Di tengah riuh perbincangan politik, masyarakat semakin sulit menemukan kembali nilai-nilai kearifan lokal. Politik yang sejatinya berkaitan dengan urusan dan tindakan kebijakan, justru dipersempit semata-mata sebagai kompetisi perebutan kekuasaan.
Situasi inilah yang acap kali menjadikan masyarakat terbelah. Kubu A mati-matian mendukung calonnya, demikian pula kubu B dengan penuh totalitas membela calonnya secara membabi-buta. Sementara itu, muncul pula kelompok lain yang cenderung apatis tak memihak mana pun karena merasa tidak terwakili oleh kedua-duanya.
Di masyarakat akhirnya tercipta kelompok-kelompok yang semakin terdiferensiasi. Masing-masing kubu saling membentengi diri. Akibatnya, bukan dialog mencerahkan yang tercipta di lapangan, tetapi segala macam upaya untuk saling menjatuhkan.
Di masyarakat akhirnya tercipta kelompok-kelompok yang semakin terdiferensiasi. Masing-masing kubu saling membentengi diri.
“Narasi-narasi dalam kebudayaan bangsa ini sarat dengan ajaran-ajaran kearifan yang semestinya berbanding lurus dengan bagaimana cara kita menjadi manusia seutuhnya melalui tuturan, perbuatan, dan respons terhadap permasalahan. Sayangnya, hal itu makin sulit kita temukan di perbincangan-perbincangan khususnya di media sosial hari ini yang sarat tensi tinggi politik,” ujar Dhoni Zustiyantoro, dosen Program Studi Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang (Unnes) saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (21/2/2019).
Landasan perilaku
Kearifan lokal merupakan tata nilai yang menjadi pedoman bagi masyarakat dalam lingkup budaya tertentu. Meski demikian, masyarakat global dapat menerima dan memahaminya seiring terbangunnya kesadaran berbangsa.
Kearifan lokal menjadi landasan berperilaku yang mengajak diri agar senantiasa reflektif, berupaya obyektif, dan mendayagunakan akal budi sebagai representasi sifat-sifat manusia seutuhnya.
Dalam budaya Jawa, misalnya, ada keinginan untuk tidak menyakiti orang lain lewat ujaran “aja gawe sengsaraning liyan”. Keinginan untuk ikut merasakan perasaan orang lain dikedepankan agar tindakan kita terhadap orang tersebut bisa selaras dan tidak menyakiti. Hal tersebut juga berlaku saat seseorang mengutarakan pendapat.
“Sebagian dari kita mungkin mengartikannya sebagai basa-basi. Namun, prinsip keselarasan itu menjadi kunci kearifan ala budaya Jawa,” kata Dhoni.
Ada pula ungkapan “amemangun karyenak tyasing sasama” yang artinya bersama menciptakan suasana menyenangkan hati yang bisa diciptakan melalui tutur kata, empati, perilaku, dan saling menghargai. Selain itu, dikenal pula ungkapan “ajining dhiri saka lathi”, yaitu harga diri seseorang tergantung dari apa yang diucapkan.
“Kearifan itu dibangun atas kesadaran bahwa manusia bukan entitas tunggal dalam jagat makrokosmos. Upaya untuk memayu hayuning bawana, yang dalam konteks ini ialah mendorong kemajuan negara-bangsa, tak bisa dilakukan sendiri atau satu golongan saja, tapi mesti bersama-sama,” katanya.
Kearifan itu dibangun atas kesadaran bahwa manusia bukan entitas tunggal dalam jagat makrokosmos.
Nilai-nilai kearifan lokal tersebut semakin memudar akhir-akhir ini. Dhoni menyoroti perilaku politisi yang gemar saling lapor kepada pihak berwajib dan menjatuhkan siapa pun yang berbeda pendapat atau pilihan politik. Masing-masing dari mereka lantas melabeli diri sebagai pembela akal sehat atau pembela kepentingan rakyat.
Kunci terjaganya nilai-nilai kearifan di tahun politik berada di tangan para elite politik. Narasi yang dibangun mestinya menghindari saling serang terkait persoalan yang bukan prinsip tetapi ramai beradu gagasan yang bernas dan dapat meningkatkan kecerdasan masyarakat.
Nyatanya, praktik politik beradab masih jauh dari harapan karena para politikus masih sekadar memaknai politik sebagai cara bertindak, bukan sebagai kebijakan yang mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal.
Sebelumnya, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat mengatakan, saat ini kita telah jatuh pada fasisme karena tidak lagi memiliki kemerdekaan berpikir akibat terlampau dikondisikan oleh banjir informasi. Di situ, terjadi pendangkalan cara berpikir karena semuanya ditarik seakan-akan politik adalah segalanya.
Saat ini kita telah jatuh pada fasisme karena tidak lagi memiliki kemerdekaan berpikir akibat terlampau dikondisikan oleh banjir informasi.
Di tengah situasi keterbelahan masyarakat akibat kontestasi politik, pemerhati politik Mochtar Pabottingi tetap optimistis bahwa suatu saat orang-orang akan tetap kembali menuju pada nilai-nilai kebajikan, akal sehat, dan kewarasan. Syaratnya, mesti tercipta deliberasi, yaitu berpolitik dengan menganjurkan percakapan yang bagus dan bebas, tanpa ada tekanan.
“Marilah kita bersama-sama merindukan deliberasi, bertukar pikiran secara terbuka, secara tidak sesak, secara lapang, sama-sama menyiapkan diri untuk salah. Mari kita merindukan semacam pertemuan bersama untuk membuka cakrawala,” kata dia.