Penyebab Kemenangan Jokowi dan Kekalahan Prabowo
Penguasaan wilayah dengan partisipasi dan jumlah pemilih yang tinggi menjadi kunci kemenangan Joko Widodo dalam Pemilu 2014 lalu. Saat itu, rival politiknya, Prabowo Subianto, hanya mampu menguasai medan pertarungan di wilayah yang relatif kecil jumlah dan partisipasi pemilihnya. Dalam Pemilu 2019 kali ini, akankah kondisinya berulang?
Terdapat beberapa argumentasi penjelas yang mencoba memahami mengapa Jokowi berhasil mengumpulkan suara terbanyak dan sebaliknya Prabowo terkalahkan dalam Pemilu 2014 lalu. Arus utama penjelasan bertitik tolak pada hasil-hasil survei opini publik yang mengungkapkan besar kecilnya dukungan yang diraih masing-masing calon presiden terkait erat dengan beragam latar belakang pemilih.
Hasil exit poll, survei opini para pemilih yang dilakukan selepas mereka menunaikan hak politiknya di bilik-bilik suara, menjadi sandaran. Saat itu, berbagai hasil exit poll mengungkapkan, terdapat perbedaan yang cukup kontras dari sisi latar belakang sosio-demografi, identitas sosial ekonomi, hingga politik kepada setiap pemilih pasangan Jokowi-Kalla dan Prabowo-Hatta.
Paling mencolok, dari sisi identitas sosial ekonomi pemilih. Para pemilih Jokowi-Kalla cenderung berasal dari kalangan menengah bawah, baik dari sisi kelompok ekonomi maupun strata pendidikan. Sebaliknya, pendukung Prabowo-Hatta berasal dari kalangan menengah ke atas.
Dengan kondisi demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pangkal kemenangan Jokowi-Kalla tidak lain karena pasangan ini yang paling ideal merepresentasikan struktur piramida penduduk Indonesia, dengan proporsi kalangan menengah ke bawah yang lebih besar dibandingkan dengan kalangan menengah ke atas. Suara pilihan terbanyak dalam Pemilu 2014 lalu berasal dari kalangan menengah ke bawah sehingga otomatis Jokowi-Kalla unggul.
Kemenangan Jokowi-Kalla tidak lain karena pasangan ini yang paling ideal merepresentasikan struktur piramida penduduk Indonesia.
Selain pendekatan karakter sosio ekonomi pemilih, penyebab kemenangan ataupun kekalahan biasa didekati dengan mencermati latar belakang pilihan politik tiap-tiap pemilih. Oleh karena terdapat dua penyelenggaraan pemilu, pemilu legislatif dan pemilu presiden, terbangun anggapan bahwa pilihan politik para pemilih bersifat konsisten dalam kedua pemilu tersebut, yaitu pasangan calon presiden yang didukung oleh partai politik pilihan, maka calon presiden itu otomatis juga menjadi referensi pilihan mereka.
Pandangan yang bersandar pada loyalitas pemilih tersebut tidak sepenuhnya terbukti dalam Pemilu Presiden 2014 lalu. Prabowo-Hatta yang didukung oleh lebih banyak koalisi partai politik tidak berhasil memenangi pemilu. Sebaliknya, Jokowi-Kalla didukung partai politik yang total hanya menguasai 37,14 persen pemilu legislatif.
Hasil survei exit poll juga menunjukkan, tidak semua pilihan partai politik identik dengan pilihan presiden. Artinya, tidak terdapat hubungan asosiatif yang signifikan di antara partai politik dan sosok calon presiden yang menjadi pilihan pemilih.
Pada sisi yang berbeda, sebenarnya terdapat argumentasi lain sebagai penjelas kunci kemenangan Jokowi. Analisis yang bersandar pada pemetaan wilayah kemenangan dan karakteristik derajat partisipasi pemilih dapat dijadikan rujukan.
Hasil Pemilu 2014 lalu menggambarkan Jokowi menguasai hingga 24 provinsi seluruh Indonesia. Sebaliknya, Prabowo menguasai 10 provinsi. Berdasarkan jumlah penduduk yang tersebar di wilayah kemenangan ataupun kekalahan masing-masing calon presiden, tersimpulkan pangkal penyebab kemenangan Jokowi lantaran ia menguasai sebagian besar provinsi di negeri ini.
Hasil Pemilu 2014, Jokowi menguasai 24 provinsi. Sebaliknya, Prabowo menguasai 10 provinsi.
Persoalannya, hanya mengandalkan perhitungan di tingkat provinsi, tidak cukup banyak informasi yang didapatkan. Besar kecilnya jumlah penduduk di suatu provinsi, misalnya, tidak selalu konsisten menunjukkan kekuasaan pemenang. Jokowi sebagai pemenang pemilu, misalnya, tidak selalu unggul di semua provinsi yang tercatat memiliki jumlah pemilih besar. Begitu juga terhadap Prabowo. Sekalipun secara nasional ia kalah, di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah pemilih terbanyak di Indonesia, Prabowo menjadi pemenang.
Itulah mengapa kajian ini mencoba menelusuri medan pertarungan politik yang lebih dalam dari besaran provinsi. Dengan menggunakan satuan wilayah politik ”daerah pemilihan” (medan kontestasi yang digunakan dalam pemilu legislatif), hasilnya menjadi peta informasi distribusi dan penguasaan wilayah dari kedua calon yang lebih lengkap.
Pemetaan wilayah daerah pemilihan ini akan menjadi semakin informatif jika dipadukan dengan derajat partisipasi para pemilih di masing-masing daerah pemilihan. Argumentasinya, jumlah pemilih besar di suatu daerah memang menunjukkan medan pertarungan penguasaan suara yang besar dan signifikan menjadi penentu kemenangan.
Akan tetapi, wilayah tersebut relatif kurang berarti jika didapati partisipasi pemilih yang rendah. Begitu juga sebaliknya untuk wilayah yang kecil jumlah pemilihnya, tetapi antusias dalam memilih. Oleh karena itu, mengaitkan antara jumlah pemilih dan derajat partisipasi pemilu menjadi pilihan model analisis geopolitik pemilu yang relatif akurat.
Dengan cara demikian, dari semua daerah pemilihan di negeri ini setidaknya dapat terbangun empat tipologi wilayah pertarungan politik, yaitu: (1) wilayah politik dengan jumlah pemilih besar yang diikuti partisipasi politik yang juga besar; (2) wilayah politik dengan jumlah pemilih besar, tetapi rendah partisipasi politiknya; (3) wilayah politik dengan jumlah pemilih kecil, tetapi derajat partisipasi pemilihnya relatif tinggi; dan (4) wilayah politik dengan jumlah dan partisipasi politik rendah.
Bangunan tipologi geopolitik semacam ini memiliki jumlah proporsi suara yang berbeda-beda. Kategori wilayah dengan jumlah pemilih besar dan berpartisipasi tinggi tersebar di 17 dari 77 daerah pemilihan. Pada kategori wilayah demikian, meraup 27,8 persen dari total suara pemilih nasional (Grafik 1).
Namun, ia berhasil menguasai wilayah dengan tingkat partisipasi pemilih yang relatif tinggi. Wilayah kemenangan Jokowi umumnya terjadi pada kategori daerah pemilihan yang tergolong ”besar partisipasi pemilih dan jumlah penduduknya” dan daerah pemilihan ”sedikit pemilih, tetapi tinggi partisipasi memilihnya”. Sebaliknya, Prabowo cenderung unggul di wilayah yang ”pemilihnya sedikit dengan derajat partisipasi yang juga rendah”.
Pada wilayah dengan jumlah pemilih besar dan diikuti oleh tingginya derajat partisipasi pemilih, Jokowi meninggalkan Prabowo dengan selisih besar, terpaut hingga 13,2 persen. Begitu pula di wilayah pemilih rendah, tetapi partisipasi pemilihnya tinggi, berselisih 12,4 persen. Proporsi tersebut lebih dari dua kali lipat dari selisih proporsi kemenangan Jokowi secara nasional. (Grafik 2)
Jika ditelusuri lebih dalam, pada kategori wilayah pemilih besar dengan partisipasi pemilih yang tinggi ini, Jokowi menyapu kemenangan di 13 dari 17 daerah pemilihan. Proporsi kemenangannya pun pada sejumlah daerah terpaut jauh. Paling besar di daerah pemilihan Jawa Tengah V, terdiri dari Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Kota Surakarta. Di tempat yang menjadi kelahiran dan asal mula kiprah politik Jokowi tersebut, ia unggul berselisih hingga 55,4 persen.
Selisih terbesar selanjutnya di Papua dan Bali. Pada kedua provinsi tersebut, keunggulan Jokowi atas Prabowo terpaut hingga di atas 42 persen.
Sekalipun di wilayah berkategori jumlah pemilih besar dan partisipasi tinggi Prabowo terkalahkan, tidak berarti seluruh wilayah ini terkuasai Jokowi. Terdapat empat daerah pemilihan yang masih ia kuasai. Bahkan, di antara keempat wilayah penguasaannya, di Jawa Timur XI yang terdiri atas semua kabupaten di Pulau Madura, Prabowo juga mampu mengalahkan Jokowi dengan selisih suara yang terpaut jauh (45,1 persen). Begitu pula di NTB, Prabowo unggul mutlak dengan selisih hingga 44,9 persen. (Grafik 3)
Berbeda dengan Jokowi, Prabowo justru mampu unggul di daerah pemilihan dengan jumlah pemilih berkategori kecil dan yang rendah derajat partisipasi pemilihnya. Dari 20 daerah pemilihan yang masuk kategori demikian, Prabowo menguasai 51,43 persen pemilih.
Jika ditelusuri, kendati hanya 9 dari 20 daerah pemilihan yang terkuasai, selisih kemenangan Prabowo pada wilayah yang dikuasainya itu terpaut sangat besar. Daerah pemilihan Sumatera Barat II, misalnya, daerah yang terdiri dari Kabupaten Pasaman, Pasaman Barat, Agam, Padang Pariaman, Lima Puluh Kota, Kota Bukittinggi, dan Kota Payakumbuh, selisih keunggulan Prabowo hingga 58,8 persen. Begitu pula di Sumatera Barat I, yang mencakup Solok, Solok Selatan, Kota Solok, Dharmasraya, Tanah Datar, Sijunjung, Kota Sawahlunto, hingga Kota Padang, selisih keunggulannya mencapai 47,1 persen.
Di luar Sumatera Barat, beberapa daerah pemilihan di Jawa Barat dikuasai dengan selisih yang juga sangat signifikan. Jawa Barat IV yang meliputi wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kota Sukabumi, misalnya, berselisih hingga 36,1 persen. (Grafik 4)
Di luar kedua jenis wilayah di atas, Jokowi dan Prabowo bersaing cukup ketat memperebutkan wilayah berkategori ”pemilih besar, tetapi partisipasi memilih rendah”. Pada kategori wilayah dengan proporsi pemilihnya mencakup 35,5 persen dari total pemilih tersebut, Jokowi unggul dengan selisih tipis, hanya 4,3 persen.
Pada wilayah demikian, tampak sejumlah daerah pemilihan di Jawa Barat berhasil dikuasai Prabowo dengan perbedaan yang sangat signifikan. Kondisi sebaliknya terjadi di sejumlah daerah pemilihan Jawa Tengah yang memenangkan Jokowi dengan selisih yang juga besar. (Grafik 5)
Dengan konfigurasi penguasaan daerah pemilihan semacam itu, dapat disimpulkan, pada Pemilu 2014 lalu, Jokowi tampak lebih efisien dalam menguasai pemilih. Sumbangan kemenangan yang ia raih berasal dari kategori wilayah yang lebih tinggi derajat partisipasi memilihnya, baik di wilayah dengan jumlah pemilih besar maupun rendah. Sebaliknya, Prabowo tampak kurang efisien dan cenderung hanya memenangi wilayah dengan derajat partisipasi pemilih yang relatif rendah.
Persoalan selanjutnya, apakah konfigurasi dukungan semacam ini kembali berulang dalam Pemilu Presiden April 2019 mendatang?
Apabila hasil-hasil survei opini publik yang dijadikan landasan analisis, bisa jadi terjadi perubahan peta medan penguasaan suara. Hingga akhir Januari 2019, berbagai hasil survei nasional menunjukkan, elektabilitas Jokowi masih unggul dengan selisih sekitar 20 persen. Dibandingkan dengan selisih persaingan keduanya pada pemilu lalu, di bawah 7 persen, ini jelas mengindikasikan perubahan signifikan dalam penguasaan medan pertarungan.
Akan tetapi, kajian-kajian hasil survei juga mengungkapkan masih adanya ruang perubahan pilihan pada sebagian calon pemilih yang sekaligus mengindikasikan masih labilnya peta penguasaan suara pemilih. Jika bersandar pada hasil pencermatan survei, dapat disimpulkan bahwa perubahan sangat mungkin terjadi. Hanya persoalannya, di wilayah mana ada potensi perubahan?
Guna merekam potensi-potensi perubahan yang terjadi, tampaknya menjadi semakin menarik untuk ditelusuri sekaligus dipetakan, di mana saja wilayah ataupun daerah yang diperkirakan menjadi medan pertarungan paling kompetitif dalam pemilu presiden mendatang. (Bersambung) (LITBANG KOMPAS)