Regulasi Lemah Jadi Celah Pelanggaran
JAKARTA, KOMPAS – Lemahnya regulasi yang mengatur teknologi finansial membuka celah bagi pelaku usaha pinjaman daring ilegal untuk terus beroperasi dengan menebar jerat bagi konsumen. Celah itu dimanfaatkan untuk penyalahgunaan data pribadi, penerapan bunga tinggi, hingga intimidasi terhadap nasabah.
Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, banyaknya nasabah yang mengalami tekanan akibat perlakuan perusahaan tekfin ilegal yang dibiarkan tanpa penegakan hukum menunjukkan masih lemahnya regulasi dan pengawasan. Untuk itu, perlu segera disusun regulasi untuk melindungi konsumen dan aktivitas tekfin ilegal.
Baca juga: Jerat Massal Tekfin Ilegal
Kebutuhan regulasi yang terkait tekfin antara lain mengenai tingginya bunga dan penyalahgunaan data pribadi. Saat ini, regulasi yang mengatur mengenai tekfin hanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Namun, peraturan OJK tersebut belum mengatur batas maksimal bunga pinjaman dan penyalahgunaan data pribadi.
“Bunganya tinggi sekali. Itu yang kita kritik karena OJK membebaskan pemberlakuan bunga. Jadi bunga itu diserahkan kepada masing-masing pelaku (asosiasi). Karena konsumen literasinya rendah maka akhirnya (bunga tinggi) jadi neraka bagi konsumen,” ujar Tulus Abadi, Selasa (18/6/2019).
Aplikasi tekfin ilegal menawarkan dana pinjaman dengan bunga 1-2 persen per hari atau 30-60 persen per bulan. Sebagai perbandingan, bunga dari aplikasi tekfin resmi maksimal 0,8 persen per hari atau 24 persen per bulan sedangkan bunga perbankan berkisar 12 persen per tahun atau 1 persen per bulan.
Aplikasi tekfin ilegal menawarkan dana pinjaman dengan bunga 1-2 persen per hari atau 30-60 persen per bulan
Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro dan Kecil Menengah,) Hermawati Setyorinny saat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (18/6/2019) menuturkan banyak UMKM yang menjadi korban tekfin ilegal. UMKM menjadi korban, karena mereka membutuhkan modal usaha dengan cepat, mudah termasuk tanpa agunan.
Meski pemerintah memiliki program Kredit Usaha Rakyat (KUR), menurut Hermawati, tidak sedikit UMKM yang kesulitan mendapatkannya. Hal itu terutama karena UMKM tak memiliki agunan atau tidak lolos cek Bank Indonesia.
Pengacara Publik LBH Jakarta Yenny Silvia Sari Sirait juga menilai, POJK 77/2016 belum menjangkau penanganan persoalan tekfin. Sebab, dalam POJK itu tidak ada penjelasan mekanisme penyelesaian sengketa konsumen dan pengembalian utang.
Padahal, sejak November 2018 hingga Maret 2019, LBH Jakarta sudah menerima aduan dari 3.019 warga terkait persoalan tekfin pinjaman antarpihak.“Perusahaan tekfin ini menggunakan cara-cara yang melanggar pidana untuk bisa menagih utang,” ucap Yenny.
Data pribadi
Tulus menambahkan, selain mengatur tekfin, Indonesia juga belum memiliki dasar hukum perlindungan data pribadi. Akibatnya, ada pihak yang memanfaatkan celah ini sehingga menyalahgunakan data pribadi nasabah. “Padahal, bisnis digital ekonomi ini kan berbasis data pribadi,” tutur Tulus.
Peminjam tekfin pinjaman daring, Tina (27), berharap ada aturan yang lebih jelas soal tekfin pinjaman daring. Sebab, selama ini penagih utang mampu mengakses data pribadi dari ponsel Tina, lalu dipergunakan untuk mempermalukan Tina ke teman-teman dan atasannya. Tak hanya malu, Tina juga kehilangan pekerjaan karena sang atasan tidak ingin berurusan dengan utang Tina.
Penagihan yang intimidatif kerap membuat nasabah merasa diteror dan depresi. Seperti yang dialami S (35), warga Banyuwangi, Jawa Timur. Karena jengah dikejar-kejar penagih utang, S ingin mengatur ulang ponselnya agar seluruh aplikasi tekfin terhapus.
Kepala Unit IV Subdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Silvester Simamora menjelaskan, aparat penegak hukum sejauh ini baru menindak pidana dari penagihan utang yang melanggar tindak pidana. Sebab, belum ada aturan hukum lebih luas yang mengatur soal tekfin ilegal ataupun soal pengaksesan data pribadi.
“Aparat penegak hukum itu bekerja sesuai undang-undang dan aturan hukum yang berlaku. Kalau memang belum ada aturannya, kami tidak punya dasar hukum untuk bertindak,” ucap Silvester.
Hingga saat ini, kepolisian baru satu kali mengungkap kasus yang berkaitan dengan tekfin ilegal. Terdakwa IS (31) bersama tiga orang rekannya ditangkap setelah dilaporkan nasabah akibat menagih utang secara kasar. Mereka menggunakan kontak telepon milik nasabah dan membentuk sebuah grup WhatsApp. Di dalam grup tersebut, para tersangka menyebarkan video porno dan mempermalukan nasabah.
Hingga saat ini, kepolisian baru satu kali mengungkap kasus yang berkaitan dengan tekfin ilegal
Karena belum ada UU Perlindungan Data Pribadi, Silvester mengatakan, para tersangka dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU Pornografi dengan ancaman 9 tahun penjara.
Ditemui terpisah di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, IS menerangkan, hakim beserta jaksa sempat berdebat terkait pasal yang akan disangkakan terhadap dirinya saat persidangan berlangsung. Menurut IS, majelis hakim tampak kebingungan mengidentifikasi ketepatan pasal yang digunakan jaksa untuk menjeratnya.
Pakar digital forensik Ruby Alamsyah menilai, sejumlah investor asing mulai masuk menjadi pemain tekfin ilegal di Indonesia dengan mencari keuntungan jangka pendek sehingga tidak mengurus legalitas. Mereka memanfaatkan celah dari masih lemahnya regulasi disertai rendahnya literasi masyarakat akan keuangan digital.
Salah satu tekfin asing yang mulai merambah pasar Indonesia berasal dari China. Mereka mulai mencari pasar ke negara lain menyusul kebijakan pengetatan tekfin pinjaman antarpihak di China sejak tahun lalu. South China Morning Post edisi 15 April 2019 melaporkan, jumlah tekfin pinjaman daring di China pada triwulan I-2019 tersisa 1.027 entitas. Jumlah ini merosot separuhnya ketimbang triwulan I-2018 sebanyak 2.163 entitas.
Di saat regulasi mengenai tekfin di Indonesia longgar, China justru menerapkan kebijakan tegas dengan melakukan reorganisasi bisnis tekfin resmi. Tindakan tersebut dilakukan karena ditemukan ada banyak kasus skema Ponzi yang berkedok pinjaman antarpihak. Sejak Agustus 2018 tidak ada pemain baru dalam bisnis tekfin pinjaman di China.
Supchina pada 27 Februari 2019 melaporkan bahwa hanya 60 persen dari total jumlah tekfin di China yang mau membuka anggaran operasional mereka. Kebijakan pembersihan tekfin pinjaman antarpihak di China membuat jumlah pinjaman yang disalurkan turun turun 55,1 persen menjadi Rp 194 milliar.
Berdasarkan data Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi, dari 803 tekfin ilegal yang ditutup per Maret 2019, sebanyak 178 perusahaan tekfin ilegal memiliki server di Indonesia, 122 perusahaan memiliki server di Amerika Serikat, 81 server di Singapura, 49 perusahaan memiliki server di China, dan sisanya tersebar di negara lain. Adapun lokasi 323 server milik perusahaan tekfin ilegal yang telah ditutup tidak diketahui.
Masih beroperasi
Belum adanya regulasi yang kuat juga memungkinkan tekfin ilegal untuk tetap beroperasi meskipun telah diblokir oleh Satuan Tugas Waspada Investasi. Mereka bersalin rupa dengan berganti nama dan logo aplikasi. Ada juga aplikasi yang masih dapat diunduh meskipun sudah ditutup.
Hingga April 2019, Satgas Waspada Investasi telah memblokir 947 entitas tekfin jenis pinjaman antarpihak (peer to peer lending) dalam bentuk daring yang tak berizin. Hasil temuan Kompas mengungkap, dari 947 tekfin yang ditutup , sebanyak 105 aplikasi di antaranya masih ada dan bisa diunduh.
Tidak hanya itu, masih ada aplikasi tekfin ilegal yang luput dari deteksi. Aplikasi yang beroperasi tersebut tidak masuk dalam daftar yang sudah diblokir pemerintah tetapi juga tidak tertera dalam daftar nama perusahaan tekfin resmi yang dirilis OJK secara berkala.
Pada rilis terakhir pertengahan Mei 2019, OJK mengumumkan 113 nama perusahaan tekfin resmi yang sudah mengantongi izin. Jika terdapat aplikasi yang beredar di luar nama yang tercantum dalam daftar tersebut maka dipastikan ilegal.
Dengan banyaknya persoalan tersebut, tekfin resmi pun terdampak perilaku tekfin ilegal yang bermasalah. Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengungkapkan, citra tekfin jadi buruk karena banyaknya persoalan terkait tekfin.
Baca juga : Rentenir Digital Berkeliaran
Padahal tekfin resmi selama ini mematuhi aturan yang berlaku, termasuk soal pembatasan akses data pribadi ke nasabah. Aplikasi tekfin hanya diperbolehkan untuk mengakses kamera dan mikrofon dari gawai nasabah, serta lokasi mereka. “Kalau ada tekfin yang mengakses kontak, itu masuk kategori pelanggaran berat,” ujar Kusersyansyah.
Sosialisasi
CEO Crowde & Co-Founder Crowde Yohanes Sugihtononugroho mengatakan, keberadaan tekfin ilegal merugikan perusahaan lain yang keberadaannya dicatat OJK. “Kami khawatir, masyarakat belum mampu membedakan. Padahal kami pengusaha yang sungguh menjalankan usaha dan sudah berizin otoritas,” tutur Yohanes.
Yohanes mengatakan, seluruh pemangku kepentingan harus terus menerus melakukan sosialisasi mana saja tekfin yang legal dan yang ilegal. Pendidikan literasi digital dan literasi keuangan pada masyarakat perlu dilakukan, agar warga tidak terjerat bunga mencekik dari pinjaman ilegal.
Selain itu, pihaknya berharap pemerintah mengeluarkan aturan yang jelas supaya terlihat mana perusahaan yang legal dan ilegal.
Baca juga : Penagih Utang Pun Mendadak Jadi Komisaris
Aidil Zulkifli, CEO & Co-Founder UangTeman, mengatakan, kehadiran tekfin ilegal sangat merugikan keberadaan perusahaan tekfin resmi yang tercatat OJK. “Keberadaan fintek illegal memberikan preseden buruk terutama karena praktik pengenaan biaya yang tinggi dan penagihan yang tidak beretika,” ujar Aidil, dihubungi Selasa (18/6/2019).
Ia mengatakan, pihaknya terus mendorong berbagai kegiatan sosialisasi agar masyarakat dapat lebih peka dan bijaksana ketika dihadapkan pada fintech yang menawarkan segala macam kemudahan untuk memperoleh pinjaman.
“Ketika berhadapan dengan fintech seperti ini, masyarakat perlu benar-benar memeriksa legalitas dan juga status terdaftar atau berizin dari OJK,” ujar Aidil
Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengimbau, masyarakat berhati-hati dalam memilih aplikasi tekfin sebelum mengajukan pinjaman tunai. Pinjaman sebaiknya diajukan ke aplikasi tekfin resmi yang daftarnya sudah dirilis oleh OJK secara berkala.
Sebab, jika mengajukan pinjaman ke sembarang aplikasi tanpa melihat legalitas dan kredibilitas bisnis tekfin tersebut, dapat merugikan konsumen itu sendiri. Selain itu, masyarakat juga perlu mempertimbangkan besaran bunga dan kemampuan melunasi pinjaman agar tidak terlilit utang.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Samuel Abrijani Pangarepan menyatakan bakal mengembangkan secara lebih komprehensif lagi UU Perlindungan Data Pribadi. Semuel merasa UU tersebut sangat mendesak di era digital saat ini, mengingat data seseorang bisa dipegang oleh siapa pun. Oleh sebab itu, pemerintah wajib mengawasi pihak-pihak yang menyimpan data pribadi agar tidak disalahgunakan. “Segera kami serahkan ke DPR,” kata Samuel.
(ANGGER PUTRANTO/ANITA YOSSIHARA)