Sejak dirintis tahun 1895, Venice Art Biennale di Venesia, Italia, telah menjadi pameran seni rupa internasional paling tua dan prestisius. Ratusan ribu orang dari mancanegara berdatangan demi menikmati karya seni sekaligus mencicipi geliat kota sungai itu. Di sini, seni dan kehidupan berdenyut bersamaan.
Oleh
Ilham Khoiri
·6 menit baca
Sejak dirintis tahun 1895, Venice Art Biennale di Venesia, Italia, telah menjadi pameran seni rupa internasional paling tua dan prestisius. Ratusan ribu orang dari mancanegara berdatangan demi menikmati karya seni sekaligus mencicipi geliat kota sungai itu. Di sini, seni dan kehidupan berdenyut bersamaan.
Venice Art Biennale 2019 menempati dua kawasan, di Giardini dan Arsenale. Tempat pertama adalah taman terbuka yang dipenuhi galeri seni, sedangkan lokasi kedua berupa area pergudangan kapal dari abad ke-15. Keduanya berdekatan, bisa ditempuh sekitar 15 menit dengan jalan kaki menyusuri tepian sungai.
Pameran dibuka resmi untuk umum pada 11 Mei sampai 24 November 2019. Namun, jauh-jauh hari sebelumnya, para undangan khusus sudah ramai berdatangan. Seniman, kurator, kolektor, wartawan, dan pencinta seni dari sejumlah negara sibuk blusukan di situ.
Seperti pada Kamis (9/5/2019) siang itu, antrean pengunjung mengular di depan gerbang Giardini. Begitu masuk, pengunjung disuguhi papan peta petunjuk. Mereka bebas menjelajah dari mana saja sesuai selera.
Di bagian tengah ada ruang pamer utama, tempat para seniman internasional undangan unjuk karya. Di sayap kiri, kanan, dan belakang berderet-deret puluhan paviliun nasional dari sejumlah negara. Sebut saja Amerika Serikat, Rusia, Jepang, Israel, Mesir, dan Brasil. Itu menjadi galeri bagi para seniman nasional pilihan negara masing-masing.
Pameran di Arsenale juga ditata dengan cara serupa. Ada Paviliun Indonesia, China, Italia, India, Filipina, Arab Saudi, dan banyak lagi. Hanya saja, jika galeri di Giardini cenderung bergaya klasik dan modern, pameran di Arsenale memanfaatkan bangunan kuno. Ini memberikan sensasi tersendiri: masa lalu dan masa kini seperti asyik bercengkerama.
Jika lelah keluyuran dari galeri ke galeri, pengujung boleh rehat di ruang-ruang terbuka. Salah satu pilihan: nongkrong di dekat sungai yang membelah bagian belakang taman dengan deretan pohon zaitun. Kebetulan, siang itu ada sekelompok musisi jalanan bermain musik di atas perahu. Suara musik mereka bersahutan dengan semilir angin musim semi yang segar.
Tamasya visual
Apa yang diperoleh dari pameran ini? Pengujung diajak bertamasya menjelajahi beragam karya seni dari banyak belahan dunia. Total ada 79 seniman undangan internasional dan lebih banyak lagi seniman pilihan negara dari 90 paviliun nasional.
Karya mereka bervariasi, mulai dari lukisan, patung, instalasi, obyek, olahan bunyi, video, film pendek, animasi, olahan digital, sampai tiruan mesin. Semuanya menunjukkan pencapaian seni rupa kontemporer terkini.
Ambil satu contoh, lukisan Julie Mehretu, seniman kelahiran Etiopia yang bermukim di New York, AS. Meski mengandalkan media konvensional (kanvas dan cat akrilik), pendekatannya segar.
Dia memadukan citra abstrak, goresan street art, garis-garis arsitektur, dan sapuan liar ala ornamentasi Afrika. Ada tanda-tanda visual yang dapat dikenali sekaligus lapisan misteri yang tersembunyi.
”Saya mencari ruang di mana Anda tidak dapat memiliki pengalaman khusus tunggal. Ini tentang apa yang tidak terdefinisi, tidak stabil,” kata Mehretu, seperti dikutip dalam katalog pameran.
Contoh lain, instalasi karya seniman Jerman, Alexandra Bircken. Dia menghadirkan motor gede utuh-utuh. Tetapi, bagian badan motor itu dibelah menjadi dua. Jeroan motor yang selama ini ditutupi pun jadi terbuka. Kegagahan tongkrongan motor dibenturkan dengan detail onderdil mesin.
Tentu saja, masih banyak karya lain yang menggugah. Semuanya dirangkum oleh kurator Ralph Rugoff di bawah tema ”May You Live in Interesting Times”. Lewat tema ini, dia memprovokasi seniman untuk mengulik hal-hal menarik dalam kehidupan ketimbang meratapi perubahan.
Bagi dia, karya seni menarik jika berhasil menantang kebiasaan berpikir dan membuka bacaan kita tentang obyek dan gambar, gerakan, dan situasi. Seni tumbuh dalam pikiran pemikiran yang tampak bertentangan dan menyulap beragam cara untuk memahami dunia. ”Karya seni mendorong kita untuk memandang dengan curiga semua kategori, konsep, dan subyektivitas,” kata Rugoff dalam pengantar.
Tak hanya tamasya visual, pameran ini juga menyuguhkan peta terbaru seni rupa dunia. Jika pada masa modern sejarah seni didominasi Eropa dan Amerika Serikat, lewat pameran ini kita tersadarkan adanya praktik seni dari negara-negara kawasan lain, seperti Asia, Amerika Latin, atau Eropa Timur.
”Karya mereka tak kalah dahsyat,” kata St Sunardi, anggota tim juri Paviliun Indonesia di Venice Art Biennale 2019, saat ditemui di Venesia.
Hajatan kota
Venice Biennale ditempa oleh perjalanan panjang. Merujuk situs Labiennale.org, rintisan dimulai tahun 1893, ketika Dewan Kota Venesia membuat resolusi agar digelar pameran seni saat perayaan perkawinan perak Raja Umberto dan Margherite. Wali Kota Venesia Ricardo Selvatico mewujudkan rencana itu tahun 1895. Pesertanya adalah seniman lokal, Italia, dan dari sejumlah negara Eropa.
Pameran digelar di Taman Castello dan dibuka Raja Umberto dan Margherite. Sukses dikunjungi sekitar 200.000 orang, dibentuk La Biennale di Venezia, organisasi yang bertugas menggelar program ini setiap dua tahun. Partisipasi seniman mancanegara kian dikembangkan.
Tahun 1907 dibangun paviliun nasional pertama, yaitu Belgia. Menyusul kemudian, Paviliun Inggris, Jerman, Hongaria, Perancis, dan Swedia. Setiap bangunan paviliun dirancang sesuai selera negara masing-masing.
Banyak negara menyewa paviliun lebih permanen sampai puluhan tahun. Pameran terus digelar secara berkala, bahkan masa peperangan. Kini, Venice Biennale berusia 124 tahun dan masuk penyelenggaraan ke-58.
Presiden La Biennale di Venezia Paolo Baratta mengungkapkan, pameran sengaja dibuka selama enam bulan lebih agar dapat memberikan kesempatan bagi publik untuk datang dan lebih leluasa menikmati karya-kaya seni dan berinteraksi dengan seniman. Sebaliknya, seniman juga bebas menawarkan sentuhan seni dan berdialog dengan publik.
Dengan reputasi itu, Venice Biennale menjadi salah satu daya tarik yang memikat wisatawan. Selama enam bulan pameran, pengunjungnya rata-rata 500.000 orang lebih.
Tak hanya pameran seni rupa, Kota Venesia juga menjadi tuan rumah bagi banyak peristiwa seni rutin, seperti biennale arsitektur, tari, musik, sinema, dan teater. Belum lagi pertunjukan opera atau Karnaval Venesia yang terkenal dengan topengnya. Semua kegiatan itu terjadwal secara apik sehingga penggemar seni dapat mengatur perjalanan sesuai keperluan.
Lebih asyik lagi, sembari menikmati sajian seni, pengunjung juga dapat mencicipi kehidupan Kota Venesia yang kerap disebut sebagai ”kota yang mengambang”. Kenapa? Karena kota ini terdiri dari beberapa pulau yang dibelah-belah oleh sungai. Rumah warga, gedung perkantoran, gereja, dan semua fasilitas lain bak mengapung di atas air.
Sungai menjadi transportasi utama selain jalan kaki. Naik gondola, semacam perahu yang didayung dengan tangan, menjadi atraksi yang masyhur. Dengan naik gondola, turis bisa menyusuri lorong-lorong sungai sambil memandang arsitektur bergaya Gotik yang genit. Beberapa bangunan terkenal keindahannya, seperti Basilika San Marco dari abad ke-11.
Semua keunikan itu membuat Venesia masuk dalam Situs Warisan dunia UNESCO. Posisi itu kian memendarkan daya tarik. Kini, sekitar 30 juta turis mengunjungi kota ini setiap tahun. Sebagian dari mereka datang untuk melihat Venice Art Biennale.
”Saya sudah tiga kali ke Venesia. Dan, saya berencana untuk ke sini lagi,” kata Dolorosa Sinaga, pematung yang juga anggota tim juri Paviliun Indonesia pada 2019.