Jalur China Mengikat Dunia
China memiliki jejak panjang dalam perdagangan dunia. Sebelum muncul Prakarsa Sabuk dan Jalan, China sudah memiliki jalan perdagangan yang menghubungkan dengan Persia, Suriah, Asia Kecil, dan India pada sekitar 2.100 tahun yang lampau.
Pola kerja sama China dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan menjadi sorotan dunia setelah sejumlah negara mitra terjerat utang pinjaman.
China memiliki jejak panjang dalam perdagangan dunia. Sebelum muncul Prakarsa Sabuk dan Jalan, China sudah memiliki jalan perdagangan yang menghubungkan dengan Persia, Suriah, Asia Kecil, dan India pada sekitar 2.100 tahun yang lampau. Komoditas yang diperdagangkan adalah tenun sutra.
Pada masa itu, bangsa China sudah bisa membuat kain sutra bermutu tinggi. Saat itu tenunan sutra dipakai sebagai salah satu alat pembayaran upeti atau pajak. Akibatnya, muncul jalur dagang membawa sutra melintasi Asia Tengah menuju Persia. Jalur ini kemudian dikenal dengan nama Jalur Sutra.
Lebih dari 2.000 tahun berlalu, Pemerintah China menggagas untuk menghidupkan kembali jalur tersebut. Pada 2013, China meluncurkan proyek Belt and Road Initiative (BRI) untuk meningkatkan kerja sama dan konektivitas dengan skala inter-kontinental.
Baca juga: Energi Baru China untuk Prakarsa Sabuk dan Jalan
Sebelumnya program ini disebut dengan One Belt One Road (OBOR), sebuah prakarsa pembangunan infrastruktur dan perjanjian perdagangan serta investasi antara China dan 70 negara lainnya.
Prakarsa ini memiliki potensi besar perdagangan dunia karena melibatkan perputaran 30 persen PDB dunia, 62 persen populasi global, serta 75 persen cadangan energi dunia. Selain infrastruktur, China juga berencana membangun lima puluh zona ekonomi khusus, layaknya Zona Ekonomi Khusus Shenzhen, yang dibentuk oleh pemerintahan Deng Xiaoping di China pada era 1980.
Prakarsa China dalam proyek Belt and Road Initiative ini dengan gagasan membangun pembangunan jalur kereta api dan jalan raya dari China ke negara-negara Skandinavia. Jalur ini juga menyasar jalan maritim atau jalur pelayaran yang akan menghubungkan wilayah Quanzhou dan Venice. Jelajah laut ini akan melewati berbagai pelabuhan, mulai dari Selat Malaka hingga Etiopia dan Mesir.
Dengan ambisi sebesar ini, biaya yang dibutuhkan tentu tidak sedikit. Jika ditotal, prakarsa ini bisa menelan biaya hingga lebih dari 8 triliun dollar AS. Hingga saat ini, dana yang telah digelontorkan China untuk membiayai proyek Belt and Road Initiative berada pada kisaran 200 juta dollar AS, dari komitmen sebesar lebih dari 1 triliun dollar AS. Dana ini disalurkan dalam bentuk investasi, hibah, dan utang ke negara-negara partner Prakarsa Sabuk Jalan untuk membantu mereka membiayai berbagai proyek infrastruktur.
Pasar baru
Proyek Belt and Road Initiative merupakan strategi pengembangan ekonomi China. Enam tahun terakhir, China menghadapi stagnasi pertumbuhan ekonomi. PDB China bahkan mengalami penurunan dari 7,9 persen pada 2012 menjadi 6,6 persen pada 2018.
Salah satu penyebab penurunan performa ekonomi China karena melambatnya ekspor barang-barang manufaktur padat karya yang selama ini mereka andalkan. Hal ini ditandai oleh kelebihan produksi dari beberapa industri China, seperti batubara, baja, dan semen.
Melalui pengembangan infrastruktur antarnegara, China membuka pasar ekspor baru untuk barang-barang produksinya. Selain itu, biaya untuk membangun infrastruktur di koridor-koridor ekonomi proyek Belt and Road Initiative ini dapat menjadi sarana China memutar cadangan devisanya.
Inti prakarsa perdagangan tersebut sebetulnya merupakan kerja sama bisnis dalam bentuk pinjaman, bukan bantuan.
Presiden China Xi Jinping meyakini proyek Belt and Road Initiative dapat mendorong pertumbuhan serta kestabilan ekonomi di beberapa provinsi yang kurang berkembang di bagian barat China, terutama Provinsi Xinjiang dan Tibet.
Menurut rencana yang ada, Provinsi Xinjiang didesain untuk menjadi koridor energi untuk Eurasia dan memancing investasi untuk mengeksplorasi cadangan energi yang masih tak tersentuh.
Sementara untuk Provinsi Tibet, rencana proyek Lingkar Ekonomi Himalaya (Himalayan Economic Rim) akan diselaraskan dengan koridor Bangladesh-China-India-Myanmar (BCIM). Inisiatif jalur tersebut diharapkan dapat memancing tumbuhnya perdagangan perbatasan antarnegara yang difokuskan pada sektor pariwisata serta peternakan.
Tidak hanya dari sisi ekonomi, pengembangan kedua wilayah tersebut diharapkan juga dapat berimbas pada geopolitik. Dua wilayah tersebut, yaitu Tibet dan Provinsi Xinjiang, sering disorot masyarakat dunia terkait dengan dugaan diskriminasi hingga pelanggaran HAM oleh Pemerintah China.
Utang
Inti prakarsa perdagangan tersebut sebetulnya merupakan kerja sama bisnis dalam bentuk pinjaman, bukan bantuan. China menawarkan paket bantuan berupa investasi serta pinjaman kepada negara-negara lintasan untuk membangun berbagai infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang konektivitas.
Namun, tidak semua negara memiliki modal yang cukup untuk membuat proyek-proyek jalan tol, pelabuhan, serta terminal laut. Beberapa negara tersebut terancam gagal melunasi utang atau default.
Kondisi ini akhirnya memaksa mereka untuk menggadai aset negara untuk digunakan oleh China. Contoh nyata kasus ini terjadi saat China mendapat hak untuk menguasai Hambantota Port, pelabuhan strategis di selatan Sri Lanka akhir 2018 lalu.
Enam tahun terakhir, China menghadapi stagnasi pertumbuhan ekonomi. PDB China bahkan mengalami penurunan dari 7,9 persen pada 2012 menjadi 6,6 persen pada 2018.
Negara yang paling rawan terlilit utang akibat proyek Belt and Road Initiative (BRI) ialah Pakistan. Untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur terkait dengan BRI, seperti pelabuhan Gawadar, pembangkit listrik Karot, jalan tol dan jalur kereta api, China memberikan suntikan dana dengan besaran sekitar 60 miliar dollar AS dalam bentuk utang dan investasi.
Namun, dengan kondisi perekonomian negaranya saat ini serta perjanjian dengan China yang dinilai cukup memberatkan, Pakistan terancam tidak dapat mengembalikan pinjamannya kepada China sebesar 27 miliar dollar AS.
Beberapa negara lainnya pun terancam hal serupa. Negara-negara yang termasuk ke dalam kategori rentan default ialah Laos, Maladewa, Mongolia, Kirgistan, Djibouti, Montenegro, dan Tajikistan. Nilai utang mereka kepada China beragam, mulai dari 0,5 miliar dollar AS hingga 7,6 miliar dollar AS.
Indonesia
Banyaknya negara yang berada di zona merah utang ini memicu kekhawatiran terhadap skema kerja sama yang ditawarkan China. Beberapa pihak yang terlibat perjanjian dengan China mulai mencermati skema pinjaman.
Indonesia juga memiliki kerja sama proyek Belt and Road Initiative. Kerja sama tersebut tertuang dalam 28 kerja sama yang tersebar di koridor Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Maluku, dan Bali.
Terdapat lima kontrak kerja sama yang telah ditandatangani dengan Indonesia. proyek-proyek tersebut adalah pengembangan hydropower di Kayan, Kalimantan Utara, senilai 2 miliar dollar AS dan proyek industri konversi ethercoal menjadi gas senilai 700 juta dollar AS.
Selain itu, ada pula perjanjian joint venture pembangkit listrik tenaga air di Sungai Kayan senilai 17,8 miliar dollar AS, joint venture pengembangan pembangkit listrik di Bali senilai 1,6 miliar dollar AS, dan pengembangan smelter baja senilai 1,2 miliar dollar AS.
Baca juga: Dari Colombo Plan, Prakarsa Sabuk Jalan, hingga Poros Maritim
Selain berupa pinjaman, catatan lain dari pola kerja sama ini adalah dominasi peran China. Pembangunan infrastruktur di Indonesia yang didanai oleh China mensyaratkan bahwa tahap perancangan hingga pembangunan proyek dilaksanakan dengan menggunakan teknologi, material, dan tenaga kerja dari China.
Model kerja sama ini disebut dengan istilah Turnkey Project Management. Hal ini merupakan model investasi yang diajukan oleh China dengan sistem satu paket, mulai dari manajemen atas, pendanaan dengan sistem Preferential Buyer’s Credit, material dan mesin, tenaga ahli, hingga tenaga kerja dari China.
Idealnya, sebuah kerja sama dibangun dapat menguntungkan kedua belah pihak. Munculnya kerja sama dengan pihak luar negeri menjadi harapan untuk dapat menyerap sebanyak-banyaknya tenaga kerja lokal. Melalui skema ini, dampak kerja sama dapat dirasakan oleh masyarakat luas dan tidak menjadi jerat yang mengikat bagi Indonesia. (LITBANG KOMPAS)