MK Tolak Uji Materi Pencucian Uang
JAKARTA, KOMPAS — Majelis hakim Mahkamah Konstitusi, Selasa (21/5/2019) di Jakarta, memutuskan menolak permohonan uji konstitusi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penolakan karena semua keempat pemohon tak memiliki legal standing atau hak gugat yang memenuhi syarat.
”Menyatakan permohonan para pemohon ditolak,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam pembacaan putusan dengan didampingi delapan hakim konstitusi lain.
Sidang perkara Nomor 74/PUU-XVI/2018 itu diajukan Tim Advokasi Anti Pencucian Uang yang berisikan Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia, Yayasan Auriga Nusantara, Abdul Fickar Hadjar (dosen hukum pidana Universitas Trisakti), dan Feri Amsari (dosen hukum administrasi negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta).
Dalam rangkaian pembacaan putusan itu, hakim konstitusi berpendapat Agus Triyono yang mewakili Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia dan Timer Manurung yang mewakili Yayasan Auriga Nusantara tidak bisa bertindak mewakili organisasi. Menurut hakim, jika mengacu pada UU No 16/2001 tentang Yayasan, pengurus diwakili oleh ketua umum atau pengurus yayasan seperti ketua, sekretaris, dan bendahara.
Sementara itu, kedua dosen juga ditolak legal standing-nya karena tak bisa membuktikan kerugian sebab-akibat Pasal 2 Ayat 1 Huruf z UU No 8/2010. Keduanya masih bisa mengajar dan menjalankan tugas sebagai dosen meski pasal itu tetap berjalan.
Selain itu, alasan kedua, yaitu legal standing kedua dosen sebagai pembayar pajak, menurut hakim juga tak bisa dijadikan dasar hukum. Hakim MK menyebutkan, telah menjadi pendirian MK sejak tahun 2003, pembayar pajak semata-mata tidak serta-merta memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 jika tak terdapat kaitan yang cukup antara kerugian hak konstitusional yang dianggapkan dan norma UU yang dimohonkan pengujian (vide putusan Mahkamah Konstitusi No 003/PUU-I/2003, No 27/PUU-V/2009 dan Nomor 76/PUU-XII/2014).
”Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, meskipun mahkamah berwenang mengadili permohonan para pemohon, tetapi para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sehingga terhadap pokok permohonan perkara para pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” pertimbangan hakim konstitusi.
Hakim konstitusi pun menyatakan para pemohon telah diberi waktu untuk memperbaiki permohonan uji materi. Namun, dalam perbaikan uji materi yang diterima kepaniteraan pada 27 September 2018, para pemohon tetap mengajukan permohonan a quo. Artinya, pemohon I (Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia) dan pemohon II (Yayasan Auriga Nusantara) tetap diwakili pihak yang tidak sesuai Akta Nomor 06 tanggal 21 April 2010 dan Akta Nomor 01 tanggal 12 November 2009.
Syahrul Fitra, perwakilan Auriga, kepada wartawan, menyayangkan putusan itu. Ia pun heran jabatan ”Badan Pengurus” muncul dalam putusan meski Yayasan Auriga Nusantara tak memiliki struktur tersebut.
Ia pun mengatakan persoalan formil seperti ini seharusnya muncul di awal persidangan, bukan putusan di akhir persidangan. Apalagi hakim sempat memeriksa pokok perkara dengan menghadirkan Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani, pejabat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), TNI, serta pakar.
Selain itu, legal standing Auriga pernah diterima pada saat mengajukan uji materi UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Karena dinilainya sidang ini belum mempertimbangkan pokok perkara, pihaknya berencana mengajukan uji materi kembali.
Diseminasi putusan
”Kami diseminasikan dulu putusan MK ini dan diskusikan dengan tim terkait strategi pengajuannya karena secara substansif sudah disidangkan dan sudah diperiksa saksi dari kehutanan, tentara militer, ahli juga diperiksa. Sudah masuk ke pokok perkara,” katanya.
Kami diseminasikan dulu putusan MK ini dan diskusikan dengan tim terkait strategi pengajuannya karena secara substansif sudah disidangkan.
Tama S Langkun, kuasa hukum pemohon lainnya, pun menyatakan setuju untuk kembali mengajukan uji materi. Mereka masih membahas detail rencana permohonan itu lebih lanjut.
Syahrul mengatakan, pengajuan uji materi ini didasarkan banyak kasus kehutanan dan lingkungan hidup hanya mentok pada aktor di lapangan. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) KLHK yang berupaya menyentuh aktor utama dengan menggunakan pasal pencucian uang acap kali terkendala regulasi.
Karena itu, pihaknya mengajukan permohonan uji materi agar MK menyatakan PPNS KLHK memiliki kewenangan menggunakan pasal pencucian uang dalam mengusut kasus-kasus kehutanan dan lingkungan. Ia mengatakan, pada Pasal 2 UU No 8/2010 itu penyidikan tindak pidananya termasuk pada kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup.
Kemudian pada Pasal 74 disebutkan, ”Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini”. Namun, pada penjelasan Pasal 74 itu, PPNS KLHK tak masuk dalam daftar pihak yang bisa menggunakan pasal tersebut.
Pihak yang disebutkan dalam Pasal 74 itu ialah Kepolisian Negara Republik Indonesia, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Sidang putusan MK itu juga dihadiri Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK Yazid Nurhuda. Namun, ia enggan dimintai pendapat terkait dengan putusan MK tersebut.