Pacu Konsumsi Masyarakat
JAKARTA, KOMPAS
Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 56-58 persen. Maka, langkah strategis untuk menjaga dan mendorong pertumbuhan ekonomi adalah memacu konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2019 sebesar 5,07 persen. Dari angka itu, sebesar 2,75 persen di antaranya disumbang konsumsi rumah tangga.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam di Jakarta, Minggu (16/6/2019), berpendapat, jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya berkisar 5 persen, maka pertumbuhan ekonomi tidak akan pernah menjadi 6 persen.
Menurut dia, Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal harus mulai berorientasi pada permintaan domestik untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, pelonggaran pajak demi mengejar pertumbuhan investasi mesti segera dilakukan.
jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya berkisar 5 persen, maka pertumbuhan ekonomi tidak akan pernah menjadi 6 persen.
APBN sebaiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga, tanpa terlalu fokus menekan defisit anggaran.
Pemerintah, lanjut Piter, perlu memanfaatkan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang membatasi defisit anggaran tidak lebih dari 3 persen produk domestik bruto (PDB), sebaik-baiknya.
Selain itu, utang atau investasi luar negeri yang masuk ke Indonesia melalui penerimaan modal asing (PMA) perlu dipastikan agar berdampak positif terhadap ekspansi perusahaan di dalam negeri.
“Meningkatkan penerimaan pajak dan meningkatkan pertumbuhan konsumsi, sambil mengurangi porsi utang luar negeri, dalam waktu bersamaan adalah mustahil,” ujarnya.
Dari sisi moneter, Bank Indonesia dapat mengatur jumlah uang yang beredar untuk mendorong daya beli dengan tetap menjadikan indikator inflasi sebagai alat kendali. Selain itu, penurunan suku bunga acuan bisa menjadi cara untuk meningkatkan penyaluran kredit masyarakat. Meskipun, langkah itu memiliki risiko berupa pelemahan nilai tukar.
“BI harus mengambil kesempatan menurunkan suku bunga acuan apabila memungkinkan karena kombinasi moneter dan fiskal membantu tercapainya pertumbuhan ekonomi domestik,” tambah Piter.
Survei Bank Indonesia (BI) memproyeksikan, Indeks Ekspektasi Ekonomi (IEK) terhadap kondisi ekonomi enam bulan mendatang pada Mei 2019 turun 1,9 poin dari April 2019 menjadi 142,9. Penurunan ini dipengaruhi ekspektasi terhadap penghasilan dan kegiatan usaha enam bulan mendatang.
Survei BI itu juga memperlihatkan, konsumen memperkirakan ada kenaikan harga dalam tiga bulan mendatang, sejalan dengan kekhawatiran kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai, pelambatan konsumsi terjadi akibat berbagai macam kondisi, mulai dari dampak pelambatan pertumbuhan ekonomi hingga inflasi.
”Dalam situasi seperti ini, konsumen dari segmen masyarakat kelas menengah atas akan melakukan antisipasi. Jadi, banyak konsumen yang pilih menabung dan menunda belanja,” ujarnya.
Industri
Sementara itu, terkait upaya mendorong konsumsi masyarakat, industri manufaktur di Indonesia diharapkan bisa mengisi kebutuhan domestik dan ekspor.
Program Making Indonesia 4.0 yang mendorong industri utama untuk beradaptasi dengan revolusi industri digital diharapkan dapat menjadi gerakan nasional. Program ini bisa mendorong industri manufaktur untuk meningkatkan produktivitas. Dengan produktivitas yang tinggi, maka kebutuhan domestik dan ekspor dapat dipenuhi.
"Semua pemangku kepentingan memiliki kesamaan persepsi dalam membangun industri," kata peneliti senior di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia TM Zakir Machmud di Jakarta, pekan lalu.
Menurut dia, kebijakan dalam industri manufaktur mesti menjaga keseimbangan dari sisi konsumsi dan produksi agar pelaku industri bersemangat berusaha di Indonesia. (DIM/CAS)