Bermula ”Sesuai Aplikasi Ya, Kak ”, Berujung ”Selamat Pagi Kakak Cantik ”
Sesungguhnya Leonie (27) tak keberatan menjawab pertanyaan-pertanyaan abang Go-Jek yang mengantarnya ke Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, pada 2018. Saat pertanyaan mulai mengusik ranah privatnya, ia pun masih bisa menjawab singkat dan ketus, ”iya” dan ”enggak”. Keesokan paginya, rupanya si abang Go-Jek masih bisa mengusiknya via jagat maya.
”Dia chat lewat Whatsapp, ’Selamat pagi, Kak Leonie cantik. Semoga harinya indah’. Ada juga driver lain yang nge-chat, ’Halo Mbak Leonie. Saya lagi di dekat kantor Mbak, nih. Saya antar pulang, yuk’. Kan, itu bikin saya takut karena saya enggak tahu orangnya yang mana, tapi dia tahu nomor HP dan tempat kerja saya,” tutur Leonie, Jumat (22/3/2019).
Lebih ngeri lagi karyawati swasta itu pernah mendapat telepon dari seorang pria dengan suara dan desah yang saling memburu. Ia yakin, sang penelepon adalah salah seorang mitra yang pernah mengantarnya. Tidak ada orang yang bisa mendapatkan nomor ponsel tunggalnya itu semudah mitra Go-Jek.
Meski begitu, Leonie yang telah menjadi pelanggan setia Go-Jek tak pernah melaporkannya kepada aplikator. Ia takut tak punya bukti kuat lantaran tak bisa memastikan siapa dari ratusan mitra—yang mengantarnya setiap hari dari indekos ke kantornya di Jakarta Utara dan sebaliknya—yang mengganggunya.
Menurut dia, nomor telepon sebenarnya sangat membantu saat ruang chat di aplikasi tidak berfungsi akibat sinyal operator yang jelek. Namun, akan sangat baik jika risiko keamanan akibat terbukanya akses ke kontak pribadi bisa dikurangi.
Sementara itu, Julia (22) menetapkan dirinya sebagai pelanggan Go-Jek pada 2018. Ia trauma dengan Grab setelah ponselnya hilang di mobil seorang mitra Grab. Mitra tersebut tak beriktikad mengembalikan ponselnya.
”Ya sudah, akhirnya saya lapor ke Grab. Setelah itu, saya diteror sopir itu. Karena dia tahu nomor (ponsel) saya, dia telepon terus memaki-maki saya karena enggak terima saya laporin,” kata Julia.
Dia chat lewat Whatsapp, ’Selamat pagi, Kak Leonie cantik. Semoga harinya indah’. Ada juga driver lain yang nge-chat, ’Halo Mbak Leonie. Saya lagi di dekat kantor Mbak, nih. Saya antar pulang, yuk.
Runi (24), pelanggan Go-Jek lain, juga pernah ditelepon berkali-kali oleh mitra pengantar makanan setelah layanan selesai. Ia menilai pengalaman seperti itu sudah menjadi risiko pelanggan ojek daring. Setidaknya, pelanggan bisa mengeblok nomor telepon mitra yang mengganggu atau melaporkannya kepada aplikator atas tindakan tak profesional.
”Tapi, akan lebih baik lagi kalau mitra enggak bisa dapat nomor pribadi kita dengan mudahnya. Mungkin bisa dikembangkan fitur free call seperti di Line,” katanya.
Pengalaman Leonie, Julia, dan Runi terbilang umum, terutama di kalangan wanita. Pesan-pesan teks japri (jalur pribadi) dan telepon yang mereka alami bisa digolongkan sebagai kekerasan verbal, bahkan seksual.
Untungnya, perusahaan aplikator sudah mulai memiliki kesadaran yang sama. Grab, misalnya, benar-benar bisa menghubungkan mitra dengan pelanggan tanpa menunjukkan nomor telepon yang sebenarnya. Fitur ini disebut Samarkan Nomor (Number Masking).
”Dengan fitur Number Masking, Grab menyediakan nomor telepon virtual dalam setiap perjalanan. Saat pelanggan menelepon mitra, nomor yang muncul di handphone masing-masing bukanlah nomor sebenarnya sehingga pengguna aplikasi bisa merasa lebih aman,” kata Head of Public Affairs Grab Indonesia Tri Sukma Anreianno.
Perusahaan aplikator sudah mulai memiliki kesadaran yang sama. Grab, misalnya, benar-benar bisa menghubungkan mitra dengan pelanggan tanpa menunjukkan nomor telepon yang sebenarnya. Fitur ini disebut Samarkan Nomor (Number Masking).
Fitur ini baru tersedia bagi pelanggan Grab di Jakarta. Namun, menurut Tri, manfaat fitur ini segera terasa. Empat minggu setelah diluncurkan pada awal November 2018, jumlah laporan gangguan melalui telepon turun 70 persen. Tri tak menyebut jumlah laporan yang diterima Grab pada bulan-bulan sebelumnya.
”Dari awal, kami sudah menyadari risiko layanan transportasi, dan kami ingin memberi solusi. Laporan-laporan yang kami terima juga kami sikapi, misalnya dengan menghukum mitra atau pelanggan yang menjadi pelaku kekerasan verbal via telepon atau teks,” kata Tri.
Sementara itu, Go-Jek belum memiliki fitur serupa. Menurut Vice President Corporate Affairs Go-Jek Michael Reza Say, Go-Jek sudah menyediakan fitur chat bagi mitra dan pelanggan. Fitur ini pun masih hanya bisa digunakan selama layanan berlangsung. Meski demikian, nomor telepon asli mitra dan pelanggan masih bisa terlihat saat menelepon.
Sebagai gantinya, Go-Jek membuat prosedur pelayanan standar untuk mitra. ”Kami selalu memastikan mitra bersikap profesional saat bekerja, termasuk saat berkomunikasi dengan pelanggan. Kalau menghubungi pelanggan untuk membahas hal-hal di luar ranah transaksi, mereka akan dikenai sanksi,” katanya.
Baca juga: Lindungi Data Pribadi
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, data merupakan salah satu sumber valuasi utama perusahaan rintisan. Jika gangguan yang disebabkan nomor telepon terus terjadi, kepercayaan dan permintaan konsumen akan menurun. Valuasi pun juga bisa menyusul turun.
”Tapi, rata-rata konsumen kurang perhatian pada persetujuan ketika mendaftar di aplikasi. Kalau sudah dirugikan, baru protes. Kesadaran pelanggan dan pengemudi mitra terkait persetujuan penggunaan data pribadi juga harus ditingkatkan,” kata Nailul.
Data merupakan salah satu sumber valuasi utama perusahaan rintisan. Jika gangguan yang disebabkan nomor telepon terus terjadi, kepercayaan dan permintaan konsumen akan menurun.
Perlindungan data
Nomor ponsel hanyalah satu dari sekian jenis data yang dimiliki perusahaan angkutan daring. Berbagai jenis data pribadi disimpan perusahaan aplikator, mulai dari nama, alamat, jenis kelamin, nomor KTP, nomor SIM, nomor telepon, e-mail, hingga nomor rekening bank.
Per Desember 2018, Go-Jek sudah diunduh 125 juta kali, sedangkan Grab sebanyak 138 juta kali. Miliaran transaksi diproses keduanya setiap hari.
Lalu, bagaimana memastikan agar data pelanggan ojek daring di Indonesia tidak dimanfaatkan perusahaan untuk kepentingan lain, seperti Cambridge Analytica dan menggunakan 87 juta pengguna Facebook untuk memenangkan Donald Trump dalam pemilu AS 2016?
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) sedang disusun. Beberapa poin seperti jenis pelanggaran, yaitu pidana dan perdata, masih menjadi bahasan.
Baca juga: Aturan Perlindungan Data Pribadi Mulai Bertaji
”Sanksi-sanksi yang akan diberikan juga belum ditetapkan. Untuk membahas itu, kami membentuk tim kecil yang terdiri dari Polri, Kejaksaan Agung, Kemkominfo, Sekretariat Negara, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), dan BI (Bank Indonesia). Saya harap bisa disahkan sebelum pemilu,” katanya.
Menurut Semuel, inti dari RUU PDP adalah persetujuan pemilik data. Suatu pihak boleh mengumpulkan data dan menggunakannya sesuai izin pemilik data. Penggunaannya juga terbatas untuk keperluan layanan yang telah disepakati.
Untuk sementara, masyarakat bisa mengandalkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Peraturan Menteri Kominfo No 20/2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik. Pasal 26 Ayat 2 UU ITE, misalnya, mengizinkan pemilik data menuntut pihak yang merugikannya dengan memanfaatkan data pribadi.
Menanggapi hal itu, Nailul mengatakan, pemerintah belum melihat perlindungan data pribadi sebagai hal yang mendesak, terutama dalam ekonomi digital. Untuk sementara, aplikator dan konsumen harus lebih jeli mengamati persyaratan dan perjanjian penggunaan data pribadi dalam layanan.
Data telah menjadi minyak bumi baru dalam perekonomian. Tanpa aturan yang jelas, data bisa menjadi momok bagi penggunanya, jauh melebihi godaan abang ojol…. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)