Momen langka terjadi pada acara pemberian penghargaan bagi Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Rabu (20/3/2019). Tujuh juara yang mengharumkan nama Indonesia di All England berkumpul. Mereka adalah para juara dari era 1960-an hingga 2019.
Hendra dan Ahsan termasuk dalam tujuh sang juara itu. Lima orang lainnya adalah senior dan adik-adik mereka, yaitu Rudy Hartono, Christian Hadinata, Imelda Wigoeno, Praveen Jordan, dan Kevin Sanjaya Sukamuljo.
Rudy adalah juara tunggal putra pada 1968-1974 dan 1976. Christian dan Imelda berdiri di podium tertinggi ganda campuran 1979. Keduanya juga menjadi juara ganda putra dan putri, Christian bersama Ade Chandra (1972-1973)dan Imelda bersama Verawati Fadjrin (1979).
Praveen menjadi penerus Christian/Imelda ketika menjuarai ganda campuran 2016 bersama Debby Susanto. Adapun Kevin menjadi yang terbaik dalam ganda putra selama dua tahun beruntun, 2017-2018, bersama Marcus Fernaldi Gideon.
“Ini momen langka. Pada hari ini, berkumpul juara-juara All England Indonesia. Mengikuti istilah sekarang, mereka adalah juara dari zaman ‘old’ hingga zaman ‘now’,” kata mantan atlet Yuni Kartika yang menjadi pembawa acara.
Gelar juara yang didapat di Arena Birmingham, Inggris, pada Minggu (10/3/2019), menjadi gelar kedua bagi Hendra/Ahsan setelah menjadi juara All England 2014. Atas gelar itu, mereka menerima penghargaan berupa uang tunai dan voucher dari klub masing-masing dan Tiket.com dengan total Rp 450 juta. Hendra menerima hadiah dari PB Jaya Raya, sementara Ahsan dari PB Djarum.
Momen juara pasangan yang mendapat julukan “The Daddies” itu begitu spesial karena dicapai setelah Hendra dan Ahsan berusia lebih dari 30 tahun. Di ganda putra, hanya pemain-pemain Denmark yang bisa menjuarai All England dengan usia tersebut. Denmark memang terkenal dengan atlet bulu tangkis “makin tua, makin jadi”.
Jens Eriksen/Martin Lundgaard Hansen misalnya, masing-masing berusia 37 dan 34 tahun saat juara 2006. Mathias Boe/Carsten Mogensen, pemain Denmark terakhir yang menjuarai All England, berusia 35 dan 32 tahun saat juara 2015.
Yang mengharukan, gelar Indonesia dari All England 2019 didapat dengan kondisi cedera betis kanan yang dialami Hendra sejak semifinal. Hendra bercerita, saat tampil di final, rasa sakitnya masih terasa meski kondisinya membaik.
“Saat loncat dan bergerak mundur masih terasa sakit. Tetapi, saya masih punya motivasi untuk menang,” kata Hendra.
Ahsan, juga, tak menjadikan kondisi Hendra sebagai kendala. Yang ada di benaknya saat itu adalah tetap fokus tampil sebaik mungkin.
Apresiasi
Rudy, yang hadir sebagai Ketua Umum PB Jaya Raya, memberi apresiasi atas prestasi Hendra/Ahsan. Menurutnya, menjuarai All England dalam usia lebih dari 30 tahun tidaklah mudah.
“Dalam usia itu, yang paling penting adalah memelihara motivasi. Ini harus jadi contoh untuk pemain lain. Apalagi, All England adalah kejuaraan besar,” kata Rudy. Wejangan itu didengar undangan yang hadir dalam acara, termasuk pemain-pemain muda PB Djarum yang juga menerima penghargaan karena menjuarai beregu putra Superliga Bulu Tangkis, Februari.
Rudy, pemain Indonesia dengan gelar juara terbanyak All England, menjadi bagian dari 33 atlet yang memberi 47 gelar juara All England bagi Indonesia. Nomor ganda putra menjadi yang tersukses, dengan 21 gelar.
Dimulai dari gelar yang didapat Christian/Ade Chandra pada 1972, nomor ini melahirkan gelar juara pada setiap dekade. Diiringi canda, Christian pun berkomentar tentang kesuksesan nomor tersebut.
“Itu karena saya yang pertama kali juara ganda putra. Kalau saya dan Ade Chandra tidak juara, mungkin tidak ada juara ganda putra Indonesia di All England,” kata Christian diiringi gelak tawa para tamu.
Dalam nada serius beberapa menit kemudian, Christian, yang pernah tampil dalam final tunggal putra All England 1973, bercerita tentang prestasinya di ganda putra. “Motivasi saya adalah menyejajarkan prestasi ganda putra dengan tunggal putra. Waktu itu, nomor ganda dipandang sebelah mata,” tutur pria yang akrab disapa Koh Chris itu.
Lahirnya bintang ganda putra akhirnya menjadi idola bagi generasi penerus Christian dan atlet-atlet muda lainnya. Ditambah dengan banyaknya atlet berbakat pada nomor itu, regenerasi ganda putra pun tak putus, termasuk di All England.
Sayangnya, nomor lain belum mengikuti. Hanya ganda putra yang saat ini selalu menjadi andalan juara. Padahal, seperti dikatakan Rudy, Indonesia pernah berjaya dengan merebut lebih dari dua gelar di All England.
Pada 1979 misalnya, empat nomor dijuara Indonesia, yaitu tunggal putra melalui Liem Swie King, Tjun Tjun/Johan Wahjudi (ganda putra), Verawaty/Imelda (ganda putri), dan Christian/Imelda (ganda campuran).
Rudy pun berharap, prestasi itu suatu saat bisa diraih lagi pemain-pemain Indonesia.