JAKARTA, KOMPAS—Pengelolaan ekosistem gambut untuk berbagai kepentingan perkebunan dan pembangunan hutan tanaman industri secara parsial menyebabkan pengaturan air menjadi kompleks. Penataan kembali ekosistem tersebut membutuhkan kerja bersama semua pemanfaat dan pengelola di lanskap kesatuan hidrologis gambut.
Penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut memberi ruang tak semua puncak kubah gambut untuk tetap dimanfaatkan. Ini jika ada kubah gambut lain yang menjaga area itu sebagai menara air dan memenuhi kriteria fungsi lindung.
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead, Kamis (18/4/2019), di Jakarta, mengakui ada beberapa pandangan pro dan kontra terkait Pasal 7 Peraturan Menteri (Permen) LHK No 10/2019. ”Tetapi apa berusaha melindungi bagian terpenting kubah itu debatable karena ada pasal mengatakan seolah-olah boleh dibuka. Misalnya di sini kubah dilindungi dan di sana dipakai tak apa-apa. Ada beberapa pertanyaan,” ujarnya.
Penentuan puncak gambut, termasuk fungsi lindung ekosistem gambut, agar dilakukan terbuka oleh pemangku kepentingan setempat, termasuk pengelola kebun, konsesi hutan tanaman industri, dan warga setempat. ”Kalau telanjur (gambut berfungsi lindung) terbuka dan dicek izinnya sah dan benar, harus dicari cara terbaik agar tata air tetap terjaga. Fungsi lindung harus ditegakkan,” katanya.
Kalau telanjur (gambut berfungsi lindung) terbuka dan dicek izinnya sah dan benar, harus dicari cara terbaik agar tata air tetap terjaga.
Hal itu perlu dibahas terbuka. Ini agar warga memberi masukan dan mengetahui fungsi serta langkah yang dilakukan agar semua lanskap gambut terkelola tata hidrologis.
Hingga kini BRG mencermati dampak Permen LHK pada program kerja dan target restorasi 2 juta hektar. Taksirannya, dampak ke restorasi di lahan warga di area lain tak terlalu besar.
Area gambut ditempati antara perusahaan dan warga agar dijaga bersama. Tujuannya, mencegah konflik berbagi air seperti area kebun warga kebanjiran saat perusahaan membuka sekat kanal pada musim hujan.
Wahyu Permana, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mengatakan, pihaknya memprotes Permen LHK No 10/2019. Itu dinilai bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No 71/2014 juncto PP No 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Sebagai contoh, KLHK membolehkan pemanfaatan puncak kubah gambut telanjur dibuka. Meski tetap menjaga fungsi tata airnya, itu terlalu berisiko berdampak bagi sekitarnya.
Pembenaran
Berdasarkan catatan Walhi, pada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) ada 5,4 juta hektar konsesi hutan tanaman industri dan 1,8 juta hak guna usaha (HGU) perkebunan. Permen tersebut dinilai sebagai pembenaran atas ketelanjuran, bukannya merestorasi gambut.
Ia menambahkan, idealnya penetapan fungsi lindung dan fungsi budidaya dilakukan setelah didapatkan peta KHG yang lebih rinci skala 1:50.000. Kini peta KHG pada skala 1:250.000 sehingga kurang detail untuk digunakan dalam perencanaan.
Namun, ketersediaan peta KHG 1:50.000 ini menjadi kendala. BRG saat ini memiliki 28 peta KHG dari 104 KHG pada area kerja restorasinya seluas 2,4 juta hektar. Peta ini didapatkan dari pemanfaatan teknologi Lidar yang berbiaya tinggi.
Ke depan, pihaknya memakai metodologi baru hasil kompetisi Peat Prize 2018 distandardisasi Badan Informasi Geospasial. Metode yang jauh lebih murah itu mempercepat pembuatan peta KHG yang lebih rinci agar menjadi dasar pengelolaan KHG setelah ditumpang-susun (overlay) dengan peta konsesi, peta hak guna usaha, dan peta lain.