Utusan Khusus Presiden RI Bahas Islam Wasatiyah di Vatikan
›
Utusan Khusus Presiden RI...
Iklan
Utusan Khusus Presiden RI Bahas Islam Wasatiyah di Vatikan
Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja sama Antaragama dan Peradaban Syafiq A Mughni bertemu Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (PCID) Mgr Miguel Angel Ayuso Guixot, di Vatikan, Senin (17/6/2019) waktu setempat.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
VATIKAN, RABU — Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja sama Antaragama dan Peradaban Syafiq A Mughni bertemu Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (PCID) Mgr Miguel Angel Ayuso Guixot di Vatikan, Senin (17/6/2019) waktu setempat.
KBRI Vatikan dalam keterangan persnya, Rabu (19/6/2019) WIB, mengabarkan, pertemuan kedua tokoh tersebut berlangsung akrab. Mereka mendiskusikan Deklarasi Abu Dhabi dan Islam wasatiyah.
Untuk mengawali pertemuan itu, Mgr Ayuso menjelaskan latar belakang dokumen bersejarah Human Fraternity for World Peace and Living Together (Persaudaraan Manusia bagi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama). Dokumen yang dikenal sebagai Deklarasi Abu Dhabi itu ditandatangani Paus Fransiskus dan Ahmad Al-Tayyeb, Imam Besar Al-Azhar Kario, 4 Februari 2019, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Mgr Ayuso, yang baru saja diangkat menjadi Presiden PCID, mengatakan, di tengah dunia yang sedang ”sakit” ini, menciptakan suasana persaudaraan dan kehidupan bersama yang harmonis mutlak diperlukan.
Menurut dia, dewasa ini dunia sedang menghadapi ”budaya saling menghina” (culture of insult) sehingga mutlak diperlukan upaya bersama dalam menciptakan harmoni di tengah masyarakat. Pesan ini perlu secara terus-menerus disampaikan kepada pemerintah semua negara untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, Syafiq menyampaikan upaya Pemerintah Indonesia melakukan penguatan Islam wasatiyah yang merupakan sebuah konsep Islam moderat. Menurut dia, sesungguhnya Islam itu sendiri adalah agama wasatiyah.
Mempromosikan wasatiyah berarti menekankan kembali karakter Islam yang mengajarkan toleransi, keseimbangan, keadilan, dan musyawarah.
Namun, kata Syafiq, ada sejumlah kelompok yang membawa Islam pada pemahaman dan pengamalan agama yang ekstrem (tatarruf atau ghuluw). Maka, mempromosikan wasatiyah berarti menekankan kembali karakter Islam yang mengajarkan toleransi, keseimbangan, keadilan, dan musyawarah.
Islam wasatiyah harus dipromosikan agar menjadi arus utama keagamaan umat Islam, baik di Indonesia maupun secara global. Ini akan menjadi kekuatan yang mampu menghentikan ekstremisme dan radikalisme, dan dengan demikian bisa menahan laju islamofobia.
Islam wasatiyah juga harus dikembangkan menjadi arus utama untuk menahan terjadinya clash of civilization. Wasatiyah menekankan prinsip-prinsip kemanusiaan yang bisa mempertemukan agama-agama tanpa mempersoalkan perbedaan.
Tantangan global
Pada Selasa (18/6/2019), Syafiq menjadi salah satu pembicara dalam seminar internasional ”Interreligious Dialogue: Perspectives from Asia” yang diselenggarakan di Universitas Urbaniana, Roma, Italia.
Saat berpidato pada seminar itu, Syafiq menyadari, dalam usaha untuk memaknai Deklarasi Abu Dhabi, ada tantangan global di depan mata, yakni perlombaan senjata, ketidakadilan sosial, korupsi, kesenjangan ekonomi, kemerosotan moral, terorisme, diskriminasi, dan ekstremisme.
Menurut dia, untuk menanggulangi tantangan-tantangan nyata tersebut, diperlukan dialog dan kerja sama internasional. Ia menyebut pendekatan berbasis komunitas (community-based approach), yang didasari empati, rasa percaya, cinta, dan harapan.
Partisipasi komunitas sangat penting sehingga upaya manipulasi agama untuk menimbulkan konflik dapat dihindari.
Dalam pendekatan berbasis komunitas ini ini, partisipasi komunitas secara menyeluruh sangat penting sehingga upaya manipulasi agama untuk menimbulkan konflik dapat dihindari.
Sementara itu, Mgr Ayuso dalam makalah yang dibacakan Wakil Desk Islam di Asia dan Pasifik Pastor Markus Solo SVD mengatakan, nilai-nilai dialog antaragama juga tecermin dalam Deklarasi Abu Dhabi, yakni penekanan atas pesan persaudaraan.
”Bahwa kita semua adalah bersaudara dengan dibangunnya jembatan agar berkomunikasi untuk memunculkan dan menjaga kesadaran toleransi dan meruntuhkan tembok-tembok rasa takut dan ketidakpedulian,” kata Mgr Ayuso.