JAKARTA, KOMPAS—Meningkatnya permintaan pangan global, penurunan produksi tanaman biji-bijian, dan perubahan iklim telah mengancam stabilitas sistem pangan pada skala nasional hingga global. Keberagaman budi daya tanaman terbukti menjadi solusi paling efektif untuk meningkatkan produksi dan ketahanan pangan nasional.
Studi yang dilakukan Delphine Renard dari Universitas California Santa Barbara, Amerika Serikat dan David Tilman dari Universitas Montpellier, Perancis dipublikasikan di jurnal Nature pada Kamis (20/6)/2019. Kajian dilakukan dengan membandingkan panen tahunan 176 jenis tanaman di 91 negara selama lima dekade.
"Memastikan pasokan makanan yang stabil adalah tantangan yang membutuhkan banyak solusi. Hasil kajian kami menunjukkan bahwa peningkatan keanekaragaman budi daya tanaman paling efektif untuk mengatasi tantangan ini," sebut Renard dalam papernya.
Memastikan pasokan makanan yang stabil adalah tantangan yang membutuhkan banyak solusi.
Peneliti membandingkan dan mengkombinasikan variabel keberagaman budi daya tanaman dengan beberapa perlakuan lain yang biasa dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan nasional, di antaranya perbaikan irigasi dan peningkatan intensitas tanam. Variabel lain yang dipakai di antaranya ketidakpastian suhu dan penguapan, yang terkait dengan curah hujan.
Hasilnya, semakin beragam tanaman yang dibudidayakan, maka stabilitas atau ketahanan pangan suatu negara semakin kuat. Jika perubahan iklim semakin meningkatkan krisis air, maka negara yang membudidayakan tanaman secara beragam risiko defisit pangannya berkurang. Hal ini karena keberagaman budi daya pangan, bisa menutupi penurunan panen jenis tanaman tertentu melalui jenis tanaman lain yang lebih tahan kekeringan.
Dalam kajian ini disebutkan, ketahanan pangan akan semakin meningkat jika budi daya yang beragam dikombinasikan dengan perbaikan irigasi. Namun, budi daya ragam tanaman juga sangat berguna di negara-negara dengan irigasi terbatas. Petani dapat menstabilkan pendapatan keluarga dan pasokan makanan melalui keanekaragaman tanaman yang lebih tinggi.
Analisis menggunakan data nilai ekonomi dari seluruh panen di tiap negara juga menunjukkan, kestablian ekonomi dari sektor pertanian juga lebih terjamin jika menerapkan diversifikasi budi daya tanaman. Kajian lebih lanjut ke depan direkomendasikan melihat kaitan antara keberagaman budi daya dengan pemenuhan nutrisi dan kerentanan terhadap gizi buruk.
Penyeragaman
Praktik budi daya tanaman secara beragam sebenarnya telah lama diterapkan berbagai masyarakat adat di Indonesia. Namun demikian, praktik ini semakin tergusur dengan tren penyeragaman pangan ke padi yang dimulai sejak penerapan Revolusi Pertanian pada era Orde Baru.
Masyarakat adat yang masih menerapkan pola budi daya pangan secara beragam terbukti juga lebih berdaulat pangan dan mampu memenuhi kebutuhan nutrisi. Misalnya, masyarakat adat Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, hingga saat ini masih menanam beragam sumber pangan seperti jewawut, sorgum, jagung lokal, selain padi lokal.
Dengan menanam ragaman pangan ini, masyarakat Boti bisa memenuhi pangan sendiri. Bahkan, menurut Kepala Desa Boti, Balsasar Benu, di Boti tidak ada kasus gizi buruk dan tubuh pendek karena kurang gizi kronis atau tengkes (stunting). Padahal angka tengkes di Kabupaten TTS pada tahun 2017 menurut data Kementerian Kesehatan 53,4 persen, salah satu yang tertinggi di Indonesia (Kompas, 14 Mei 2019).
Kajian terpisah oleh Food and Agriculture Organization (FAO) bersama National University of Singapore/NUS (2018) menunjukkan, ketergantungan pada beberapa tanaman memiliki konsekuensi negatif bagi ekosistem, keanekaragaman makanan dan kesehatan manusia. Sagu yang merupakan tanaman asli Indonesia, menjadi salah satu sumber pangan yang direkomednasikan untuk menjawab kebutuhan pangan ke depan.
Sagu diketahui sebagai jenis tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi sangat baik dan tidak dipengaruhi oleh musim ataupun perubahan iklim (Batacut T, 2014). Dia bisa tumbuh dan berproduksi di lahan marjinal ketika tanaman lain tidak bisa tumbuh. Produktivitasnya lebih dipengaruhi oleh jenis dan usia, bukan oleh musim.Tanaman sagu bisa menghasilkan pati empat kali lebih banyak daripada beras, yaitu sekitar 200 kilogram per batang.