Kedatangan orang Arab di Batavia menarik ditelusuri. Sebab, mereka sampai sekarang masih terus eksis dan ikut mewarnai kebudayaan Indonesia.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
Bruriadi Kusuma (84) menaiki pelan-pelan, selangkah demi selangkah, 62 anak tangga di menara Masjid An-Nawier, di Pekojan, Jakarta Utara, Sabtu (18/5/2019). Sesampai di puncak menara setinggi 17 meter itu, Kusuma akhirnya bisa menghela napas lega. Dia lalu membidikkan kameranya ke permukiman Pekojan yang dilihatnya sebagai simbol peradaban Arab di Batavia itu.
”Makin bertambah umur, bukannya takut, ini, kok, makin penasaran, gimana pemandangan melihat kawasan Pekojan ini kalau dari atas. Tak mau kalah juga sama yang muda,” ujar Kusuma dengan tertawa kecil, dalam Pelesiran Tempo Doeloe yang digagas Yayasan Sahabat Museum.
Sebagaimana namanya, pelesiran, kegiatan yang diadakan rutin setiap bulan ini ingin mengajak masyarakat pencinta museum untuk mengenal lebih dalam sejarah riwayat kota, tetapi dengan balutan tamasya. Kali ini, destinasi yang dipilih adalah kawasan Pekojan, Jakarta Utara.
Masjid An-Nawier hanya salah satu dari empat tempat wisata yang Kusuma kunjungi bersama 17 peserta Pelesiran Tempo Doeloe, hari itu. Adapun, tiga tempat wisata yang lain adalah Masjid Kampung Baru, Kampung Arab, dan Masjid Langgar Tinggi. Untuk menuju satu tempat ke tempat yang lain pun, peserta tak berjalan kaki, tetapi ontel, sepeda tua zaman Hindia Belanda.
”Kami ingin para peserta sedikit punya gambaran kehidupan saat-saat itu, ramai-ramai pakai ontel, mengelilingi bangunan-bangunan tua, dan melihat kembali bagaimana terbentuknya suatu komunitas dan suatu koloni Arab di Batavia,” tutur Pendiri Yayasan Sahabat Museum Ade Purnama.
Menurut Ade, kedatangan orang Arab di Batavia menarik ditelusuri. Sebab, mereka sampai sekarang masih terus eksis dan ikut mewarnai kebudayaan Indonesia.
Orang-orang Hadhrami, sebutan untuk penduduk Hadramaut, Yaman, merupakan mayoritas orang peranakan Arab Indonesia yang diyakini mulai berdatangan ke Nusantara sejak abad ke-13.
Ada dua gelombang ketika orang-orang Hadhrami itu memasuki Nusantara. Pertama, pada abad ke-13, mereka melalui jalur rempah menuju Maluku. Sementara kedua, pada abad ke-17 atau 18, mereka mulai singgah ke Pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia.
Setelah gelombang kedua itu, koloni Arab di Batavia merupakan yang terbesar di Hindia Belanda. Berikutnya, mereka tersebar ada di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, dan Gresik.
”Kalau kita perhatikan, orang-orang Arab itu memang tinggalnya di pesisir-pesisir utara,” kata Ade.
Kehadiran tiga masjid di kampung Arab, yakni Masjid Kampung Baru (1748), Masjid An-Nawier (1760), dan Masjid Langgar Tinggi (1829), menjadi saksi bisu perjalanan peranakan Arab di Batavia.
Pemerhati sejarah Batavia, Andy Alexander, mengungkapkan, tiga masjid itu ikut menjadi saksi penyebaran Islam di Batavia semasa kolonial. Mereka kemudian memiliki keturunan dan harus menikah sesama marga Alawiyin alias keturunan Nabi, di antaranya Al Attas, Al Jufri, Assegaf, Al bin Jidan, Al Habsyie, Al Basurah, dan Al Bayti.
”Dan hingga saat ini, mereka masih memegang tradisinya itu. Meski begitu, mereka juga tetap bisa berbaur dan bertoleransi dengan warga sekitarnya,” kata Andy.
Salah satu peserta, Beryan Saputra (28), mengaku mendapat ilmu baru setelah mengikuti pelesiran. Selama ini, dia hanya mengetahui keturunan Arab memang pernah datang ke Nusantara, tetapi tak pernah tahu apa saja peninggalannya.
”Saya tak pernah belajar wilayah Pekojan atau Kampung Arab secara spesifik dulu waktu zaman sekolah. Saya juga dapat banyak hal baru, padahal saya termasuk sering lewat daerah sini, tetapi tak pernah tahu di sini sebelumnya ada apa,” tutur Beryan.
Beryan berharap, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan perhatian yang penuh terhadap sejumlah cagar budaya itu. Apalagi, dia melihat kondisi bangunan masjid Kampung Baru dan sejumlah rumah keturunan Arab mulai rapuh.
”Sejarah, kan, paling penting dalam suatu negara. Jangan sampai kita justru menghilangkan bangunan-bangunan bersejarah itu,” ujarnya.