JAKARTA, KOMPAS – Pemilik PT Brahma Adhiwidia Billyani Thania mengungkapkan kekecewaannya atas ketidakjelasan sertifikat kepemilikan kantor, di bangunan di kawasan Kuningan, Jakarta. Ia pun menuntut haknya dikembalikan dan pelaku dapat ditindak.
Bukan hanya karena ketiadaan sertifikat, ia juga belum bisa menempati area yang telah dibelinya karena perubahan peruntukan bangunan yang baru diketahuinya beberapa tahun lalu.
Saat ini, pihaknya telah membawa terlapor ke meja persidangan.
“Kami melakukan konferensi pers ini agar ada kontrol terhadap perlindungan konsumen, juga supaya tidak ada pengembang-pengembang seperti ini,” ujar Billyani dalam temu media, di Jakarta, Kamis (21/2/2019).
Kasus ini berawal dari 2011, setelah PT Brahma Adhiwidia (BAW) membayar lunas area seluas 2.000 meter persegi di lantai 7 dan 8 Lumina Tower Kuningan Place, Jakarta. Kesepakatan untuk membeli area tersebut berawal dari pertemuan-pertemuannya dengan seseorang berinisial IG.
Persoalan lain mencuat saat Billyani mengetahui bahwa properti, yang dipasarkan pemilik perusahaan pengembang PT Kemuliaan Megah Perkasa (KMP) atas nama Yusuf Valent dan IG, diperuntukkan sebagai area hunian.
Izin peruntukan itu kemudian diubah menjadi sekolah, setelah mendapat persetujuan prinsip pemanfaatan sementara dari Gubernur DKI Jakarta pada 2013.
Perubahan tersebut membuat PT BAW tidak bisa menggunakan area yang telah dibeli. Sementara itu, PT BAW tetap harus membayar biaya perawatan sebesar Rp 88 juta sebulan. Pembayaran itu dilakukan hingga akhir 2017.
“Kami lalu berkali-kali mencoba menghubungi beliau supaya dapat solusi. Tapi, lalu kami mencari pengacara sehingga kami bisa buat laporan ke polisi,” lanjut Billyani.
PT BAW lantas mengadukan dua orang dari pihak PT KMP dengan tuduhan telah melakukan penipuan pada Oktober 2018. Hingga kini sidang tindak pidana tersebut masih berjalan di PN Jakarta Selatan dengan terdakwa Yusuf Valent.
Dalam persidangan terakhir, Rabu (13/2/2019), terungkap bahwa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Kuningan Place yang diterbitkan tahun 2008 oleh Dinas P2P DKI Jakarta adalah untuk hunian dan fasilitasnya. IMB yang diajukan PT KMP juga hanya untuk dua menara, yaitu Infinia setinggi 25 lantai dan Ultima setinggi 14 lantai dengan tiga basement.
Pelanggaran tata ruang
Pakar hukum pertanahan dan properti Eddy Leks mengatakan, perubahan tanpa izin pemilik tersebut sudah termasuk pelanggaran tata ruang.
“Dari sisi pembeli, tentu itu penipuan dan ada sanksi pidananya. Selain itu, kerugian perdata tentu juga timbul karena unit yang seharusnya bisa digunakan untuk kantor ternyata hanya bisa untuk hunian,” jelasnya.
Menurut Eddy, jika pembeli berharap dapat menggunakannya sebagai kantor, maka perlu ada revisi perizinan dari segi peruntukkan tanah dan IMB.
Hal ini memerlukan inisiatif dari pengembang dan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat.
“Saya lihat, aturan terkait syarat-syarat sebelum penandatanganan PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) diperhatikan, khususnya perolehan IMB. Dengan demikian, calon pembeli atau investor bisa memperoleh kepastian bahwa unit yang dibelinya akan bisa dimanfaatkan sesuai fungsinya, bukan malahan melanggar fungsi ruang,” ujarnya.
Berdasarkan laporan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) 2018, ketidakjelasan adanya sertifikat kepemilikan menjadi salah satu bentuk aduan masyarakat terkait properti. Sepanjang tahun lalu, BPKN menerima 348 pengaduan, dari konsumen perumahan.
Atas data tersebut, BPKN mencatat tentang perlunya mengintensifkan pengawasan dan pemberian sanksi tegas kepada pengembang yang tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait perumahan dan perlindungan konsumen. (ERIKA KURNIA)