Masyarakat Makin Banyak Konsumsi Konten Ilegal di Internet
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat makin banyak mengonsumsi konten film hasil pembajakan di internet. Padahal, sosialisasi perihal konten ilegal sudah sering diberikan kepada masyarakat.
General Manager Asia Video Industry Association (AVIA) Coalition Against Piracy Neil Gane, melalui surat elektronik, Jumat (22/3/2019), menyampaikan, hal itu merupakan benang merah laporan riset yang dirilis institusinya bersama YouGov baru-baru ini.
Temuan riset itu, antara lain, sekitar 29 persen konsumen internet Indonesia menggunakan ISD untuk streaming konten televisi dan video film bajakan. ISD merupakan perangkat pemutar konten beraliran langsung (streaming) terlarang.
Riset juga menemukan, IndoXXI Lite dan LK21 Reborn adalah contoh pemutar konten bajakan yang populer di kalangan konsumen Indonesia.
Ironisnya, tambah Neil, sekitar 55 persen responden yang disurvei mengaku memanfaatkan laman-laman tersebut demi mendapat akses gratis menonton film.
”Sejumlah konsumen di Indonesia memiliki selera tidak sehat untuk urusan mengonsumsi konten video, terutama film. Mereka memakai ISD. ISD menyerupai kotak televisi yang telah dikonfigurasi dengan aplikasi perangkat lunak tertentu sehingga memungkinkan konsumen melakukan streaming konten audio visual dari server streaming ilegal,” ujarnya.
Menurut dia, tren yang kini berkembang menunjukkan aktivitas pembajakan konten film dikerjakan sindikat tertentu. Kendati jumlahnya tidak banyak, mereka mengendalikan sekitar 75 persen laman pemutar konten hasil bajakan. Mereka menghasilkan uang melalui iklan yang sebagian besar mengenai perjudian.
”Tren konsumsi konten bajakan menggunakan ISD tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara Asia juga marak kasus yang sama, misalnya di Malaysia, Filipina, Taiwan, Hong Kong, bahkan Singapura,” kata Neil.
Baca juga: Pembajakan Marak melalui Platform Digital
Sesuai laporan AVIA ”Indonesia in View” edisi 2019, jumlah pengguna ponsel—dilihat dari sebaran kartu nomor seluler aktif—sekitar 347 juta. Dalam 5 tahun terakhir, penetrasi pengguna ponsel stabil di kisaran 70-72 persen terhadap total penduduk. Sementara, penetrasi pengguna ponsel pintar 74 persen.
Adapun konsumsi rata-rata kuota layanan data seluler meningkat dua kali lipat setiap tahun sejak 2016 atau menjadi 3,5 gigabyte (GB) per bulan pada 2018. Diperkirakan, konsumsi data seluler pada 2022 mencapai 15,5 GB per bulan.
Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Fauzan Zidni, yang dihubungi secara terpisah, berpendapat, penanganan kasus pembajakan konten film di internet, termasuk aplikasi pemutar video beraliran langsung, terkendala regulasi. Peraturan perundang-undangan mengenai hak cipta menyebutkan, penindakan hukum pembajakan dilakukan setelah ada delik aduan.
”Situasi ini menyulitkan pelaku kreatif,” ujarnya.
Pada 2015, Aprofi melakukan advokasi ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk menyampaikan kondisi pembajakan konten yang mulai ramai di internet.
Baca juga: Pembajakan Film itu Merusak
Kedua instansi pemerintah itu menerbitkan peraturan bersama tentang pelaksanaan penutupan konten dan/atau hak akses pengguna pelanggaran hak cipta dan hak terkait dalam sistem elektronik yang merupakan turunan dari undang-undang hak cipta.
Sejak tahun itu, kedua kementerian tersebut gencar memblokir laman ilegal yang digunakan untuk mendistribusikan konten film legal. Berdasarkan laporan Aprofi dan Motion Pictures Association, sekitar 481 laman dan lebih dari 700 domain internet telah diblokir.
Mengacu penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia tahun 2017, industri perfilman Indonesia rugi hingga Rp 1,4 triliun per tahun karena pembajakan film, baik melalui unduh ilegal maupun DVD bajakan. Total kerugian tersebut baru dihitung di Jakarta, Medan, Bogor, serta Deli Serdang.
”Nilai kerugian diperkirakan Rp 5 triliun per tahun jika riset diselenggarakan secara nasional. Kami berharap, pemerintah meneliti dampak empiris pembajakan,” kata Fauzan.
Kesulitan menegakkan hukum dalam kasus pembajakan di internet menyebabkan sineas hanya bisa mengoptimalkan edukasi. Dia mengemukakan, aktivitas literasi semestinya melibatkan pelaku ekosistem perfilman lainnya, seperti bioskop dan aplikasi resmi pemutar video beraliran langsung.
Peneliti senior LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Chaikal Nuryakin, memandang, kebanyakan masyarakat masih menganggap tidak bermasalah saat menonton film hasil bajakan.
”Edukasi seharusnya menyebutkan ada properti yang dicuri jika menonton konten hasil bajakan. Kedua, sosialisasinya harus menekankan bahwa menonton film hasil bajakan sama sekali tidak keren,” ujarnya.
Chaikal menyarankan agar akses menonton konten film legal semakin diperluas dan dipermudah. Cara ini berjalan beriringan dengan aktivitas edukasi. (MED)