Jakarta Berubah, Berubah Jakarta
Pengembangan kota Jakarta bukan sekedar perubahan fisik kota, namun juga cara pandangnya. Butuh partipasi masyarakat Jakarta untuk membuat wajah baru Ibu Kota yang selaras dengan warganya.
Bagi Jakarta, memoles wajah kota dengan pembangunan bermacam infrastruktur mungkin jauh lebih mudah dibandingkan harus membiasakan masyarakat hidup dalam kebiasaan disiplin dan tanggung jawab. Kota merupakan ruang yang harus dibangun selaras dengan memperhatikan beragam aspek termasuk warga yang tinggal di dalamnya.
Sebagai kota megapolitan dengan jumlah penduduk lebih 10 juta jiwa, dinamika Jakarta tumbuh bukan hanya dalam lanskap bangunan modern namun juga kompleksitas persoalannya. Laporan Oxford Economics berjudul Global Cities 2018 memprediksikan Jakarta akan menjadi kota penduduk terbesar di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 38 juta jiwa pada tahun 2035.
Baca juga: Menimbang Pemisahan Fungsi Ibu Kota
Semakin bertambah penduduknya, problematika kota juga akan lebih dinamis. Dua sisi yang bisa dilihat dari pertumbuhan penduduk yang begitu masif mengindikasikan kota ini begitu potensial untuk berkembang atau justru ledakan populasi ini menjadi akar berbagai persoalan.
Jakarta harus mampu berdamai dengan warganya dan menempatkan sebagai kekuatan pertumbuhan, bukan justru berbalik menjadi ancaman yang dapat menghambat kemajuan.
Ragam persoalan seperti kemacetan, banjir, hingga aspek sosial semisal pengangguran, kriminalitas, hingga hunian bukanlah hal baru lagi. Selalu ada upaya untuk melakukan perubahan dalam menyelesaikan masalah-masalah kota tersebut.
Kemacetan
Seperti halnya masalah kemacetan di Jakarta yang sudah menjadi momok keseharian. Bulan Oktober 2017, Kompas pernah merilis hasil jajak pendapat kepada 413 responden tentang persoalan kota di Jakarta. Hasil survei menangkap, persoalan transportasi terkait angkutan publik, kemacetan, dan lain sebagainya menjadi hal yang paling mendesak untuk diselesaikan.
Data dari Kementerian Perhubungan mencatat setidaknya ada sekitar 23,4 juta kendaraan yang setiap hari lalu lalang termasuk dari wilayah penyokong sekitar Jakarta. Namun bukan berarti persoalan rumit ini tidak bisa terurai.
Di harapkan dengan beroperasinya proyek MRT dan LRT, pengguna angkutan publik di Jakarta bisa mencapai 60 persen pada 2029 nanti.
Perlahan upaya perubahan terus dilakukan untuk membentuk tatanan transportasi yang nyaman dan layak. Selain memberlakukan kebijakan ganjil genap, layanan bus transjakarta dan kereta rel listrik terus ditingkatkan baik dengan memperbanyak koridor maupun armada. Awal tahun 2018 lalu, Kementerian Perhubungan menyatakan pengguna angkutan publik di Jakarta baru mencapai 40 persen atau sekitar 4,2 juta orang.
Meski demikian, kebijakan ini sedikit banyak memberikan dampak positif terhadap penguraian kemacetan. Tanggal 16 Juni 2019, sebuah lembaga pengukur kepadatan kendaraan di kota-kota dunia bernama Tom Tom Traffic Index merilis indeks kemacetan Kota Jakarta untuk periode tahun 2018. Hasilnya, kemacetan di Jakarta turun hingga delapan persen dan menempatkan Jakarta turun tiga level menjadi posisi ke tujuh sebagai negara termacet di dunia.
Moda Raya Terpadu
Kehadiran moda transportasi massal menjadi harapan solusi kemacetan panjang Ibu Kota. Setelah transjakarta, kereta komuter, tahun ini Moda Raya Terpadu (MRT) memberikan semangat baru bagi Jakarta untuk semakin berbenah lebih baik.
Selain MRT, Ibu Kota juga sedang menanti kelahiran moda Lintas Raya Terpadu (LRT) yang direncanakan akan beroperasi pada pertengahan tahun 2019. Di harapkan dengan beroperasinya proyek MRT dan LRT, pengguna angkutan publik di Jakarta bisa mencapai 60 persen pada 2029 nanti.
Membawa tagline “Ubah Jakarta” hadirnya MRT pada 24 Maret 2019 memiliki makna luas untuk membawa Jakarta menjadi lebih baik. Perubahan ini bukan sebatas milik penumpang MRT yang jalurnya membentang dari Lebak Bulus – Bundaran HI, tetapi ke seluruh penjuru Jakarta .
MRT yang canggih dan modern menjadi wadah yang bijak bagi untuk mengedukasi masyarakat. Untuk tujuan tersebut tidak berlebihan pula jika ada banyak aturan yang sangat rinci untuk diterapkan.
Kereta MRT memiliki keunggulan kecepatan dan ketepatan untuk waktu tempuh. Penumpang kereta inipun harus tertib pada jadwal kereta yang sudah ditetapkan. Tidak ada lagi istilah terlambat karena kereta akan datang dan berangkat tepat waktu.
Lain dari itu, MRT juga membuat sistem layanan tiket mandiri, antrean keluar masuk kereta, hingga larangan merokok, membawa makanan dan membuang sampah diterapkan dengan tegas. Pelanggar pun akan dikenai sanksi ringan sampai pemberian denda.
Semua itu dilakukan untuk mewujudkan kenyaman bersama dan yang lebih penting menjadi wadah untuk mengedukasi mental berdisiplin masyarakat dan menjaga fasilitas publik. Bagi banyak orang Jakarta, kenyamanan naik MRT mungkin memberikan pengalaman baru menggunakan transportasi massal. Tidak ada sebelumnya angkutan publik yang memberlakukan aturan seketat itu.
Integrasi
Kemunculan MRT dengan semangat perubahan juga menjadi momen untuk menggaung mobilitas yang terintegrasi dengan konsep Transit Oriented Development (TOD). Persoalan klasik kemacetan perlu diselesaikan dengan mengubah perilaku mobilitas yang tidak lagi bergantung pada kendaraan pribadi. TOD menjadi salah satu jawaban untuk mewujudkan akses transportasi umum yang saling terhubung dengan kemudahan akses.
Bukan hanya moda tranportasi, desain MRT juga mencakup penataan kawasan di sekitar. Setidaknya sudah ada 12 titik lokasi yang dipersiapkan untuk dikembangkan sebagai kawasan TOD.
Pemerintah yang bekerjasama dengan pihak pengembang terus berupaya mewujudkan konsep integrasi ini. Konsep ini diharapkan dapat terealisasi sesuai dengan kaidah kawasan terintegrasi yang mengedepankan keramahan bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda.
Untuk mengubah kebiasaan jalan kaki warga kota, tentu ketersediaan dan kelayakan jalur pedestrian harus disediakan dulu. Indonesia memang dikenal sebagai negara yang malas untuk berjalan kaki. Tahun 2017, penelitian asal Stanford yang terbit di Jurnal Nature menyebut rata-rata langkah kaki orang Indonesia perhari hanya 3.513 langkah. Jauh di bawah Hongkong sebagai negara paling rajin berjalan kaki (rata-rata 6.800 langkah per hari).
Pemerintah Provinsi Jakarta begitu gencar memperbaiki sarana pejalan kaki. Melalui ini, pembiasaan orang untuk berjalan kaki diharapkan dapat tumbuh lebih tinggi. Selama tahun 2018-2019 Dinas Bina Marga DKI Jakarta menargetkan akan merevitalisasi tidak kurang 160 km trotoar. Tahun 2018, sudah sekitar 80 km jalur pedestrian terbentang apik dengan kualitas berstandar untuk kenyamanan pejalan kaki, termasuk para disabilitas.
Partisipasi
Pembangunan kota melalui MRT, LRT, jalur pedestrian, ataupun membangun kawasan TOD hanyalah sebagian kecil dari upaya nyata perubahan yang terus diusahakan kota Jakarta. Walau masih terbelit beragam persoalan, pesona Ibu Kota tetap menarik bagi pendatang. Persoalan lain menyangkut kesejahteraan, hunian, ekonomi, sosial, pendidikan dan setiap lini denyut kehidupan kota ini yang juga sedang diupayakan untuk menjadi lebih baik.
Banyak penduduk dari luar daerah tiap tahun mencoba mengadu nasib di Jakarta. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta mencatat, dalam kurun empat tahun terakhir sedikitnya tiap tahun ada 60 ribu pendatang baru masuk Jakarta.
Predikat sebagai pusat pemerintahan dan pusat perekonomian membuat magnet bagi kota Jakarta. Tidak dipungkiri, atribut tersebut membuat perputaran uang dan upah buruh di Jakarta lebih tinggi dari wilayah lain di Indonesia.
Data BPS menyebutkan rata-rata upah buruh secara nasional per Februari 2018 Rp 2.654.070,- tiap bulan. Sementara rata-rata upah buruh di DKI Jakarta mencapai Rp 4.156.334,- tiap bulan, tertinggi dibandingkan provinsi lain.
Hasil survei Kompas menangkap, persoalan transportasi terkait angkutan publik, kemacetan, dan lain sebagainya menjadi hal yang paling mendesak untuk diselesaikan.
Beban penduduk yang terus bertambah bagi Jakarta menuntut partisipasi warganya dalam pengembangan kota. Modal untuk mewujudkan kemajuan kota harus ditopang dengan keselarasan perubahan antara fisik kota dan perilaku warganya.
Kalo bukan warganya siapa lagi yang akan menjaga dan merawat Jakarta. Mulailah untuk mengubah wajah Jakarta dengan hal-hal kecil yang mungkin dianggap sepele seperti tidak membuang sampah sembarangan, disiplin dan menjaga fasilitas publik di lingkungan sekitar.
Sebagus apapun infrastruktur yang dibangun, tidak akan berdampak besar jika tanggung jawab publik atas fasilitas bersama ini masih sangat kecil. Perubahan kota Jakarta harus seturut dengan pembiasaan warganya untuk berperilaku lebih bertanggung jawab dan disiplin. Jika sudah begitu, bukan hal mustahil untuk dapat mewujudkan cita-cita bersama – Jakarta sebagai kota maju dengan warga yang berbahagia. (LITBANG KOMPAS)