini tidak dapat dipertahankan,” kata Clinton ketika berada di Dublin, Irlandia Utara (Kompas, Sabtu (5/9/1998).
Kebocoran
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk menggunakan istilah bocor untuk menyebut sikap yang tidak terkontrol di panggung debat. Kebocoran emosi terlihat dari sikap kandidat yang grogi, gelagapan, atau gerak tubuh aneh yang tidak relevan. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai sikap untuk menutupi kegugupan karena tidak siap diserang lawan debat.
”Kebocoran emosi atau emotional leaks terjadi karena orang tersebut tidak nyaman atau terganggu emosinya,” kata Hamdi.
Melalui panggung debat, dia mengharapkan publik bisa mempertimbangkan pilihannya dengan cermat. Selain rekam jejak dan kapasitas calon, juga perlu menakar bagaimana mereka menanggapi pertanyaan di depan publik.
”Semakin tajam pertanyaan semakin baik, semakin jelas dasar argumen kandidat ketika menjawab, semakin kuat basis datanya, semakin jelas elaborasinya, semakin yakin pemilih bahwa program yang ditawarkan bagus,” lanjutnya.
Baca juga: Debat dari Pemilu ke Pemilu
Monica Kumalasari, praktisi pemerhati ekspresi mikro, juga menangkap sejumlah ekspresi penting saat debat. Terangkatnya alis mata Jokowi disebut sebagai sikap untuk menegaskan ucapannya. Hal ini sejalan dengan adanya pengulangan kata-kata pada segmen kedua. ”Negara hukum ini, mengapa harus menuduh-nuduh seperti itu,” kata Jokowi saat menanggapi pernyataan Prabowo.
Monica menangkap ada ”sesuatu” pada kedipan mata Prabowo yang lebih sering dari kondisi normal saat Jokowi bertanya tentang caleg koruptor. Menurut dia, kedipan mata orang dalam kondisi normal terjadi setiap empat detik sekali. ”Ada kemungkinan Pak Prabowo tidak percaya dengan penjelasan,” katanya.
Malam itu, debat digelar dalam enam segmen dengan tema hukum, hak asasi manusia, korupsi, dan terorisme. Adapun jalannya acara dipandu Ira Koesno dan Imam Priyono. Ira adalah mantan jurnalis televisi swasta, sedangkan Imam merupakan jurnalis TVRI. Imam Priyono menyampaikan pengalamannya bahwa malam itu tidak ada yang didesain terkait ekspresi nonverbal para kandidat. ”Semua ekspresi muncul begitu saja,” kata Imam.