Ancol: Mewujudkan Mimpi di Bekas Rawa
Sejak abad ke-17, kawasan Ancol sudah menjadi ikon wisata. Bahkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda A Valckenier memiliki rumah peristirahatan di sana. Tahun 1962, Presiden Soekarno menggagas pembangunan Proyek Ancol sebagai pantai wisata bagi warga Jakarta. Seluas 552 hektar rawa-rawa, empang, dan semak belukar ditimbun guna merealisasikan proyek ini.
Mereka yang lahir tahun antara 1960-an dan 1970-an mungkin pernah mendengar lagu ”Ke Bina Ria”, yang dinyanyikan oleh duet Titiek Sandhora dan Muchsin Alatas. Liriknya seperti ini,
Kemanakah sayang/ Tujuan kita pergi bergembira/ Malam ini, bergembira malam ini
Terserah padamu/ Ke mana engkau mau/ Bilang dulu sama ibu/ Bilang dulu sama ibu
Bagaimana kalau/ Kita ke Bina Ria/ Banyak pengunjungnya/ Melantai di sana
Dengan hati rela/ Ku pergi bersama/ Tapi jangan lupa kembali segera
Marilah bersama kita ke Bina Ria/ Bergembira malam ini/ Bergembira malam ini
Menceritakan Pantai Bina Ria, Ancol, tidak dapat dilepaskan soal sejarah kawasan Ancol. Sejak abad ke-17, Ancol sudah menjadi daerah wisata. Pada masa itu, di kawasan pantainya banyak berdiri rumah peristirahatan kaum elite bangsa Belanda.
Bahkan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda A Valckenier memiliki rumah peristirahatan yang besar dengan taman yang luas. Sayangnya, wabah penyakit malaria melanda daerah itu sehingga Ancol ditinggalkan oleh penghuninya.
Kawasan Ancol kembali menjadi perhatian pemerintah Soekarno pada awal tahun 1960-an, selain tentunya Pantai Sampur dan Cilincing yang menjadi lokasi wisata warga Jakarta saat itu. Pada Agustus 1965, Soekarno bersama WPM III/Menko Pembangunan Dr Chairul Saleh dan Menteri/KCI Jakarta Raya Mayjen Dr Sumarno melakukan penelitian terhadap rencana menara yang akan dibangun dalam proyek Ancol, yang juga akan dilengkapi dengan rumah makan berputar.
Proyek Ancol telah dimulai sejak tahun 1962 dengan menggandeng pihak kontraktor Perancis Compagnic Industriale de Travaux (Citra). Pengurukan rawa dan empang yang menjadi lokasi proyek itu selesai pada Februari 1966. Proyek ini akan membangun tempat pemandian, hotel, akuarium, perumahan, dan menara setinggi 280 meter yang sekaligus berfungsi sebagai menara televisi.
Pembebasan tanah seluas 552 hektar dikerjakan, membentang dari timur ke barat sepanjang pantai, di sebelah timur berbatasan dengan Tanjung Priok, di sebelah barat dengan Pelabuhan Pasar Ikan dan di sebelah selatan dengan Kanal Ancol, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1960.
Proyek Ancol dijadikan proyek mandataris, yaitu proyek yang langsung di bawah kendali presiden. Hal ini untuk mencegah adanya hambatan politis dari kelompok yang berseberangan dengan presiden. Bung Karno sendiri terobsesi untuk memberikan tempat wisata, di mana rakyatnya dapat menikmati indahnya pantai, di bawah pepohonan dan desir angin nyiur melambai.
Penimbunan rawa-rawa, empang dan semak belukar dilakukan dengan cara menyemprotkan lumpur atau tanah pasir yang disedot dari laut. Pekerjaan ini menghabiskan waktu sekitar 42 bulan. Jumlah material yang digunakan mencapai 12,5 juta meter kubik. Zonasi pembangunan dilakukan, menjadi daerah dagang (93 hektar), industri (38 hektar), perumahan (171 hektar), dan semisosial (43,6 hektar). Sisanya untuk jalan, lapangan, serta penghijauan.
Presiden Soekarno memilih 12 jenis pohon, antara lain pohon saputangan, mahoni, kigelia pinnata (atamimi), sawo kecik, tanjung, dan keri payung untuk ditanam di pantai Ancol atas saran dari I Made Taman, seorang ahli botani di Bogor. Pohon-pohon tersebut berdaun rimbun, berbunga indah, tidak mudah rontok dan tahan angin.
Sejak tahun 1966, proyek Ancol tidak mendapat kredit dari Bank Dagang Negara dan tidak punya lagi dana untuk meneruskan kegiatannya. Karena tidak ingin menjadi proyek yang telantar, sejak September 1966 Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin menggandeng dan menyerahkan tugas membangun serta menyelesaikan proyek ini kepada PT Pembangunan Jaya.
Selain itu, proyek Ancol juga dibantu oleh beberapa ibu pejabat pada era pemerintahan Soekarno, seperti Ibu Chairul Saleh, Ibu Soenarso SH, Ibu Tung, Ibu Soemarno (istri gubernur pertama DKI), Ibu Soelasikin Moerpratomo, dan Ibu Hanondo. Kelompok ibu pejabat itu membentuk sebuah yayasan bernama Yayasan Bina Ria dan melakukan pengumpulan dana. Saat itu terkumpul dana Rp 1,5 juta. Suatu hal yang luar biasa saat krisis perekonomian nasional dan politik 1965. (Buku Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol, Juni 2010, hlm 49-50).
Pada hari Minggu, 25 Juni 1967, Ali Sadikin meresmikan tempat Rekreasi Bina Ria Ancol. Upacara peresmian berlangsung di restoran Amartapura. Warga Jakarta berduyun-duyun menghadiri acara itu sekaligus ingin merasakan tempat rekreasi alam yang baru dibuka untuk umum. Para pedagang menggelar dagangannya, seperti es buah, es krim, dan mi, dan langsung habis terjual.
Untuk memeriahkan acara, digelar beberapa atraksi, seperti lomba renang jarak 1.000 meter, demonstrasi ski air, demonstrasi mobil amfibi, akrobat, gadis plastik, dan band musik. Dengan diresmikannya Bina Ria, Ir Ciputra, Direktur PT Pembangunan Jaya, mulai memasarkan penjualan kavling tanah untuk daerah industri, perumahan, dan pusat rekreasi (Kompas, Senin, 26/6/1967, hlm 2).
Ada kejadian lucu seusai upacara peresmian ”Taman Rekreasi Bina Ria Ancol”. Bang Ali yang mengenakan pakaian sipil, kacamata hitam, dan bertopi rumput murahan sempat ditegur oleh aparat keamanan untuk tidak duduk di kursi undangan. Untungnya, ada seorang panitia yang bisa menjelaskan hal itu sekaligus minta maaf kepada gubernur atas kejadian tadi.
Hiburan pantai
Tempat hiburan baru di tepi pantai langsung menjadi tujuan wisata warga Jakarta, selain Pantai Sampur dan Pantai Cilincing. Sambil menikmati angin laut, kondisi pasir putih yang terjaga dan fasilitas parkir yang ada menjadi salah satu alasan berkunjung ke Bina Ria. Pengelola juga menyediakan tenda-tenda yang bisa disewa dengan harga Rp 100 per jam dan pengunjung dilarang membawa tenda sendiri.
Faktor keamanan pun dijamin dengan adanya hansip yang bertugas secara bergilir. Karcis masuk ke lokasi ini, Rp 10 untuk orang dewasa, Rp 5 untuk anak-anak; Rp 50 untuk mobil; Rp 10 untuk motor dan bemo, serta sepeda Rp 5. Soal kebijakan larangan membawa tenda sendiri sempat menuai protes, terutama dari pengunjung yang membawa keluarga.
Di awal beroperasinya, dua wisatawan tenggelam yang dugaan awalnya diperkirakan karena arus dan ikan buas. Untuk memberi rasa aman, pada awal November 1967, beberapa anggota Kopaska (Komando Pasukan Katak) KKO AL meledakkan sekitar 30 dinamit di sejumlah tempat di kedalaman 3-5 meter di sekitar kawasan pantai Bina Ria. Akibatnya, ratusan ikan kecil, besar mengapung, mati, dan tidak ditemukan jenis ikan yang berbahaya.
Jadi, kemungkinannya karena arus laut. Karena itu, pengelola memasang beberapa tonggak peringatan yang menandakan 2 meter di depannya merupakan daerah bahaya arus lautnya.
Untuk menggiatkan promosi wisata pantai, digelarlah acara pertama kalinya di Indonesia, yaitu pemilihan Ratu Pantai pada 25 Oktober 1969 di Pantai Hiburan Bina Ria Ancol. Selain penilaian segi fisik peserta, soal wawasan pengetahuan dan kecintaan pada laut serta kemampuan berenang juga menjadi penilaian dewan juri. Pemenangnya mendapat hadiah bebas masuk Bina Ria pada waktu-waktu tertentu, wisata ke Bali, dan pemenang pertama mendapatkan tiket ke Singapura.
Memeriahkan perayaan HUT ke-442 Jakarta, Minggu (29/6/1969), dilangsungkan beragam lomba, seperti renang jarak dekat-jauh, perahu layar, perahu dayung, dan lomba nyanyi kanak-kanak di tepi Pantai Bina Ria.
Pihak pengelola terus melengkapi Bina Ria dengan berbagai fasilitas hiburan dan rekreasi. Sebuah arena balap kendaraan bermotor sepanjang 3.590 meter, lebar 7-10 meter dengan sembilan tikungan tajam dibangun di sekitar kawasan pantai. Perlombaan Jaya Ancol Motor Race I yang diikuti 150 pembalap motor asal Indonesia digelar 11-12 Oktober 1969 di sirkuit itu.
Bioskop ”drive in” Ancol
Sarana hiburan yang juga dibangun di Bina Ria Ancol adalah sebuah bioskop out door yang dikenal dengan sebutan drive in cinema. Secara umum pengertiannya adalah penonton dengan menggunakan mobil dapat menikmati film di alam terbuka yang ditayangkan lewat layar berukuran raksasa. Konsep ini sudah menjadi tren di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia kala itu.
Pembangunannya dimulai 1 April 1970 di atas tanah seluas 5 hektar dengan biaya Rp 280 juta yang sepenuhnya ditanggung oleh PT Pembangunan Jaya. Tempat parkir mobilnya mampu menampung 850 mobil atau seluas 40.000 meter persegi, serta sebuah play ground yang dapat menampung 400 tempat duduk.
Tempat parkir mobilnya bisa jadi tempat duduk penonton dan dibuat dengan lapisan aspal bergelombang sedemikian rupa sehingga mobil yang parkir terarah ke layar menurut sudut yang dikehendaki pengemudinya. Deretan mobil diatur sehingga sewaktu-waktu dapat keluar tanpa mengganggu mobil yang lain.
Untuk mendengarkan suara dari film, terdapat tiang-tiang tempat menggantungkan dua buah pengeras suara. Bagi tiap mobil disediakan sebuah pengeras suara yang volumenya bisa diatur sesuai kebutuhan. Alat ini dilengkapi kabel sepanjang 2 meter sehingga dapat dilepas dan digantungkan/dipasang di atas dashboard atau kaca spion. Tanpa peralatan ini, penonton hanya akan menyaksikan film bisu.
Layar film berukuran 19 meter x 40 meter yang terpasang di arena drive in ini masih jelas menayangkan gambarnya hingga jarak terjauh 200 meter. Untuk itu, pengelola mendatangkan peralatan dari Jepang berupa tiga proyektor Toshiba ukuran 35/70. Proyektor ini mampu memproyeksikan dengan baik film ukuran 70 mm. Jika penonton butuh makanan/minuman, sebuah kafe disiapkan di tengah arena dengan hidangan yang bisa dinikmati di dalam mobil.
Pengunjung yang akan menikmati sajian film akan ditarik biaya antara Rp 100 sampai Rp 500 per orang, tergantung dari film yang diputar. Tiap malam pertunjukan berlangsung dari pukul 19.00-24.00. Diputar satu film atau lebih secara terus-menerus, pengunjung hanya membeli satu karcis dan mobil tidak bayar alias gratis. Penonton pun dapat bebas keluar masuk meskipun film sedang diputar.
Sabtu (11/7/1970) malam, ratusan mobil memadati arena bioskop termegah dan termodern di Asia Tenggara untuk menyaksikan pembukaan Jaya Ancol Drive In Theatre. Dua buah film, How To Get Married dan The Outlaws menjadi film pertama yang diputar dan disaksikan oleh Gubernur Ali Sadikin bersama undangan yang hadir di acara tersebut. Angin pantai Bina Ria mengiringi pemutaran film yang juga dinikmati oleh ratusan penonton di luar arena meskipun suara film tidak dapat didengar.
Dalam perkembangan selanjutnya, munculnya kaset video, televisi kabel, hingga internet merupakan pukulan tersendiri dari keberlangsungan bioskop drive in. Pada hari ulang tahun ke-13 Pasar Seni, Minggu (28/2/1988) sore, Ir Ciputra, Direktur Utama Badan Pelaksana Pembangunan Proyek Ancol PT Pembangunan Jaya, memutuskan untuk menggunakan tanah teater mobil (drive in) ini untuk pengembangan Pasar Seni. Dengan demikian, satu-satunya teater mobil di Indonesia yang terletak di kompleks Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, akan ditutup.
Sumber: Kompas, Senin, 26 Juni 1967, halaman 2; Kompas, Selasa, 27 Juni 1967, halaman 2; Kompas, Kamis, 24 Agustus 1967, halaman 2; Kompas, Sabtu, 11 November 1967, halaman 2; Kompas, Senin, 6 Oktober 1969, halaman 2; Kompas, Senin, 13 Oktober 1969, halaman 1; Kompas, Sabtu, 2 Mei 1970, halaman 2; Kompas, Rabu, 8 Juli 1970, halaman 1; Kompas, Senin, 13 Juli 1970, halaman 1; Kompas, Rabu, 28 Juli 1971, halaman 5, Buku: Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol, Juni 2010.