logo Kompas.id
Penagih Utang Pun Mendadak...
Iklan

Penagih Utang Pun Mendadak Jadi Komisaris

Beragam cara dan tipu muslihat ditempuh pebisnis teknologi finansial atau tekfin ilegal. Pegawai yang bertugas menagih utang mendadak ditulis menjadi komisaris perusahaan di akta perusahaan itu.

Oleh
B KRISNA YOGATAMA/IGA BAGUS ANGGA/HARRY SUSILO
· 6 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/y6s0IwquEOmsdbiy7dWE7W49Adg=/1024x1819/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F20190424_ARJ_tekfin-mumed_1556989379.png

Beragam cara dan tipu muslihat ditempuh pebisnis teknologi finansial atau tekfin ilegal. Pegawai yang bertugas menagih utang mendadak ditulis menjadi komisaris perusahaan di akta perusahaan itu.

Pegawai tekfin ilegal itu ditekan agar mengintimidasi nasabah mengembalikan pinjaman. Namun, legalitas bisnis dan hukum mereka abaikan. Saat terjerat hukum dan dipenjara, mereka ditinggalkan dan diabaikan.

Tak hanya nasabah yang dirugikan, pekerja di perusahaan tekfin ilegal pun merasa tertipu dengan manajemen perusahaan yang belum mengantongi legalitas. Kondisi ini menegaskan semua pihak dirugikan, kecuali sang pemilik bisnis.

Salah satu mantan pegawai tekfin ilegal yang tertipu adalah IS (31), yang kini meringkuk di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta. Mantan penagih utang di perusahaan tekfin pinjaman antarpihak bernama VLoan ini ditangkap polisi bersama tiga rekan kerjanya sesama penagih utang. Mereka terjerat hukum karena menyebarkan konten pornografi saat menagih utang ke nasabah yang menunggak.

Ditemui Kompas di Rutan Salemba, akhir April lalu, IS mengaku kecewa terhadap perusahaan bekas tempatnya bekerja. Setelah mereka ditangkap polisi pada 29 November 2018, PT VCard Technology Indonesia yang mengoperasikan VLoan berjanji akan mendampingi kasus hukum mereka berempat.

”Tapi, nyatanya mereka menghilang. Alamat perusahaan sudah tutup. Pemilik perusahaan seorang WNA dari China, pergi entah ke mana. Kami ditinggal pergi begitu saja,” kata IS.

https://cdn-assetd.kompas.id/AHrmR1ivf3Xf0IKBo55um_8Wc8c=/1024x497/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F20190516_152558_1557995540.jpg
KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J

Seorang pengguna tengah melihat daftar penyelenggara teknologi finansial (financial technology atau fintech) pinjam-meminjam atau peer to peer lending yang telah menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

Perusahaan itu memiliki alamat resmi di Gedung Grand Slipi Tower. Saat Kompas menelusuri alamat tersebut, tidak terdapat keberadaan perusahaan itu. IS mengatakan, meski alamatnya di Slipi, kegiatan operasional sehari-hari perusahaan berada di sebuah rumah di bilangan Puri Kembangan.

Kejanggalan dengan perusahaan sebenarnya sudah sejak lama dirasakan IS. Nama dirinya yang hanya penagih utang dicantumkan menjadi komisaris di akta kepemilikan perusahaan. IS mengatakan, namanya dijadikan komisaris sekadar untuk memenuhi persyaratan pendirian suatu entitas usaha di Indonesia.

”Saya bingung, bagaimana bisa nama saya ditulis di akta menjadi komisaris? Padahal, saya hanya penagih utang. Manajemen menjelaskan, karena ini perusahaan baru, nama saya pura-pura jadi komisaris, hanya sekadar memenuhi persyaratan saja,” ujar IS.

Tak hanya nasabah yang dirugikan, pekerja di perusahaan tekfin ilegal pun merasa tertipu dengan manajemen perusahaan yang belum mengantongi legalitas

Setelah melakukan penelusuran pribadi, IS menemukan, perusahaan tempatnya bekerja ternyata belum mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Meski menemukan sejumlah kejanggalan, mantan karyawan bank swasta ini memilih bertahan karena gaji yang ditawarkan mencapai Rp 8 juta sebulan, yang lebih besar Rp 2 juta dari tempat kerja sebelumnya.

IS juga sempat yakin perusahaannya kredibel dan melamar ke perusahaan tersebut setelah melihat lowongan di situs Jobstreet.com. Namun, setelah berbagai peristiwa menimpa dirinya, dia kapok bekerja di perusahaan yang tidak jelas asal-usulnya seperti ini. ”Saya merasa seperti ditipu,” ujar pria yang bekerja di Vloan selama 11 bulan sejak Januari 2018.

https://cdn-assetd.kompas.id/Cpo2XJAiLpVo_sjWbb1VmyxxoSQ=/1024x863/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2F20190524-H19-MKP-Skema-Bisnis-Tekfin-mumed_1558708227.png

Terdesak target

Bersama tiga rekan kerjanya, IS dijebloskan ke penjara karena terjerat kasus konten pornografi yang mereka gunakan untuk menekan nasabah mengembalikan pinjaman di VLoan. IS berdalih, dia bersama tiga rekannya hanya berupaya untuk memenuhi target perusahaan.

Mereka termasuk dalam tim penagih utang khusus bagi nasabah yang telah menunggak hingga lewat 60 hari dari jatuh tempo. Kebanyakan dari nasabah tersebut memiliki total utang plus bunga dan denda keterlambatan hingga Rp 3 juta-Rp 4 juta per orang. Jumlah itu membengkak dari utang pokok nasabah yang berkisar Rp 1 juta-Rp 1,2 juta.

Iklan

Nasabah yang menunggak lewat 60 hari itu, lanjut IS, adalah orang-orang yang sulit untuk dihubungi, baik pesan singkat maupun telepon. ”Kami telepon dan kirim pesan singkat itu sebenarnya ingin berkomunikasi dengan nasabah. Kenapa terlambat bayar? Mampunya bayar berapa dulu? Kami terima kok, pembayaran utang dicicil bertahap,” ujar IS.

Baca juga: Jerat Massal Tekfin Ilegal

Di sisi lain, perusahaan VLoan memberi IS target agar dapat menagih utang setidaknya dua nasabah setiap hari. Jika tidak berhasil memenuhi target, kinerjanya akan dinilai buruk perusahaan dan bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja.

”Target ini berat. Namanya nasabah sudah menunggak 2 bulan lebih, kan, pasti dia sembunyi. Susah dihubungi. Lalu bagaimana cara kami harus menagihnya? Kami akhirnya jadi menghalalkan segala cara,” keluh IS.

Didesak target, akhirnya tim penagih utang itu menempuh cara tidak terpuji. Mereka membuat grup Whatsapp berisi nasabah penunggak dan kontak teman-temannya dari ponsel nasabah. Di dalam grup itu, para penagih utang lalu menyebarkan konten pornografi untuk mengintimidasi nasabah penunggak agar segera melunasi pinjaman.

Ditagih dengan cara tersebut, tiga nasabah, yakni IW, SN, dan MD, lalu mengadu ke Badan Reserse Kriminal Polri. IS bersama FJ (26), RS (27), dan WW (22) ditangkap polisi. Mereka terbukti melanggar undang-undang (UU) tahun 2008 tentang pornografi dan UU No 19/2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.

”Pelaku kami jerat dengan UU Pornografi dan ITE dengan ancaman hukuman maksimal 9 tahun penjara,” ujar Kepala Unit IV Subdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Silvester Simamora.

https://cdn-assetd.kompas.id/lgfmsISyqjwyrZOihZLauBQp8LM=/1024x1281/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20181214-Tekfin-Flash_1544779270.jpg

Manajemen buruk

Pengalaman tidak mengenakan bekerja di perusahaan tekfin bodong juga dirasakan An (24) yang sempat bekerja sembilan bulan sejak Oktober 2017 di aplikasi tekfin DT. An sering menemukan situs DT tak bisa diakses dan aplikasi tekfin DT hilang dari Google Play Store.

Saat bertanya kepada manajemen, mereka bilang aplikasi dan situs sedang dalam perbaikan. Namun, beberapa hari kemudian aplikasi dan situs mereka kembali beroperasi normal meski tampil dengan nama baru yang hampir mirip.

”Misalkan dulu nama aplikasi kami Mawar Merah. Nah, setelah hilang tiba-tiba muncul lagi dengan nama Mawar Putih. Manajemen bilang, perusahaan masih mencari bentuk tampilan bisnis,” ujar An.

Pada saat bersamaan, An membaca berita bahwa Satgas Waspada Investasi sudah menutup ratusan tekfin ilegal. An pun curiga aplikasi tempatnya bekerja adalah satu dari sekian banyak aplikasi itu. ”Saya jadi waswas, jangan-jangan perusahaan ini melanggar hukum,” ujar An.

Ia pun menyesali keputusannya yang segera menerima panggilan kerja dari DT. Baru lulus kuliah dari Program Studi Kriminologi Universitas Indonesia, An mencari lowongan pekerjaan di situs media sosial Linkedin. Tiba-tiba dia mendapat pesan singkat di media sosial itu dari manajemen DT.

An lalu menerima pekerjaan sebagai analis kredit di DT karena tawaran gajinya hingga Rp 6 juta per bulan, yang menurut dia lebih besar dari teman-temannya yang juga baru lulus sarjana. Selain itu, An juga merasa perusahaan asing bakal lebih memberikan prospek karier yang cerah untuknya.

An menerima pekerjaan sebagai analis kredit di DT karena tawaran gajinya hingga Rp 6 juta per bulan, yang lebih besar dari teman-temannya yang juga baru lulus sarjana

”Setelah saya alami semuanya, saya kapok bekerja di perusahaan yang tak jelas asal-usulnya,” ujar An.

Baca juga: Teror, Pelecehan, hingga Nyawa

Kini An sudah bekerja di sebuah lembaga negara dan sudah tidak lagi berhubungan dengan aplikasi tekfin DT. Ia pun berpesan kepada para pencari kerja agar berhati-hati dan teliti memilih tempat kerja agar jangan sampai menjadi karyawan di perusahaan ilegal.

Pakar digital forensik Ruby Alamsyah menilai, pemain tekfin yang tidak mau mengurus legalitas usaha hanya berpikir untuk keuntungan jangka pendek, bukan mencari kepastian usaha jangka panjang. Oleh karena itu, karyawan yang bekerja di tekfin ilegal juga berisiko untuk berhenti sewaktu-waktu.

Editor:
M Fajar Marta
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000