Kembara di Tanah Bira
Pemandangan pasir memutih di sepanjang pantai beralih hijau tosca di tepi laut, lalu biru, dan makin biru hingga menjangkau horizon. Riak damai dari laut ini berpagut keelokan goa nan misterius, tebing karang, dan narasi kejayaan pinisi di kawasan Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Siang menjelang di dalam Leang Passea, Desa Lembanna, Bonto Bahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan, Minggu (3/2/2019). Matahari memuncak, tetapi cahayanya hanya menyusup malu-malu dari mulut goa atau leang dalam bahasa setempat.
Terang menjangkau sisi depan dan tengah goa sepanjang 100 meter dengan lebar 30 meter ini. Ruang tengah menampilkan kontur goa yang landai dengan bebatuan mencuat di beberapa bagian. Langit-langit tinggi meniupkan angin lembut ke dalam goa yang berada sekitar 10 kilometer dari Tanjung Bira ini.
Makin ke dalam, lebar goa ini kian mengecil, cahaya pun makin minim. Aroma lembab dan dingin menguar. Tepat di ujung, selasar serupa lantai dua menyambut. Tempat itu harus dicapai dengan menaiki tangga kayu setinggi 3 meter yang disiapkan warga.
Selasar ini ramai oleh pengunjung. Dalam kegelapan, mereka bergantian melihat pendar kristal dari endapan sedimen dinding goa yang disoroti lampu telepon genggam. Ramuan cahaya ini membuat mulut Ummu Haera (19), salah satu pengunjung, ternganga.
Itulah kali pertama dia memasuki goa dan melihat beragam hal menakjubkan di dalamnya. Sejenak ia terdiam mengamati warna rajangan alam di depannya. ”Bagusnya…,” ucap Ummu.
Leang Passea berarti goa kepiluan. Menurut cerita warga, goa ini menjadi lokasi pengungsian—dan sempat beberapa lama tanpa persediaan makanan—saat perang terjadi sekitar abad ke-19. Berlatar kisah itulah, goa ini dinamai.
Narasi kepiluan ini juga bertalian dengan tradisi jauh sebelumnya yang menjadikan goa sebagai tempat pemakaman. Tiga makam dari kayu yang dibentuk serupa sampan masih bisa ditemukan di tengah goa. Makam nenek moyang warga setempat itu diperkirakan berusia ratusan tahun.
Meski berada tak jauh dari permukiman penduduk, lokasi goa ini tak mudah ditemukan. Namun, tak perlu khawatir, warga sekitar akan senang mengantar.
Leang Passea bukan satu-satunya goa di situ. Dua goa lain berada sekitar 1 kilometer dari tempat ini, yaitu Leang Sabboa, dan Leang Passohara, masih di Desa Lembanna. Dua goa ini berdekatan dan lebih mudah ditemukan. Hanya berjarak sekitar 300 meter dari Pantai Mandala Ria.
Pada Leang Sabboa, jejak peninggalan zaman purba masih tersimpan, seperti alat potong, tulang binatang, atau kulit kerang. Dari situ berjalanlah menanjak mengikuti jalan sekitar 100 meter, Leang Passohara bisa ditemukan di sana.
Leang Passohara adalah goa vertikal sedalam 30 meter dengan jalan cukup curam. Pengunjung yang turun harus berhati-hati. Batu berlumut menambah ketegangan. Semakin ke bawah, diameter goa semakin menyempit hingga hanya muat untuk tiga orang.
Di dasar goa, sebuah telaga sebening kaca menjadi hadiah dari perjalanan itu. Dasar telaga sedalam lebih dari 2 meter itu terlihat jelas dengan bantuan penerangan. Pinggir telaga memantulkan warna air yang jernih, berpadu dengan warna biru di tengah. Telaga jernih ini menjadi sumber mata air warga. Menurut kisah warga, telaga ini juga menjadi sumber air para pelaut yang akan berlayar. Meski dekat dari laut, airnya terasa tawar dan menyegarkan kerongkongan.
”Ada banyak (tempat) ternyata yang bisa dilihat di sini. Sudah beberapa kali ke Bira, tahunya cuma pantai pasir putih,” ujar Ummu.
Tebing menantang
Bira memang lebih dulu dikenal karena pantai dan laut, bukan keelokan goa-goanya. Pantai-pantai di kawasan yang berjarak sekitar 160 km—atau 5 jam berkendara—dari Makassar ini kondang dengan pasirnya yang putih serupa tepung.
Sepanjang puluhan kilometer pesisir, pantai berpasir putih itu terbentang. Dari Pantai Mandala Ria, Marumasa, Bira, Bara, Pussahelu, hingga Lemo-lemo. Pemandangan tiap pantai berpadu dengan laut biru atau tebing karang yang anggun.
Selain menilik keelokan goa di Pantai Mandala Ria, sempatkan singgah di Marumasa, sekitar 1 kilometer sebelum Tanjung Bira. Pantai ini diapit dua tebing karang yang tinggi. Dari atas tebing tersaji pemandangan yang menenteramkan.
Di satu sisi terhampar Pantai Marumasa yang hening. Di situ gelombang bergerak senada dengan ayunan daun pohon kelapa. Di depannya, laut Teluk Bone membiru hingga ke ufuk.
Angin beraroma teduh mengelus-elus wajah, menyisir rambut, dan berbisik di telinga. Rasa damai menjalar, lalu menetap dalam pikiran. Sebuah ayunan yang dipasang di pohon jadi tempat yang syahdu untuk menyelami keindahan itu.
Selain tebing Marumasa, beberapa tebing lain, seperti Tonggoya, Solorang, dan Panaikang Biraya, jadi lokasi wisata baru di kawasan ini. Warga mengelolanya menjadi lokasi berfoto yang memikat.
Sekitar 10 kilometer di sisi utara Marumasa terdapat wisata tebing yang lebih dulu terkenal, yakni tebing Apparalang. Tebing karang yang membentang sekitar 1 kilometer ini menjadi primadona wisatawan.
Dari atas tebing setinggi 20 meter tersebut, laut jernih membentang dalam gradasi warna biru. Warna laut yang tenang itu seolah lumer pada batas tebing karang bernuansa hitam yang ganas. Namun, di atas tebing, semak dan pepohonan menghijau.
Paduan kontras yang magis. Sajian alam ini serasa menghipnotis. Siapa pun bakal betah berlama-lama menikmati lanskap serupa lukisan ini, dengan iringan suara debur ombak dan desau angin.
Di tepi laut, batu-batu karang mencuat serupa pulau-pulau kecil. Tempat yang dikelola warga ini dilengkapi jembatan dari kayu yang menghubungkan sejumlah karang kecil. Pengunjung dapat turun ke bawah untuk sekadar berjalan atau berenang mencecap segarnya laut.
Di sini pula tempat para pemberani mencoba cliff jumping, olahraga ekstrem berupa aksi melompat ke laut dari ketinggian tebing. Sebuah anjungan dari kayu dipasang untuk aktivitas menantang itu.
Petenun ramah
Selepas menikmati daya magis tebing karang di pantai, ada baiknya juga mengunjungi kampung-kampung yang lekat dengan budaya dan keramahtamahan warga.
Dari Apparalang, pengunjung bisa datang ke Kampung Kasuso, sekitar 3 kilometer sebelum Tanjung Bira. Dari jalan poros berbelok ke arah kiri melewati jalan kampung. Kasuso berada tepat di ujung jalan yang berbelok dan curam.
Sekilas tidak ada yang spesial dari kampung nelayan ini. Namun, saat disimak, suara alat tenun tradisional berdentang di bawah rumah-rumah panggung warga. Para perempuan di kampung ini tekun mengolah kain menjadi sarung. Dengan senang hati, mereka akan bercerita tentang motif sarung tenun yang bercorak laut, seperti ombak, jangkar, dan tentunya pinisi.
Pinisi adalah kebanggaan warga. Narasi kejayaan pinisi menjadi penyulut semangat sekaligus daya hidup masyarakat. Tak sekadar motif sarung, karena di Desa Lembanna, Desa Bira, dan Kelurahan Tana Beru, galangan kapal pinisi tersebar.
Pinisi yang mendunia itu kini banyak dijadikan kapal pesiar untuk menjelajahi berbagai wilayah Nusantara.
Tanah Bira memang menyediakan banyak keindahan untuk direguk dalam satu perjalanan. Tempat untuk menjelajah sembari merasakan detak indah kehidupan.