JAKARTA, KOMPAS— Kenaikan tarif penerbangan selama ini dinilai tidak biasa. Hal ini terefleksi dari lonjakan kontribusi tarif penerbangan terhadap inflasi hingga Mei 2019. Salah satu solusinya adalah mengefisienkan industri penerbangan.
”Biasanya, andil dari tarif penerbangan terhadap inflasi hanya 2-4 persen, dan itu hanya pada musim Lebaran ataupun akhir tahun,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, Senin (17/6/2019) malam, dalam rapat kerja Komisi XI DPR di Jakarta.
”Per Mei 2019,” kata Suhariyanto menambahkan, ”andil terhadap inflasi sudah naik lebih dari dua kali lipat, yakni 9 persen.”
Akibatnya, kata Suhariyanto, dari data BPS dapat disimpulkan, lonjakan tarif penerbangan mendera pariwisata. Okupansi hotel, misalnya, turun dari 57,4 persen menjadi 53,9 persen. Bahkan, jumlah penumpang angkutan udara per April 2019 turun 28,5 persen dibandingkan dengan April 2018.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, mengatakan, rencana pemerintah membuka izin penerbangan untuk maskapai penerbangan asing tidak otomatis menurunkan tarif pesawat. Sebab, masalah utama dalam industri penerbangan domestik adalah inefisiensi belum diatasi.
Tingkat keterisian maskapai penerbangan di Indonesia 78 persen, artinya lebih tinggi daripada titik impas tingkat keterisian (breakeven load factor/ BLF) maskapai Asia-Pasifik berkisar 67-69 persen.
”Akan tetapi, mengapa rugi? Maka, bisa dikatakan maskapai Indonesia tidak efisien,” ujar Nailul. Menurut Nailul, inefisiensi juga dapat disebabkan pembukaan rute-rute baru yang tidak menguntungkan.
Harga turun
Harga avtur, kata Nailul, juga kerap kali dikambinghitamkan. Padahal, harga avtur di Indonesia lebih murah daripada di Singapura dan Malaysia. Bahkan, harga avtur yang dijual PT Pertamina sudah turun 16 persen sejak November 2018 hingga kuartal I-2019 menjadi Rp 8.210 per liter.
Akibat mahalnya tiket penerbangan, keterpurukan pariwisata juga terjadi di sejumlah daerah, seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Banda di Maluku, Batam, Kalimantan Selatan, dan Batu di Jawa Timur.
”Hari ini, di Banda tidak ada wisatawan domestik. Wisatawan asing juga turun 50 persen. Penyebabnya, harga tiket pesawat yang dinilai mahal,” ujar Reza Tuasikal, pelaku pariwisata di Kepulauan Banda.
Berdasarkan penelusuran Kompas pada aplikasi penjualan tiket, harga tiket Jakarta-Ambon untuk Rabu ini dijual paling murah Rp 2,7 juta. Padahal, biasanya, harga tiket pada rute itu dijual Rp 900.000.
Di Batam, kedatangan wisatawan domestik merosot hingga 60 persen. Mahalnya tiket dalam negeri memicu warga untuk berlibur ke Singapura atau Malaysia.
”Kalau situasinya begini terus, banyak hotel dan restoran bangkrut,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia wilayah Kepulauan Riau Muhammad Mansyur.
”Kalau pemerintah tidak turun tangan mengatasi masalah harga tiket ini, rezeki pengusaha pariwisata habis dilibas Singapura dan Malaysia,” kata Mansyur.