Ketahanan pangan masyarakat di perdesaan Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, semakin menurun. Masyarakat yang dulu bisa memenuhi kebutuhan dengan beragam sumber pangan kini semakin bergantung pada beras yang harus dibeli dari luar.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
WAINGAPU, KOMPAS — Ketahanan pangan masyarakat di perdesaan Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, semakin menurun. Masyarakat yang dulu bisa memenuhi kebutuhan dengan beragam sumber pangan kini semakin bergantung pada beras yang harus dibeli dari luar.
”Sampai tahun 1980-an, kami belum beli beras dari luar karena hasil ladang sudah cukup dan jalan ke kota masih susah. Hasil ladang selain padi, watar willi (sorgum), uhu kani (jewawut), dan macam-macam umbi,” kata Yusuf Umburutung (57), warga Desa Mauramba, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, yang ditemui pada Minggu (23/7/2019) di Waingapu.
Beberapa jenis umbi yang pernah menjadi konsumsi masyarakat adalah litang, ganyong, luwa, ubi jalar, singkong, dan keladi. Umbi yang masih dibudidayakan di antaranya singkong dan ubi jalar, tetapi lebih banyak untuk pakan ternak.
”Saat ini, warga hanya makan beras dengan jagung. Tetapi, hasil dari sawah dan ladang tidak cukup sehingga harus beli dan tergantung bantuan rastra (beras sejahtera),” kata Kepala Desa Mauramba Stepanus Tamu Ama.
Hasil ladang dan sawah di desanya hanya bisa mencukupi kebutuhan pangan masyarakat sekitar empat bulan setelah panen. Mulai September hingga April, masyarakat biasanya mulai membeli beras dari luar.
”Sekarang tanaman padi semakin sedikit hasilnya karena hama yang banyak dan hujan semakin tidak tentu. Sorgum sebenarnya cocok di sini, hasilnya bagus. Tetapi, masyarakat jarang tanam lagi karena mau praktis. Beras sudah ada. Selain bantuan rastra juga bisa beli,” kata Yusuf.
Sekarang tanaman padi semakin sedikit hasilnya karena hama yang banyak dan hujan semakin tidak tentu.
Cocok dengan iklim
Situasi serupa terjadi di Desa Meurumba, Kecamatan Kahaungu Eti. Kepala Desa Meurumba Balla Nggiku (60) mengatakan, sebelum tahun 1980-an, sorgum masih menjadi salah satu makanan pokok yang dibudidayakan masyarakat.
”Waktu kecil masih sering makan sorgum, tetapi sejak 20 tahun terakhir tidak pernah lagi. Dari 290 keluarga di desa, yang tanam sorgum mungkin tidak sampai 10 keluarga,” katanya.
Balla mengatakan, setiap keluarga harus membeli beras dari luar 50-100 kilogram per bulan. Iklim di Sumba Timur yang relatif kering dengan hari hujan yang terbatas sebenarnya memang kurang cocok dengan padi sehingga perubahan pola konsumsi masyarakat ke beras menimbulkan defisit pangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumba Timur tahun 2016, produksi beras lokal untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras masyarakat Sumba Timur hanya 32,5 persen dari total konsumsi 125.427 ton.
Padahal, jika menerapkan pola budidaya ragam tanaman seperti dipraktikkan masyarakat Sumba Timur sebelum tahun 1980-an, mereka bisa swasembada pangan. Umbu Naitarap (48), warga Desa Desa Meurumba yang masih menanam sorgum, mengatakan, hasil panennya selalu bagus.
”Sorgum tidak ada hama, hasilnya selalu baik. Hanya saja, pengolahannya lebih repot karena kulitnya lebih keras sehingga numbuk-nya susah. Kalau ada mesin penyosoh seperti untuk padi, pasti akan lebih banyak yang tanam sorgum,” katanya.
Situasi di Sumba Timur ini sejalan dengan hasil studi Delphine Renard dari Universitas California Santa Barbara, Amerika Serikat, dan David Tilman dari Universitas Montpellier, Perancis, yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Kamis (20/6/2019).
Kajian yang dilakukan dengan membandingkan panen tahunan 176 jenis tanaman di 91 negara selama lima dekade ini menemukan, keberagaman budidaya tanaman terbukti menjadi solusi paling efektif untuk meningkatkan produksi dan ketahanan pangan. Keberagaman budidaya tanaman, terutama yang sesuai dengan agroklimatologinya, juga direkomendasikan di tengah tren perubahan iklim.
Dalam kajian ini disebutkan, keberagaman budidaya pangan bisa menutupi penurunan panen jenis tanaman tertentu melalui jenis tanaman lain yang lebih tahan kekeringan. Sorgum termasuk jenis tanaman yang direkomendasikan untuk daerah beriklim kering.
Kajian peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Serelia Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Marcia Pabendon, menyebutkan, daerah NTT yang beriklim kering bisa mencukupi pangan jika mengembangkan sorgum. Tanaman ini butuh cahaya matahari 9-12 jam sehari sehingga cocok di NTT. Sorgum punya efisiensi fotosintesis tinggi sehingga optimal di tanah dengan sumber hara dan air terbatas.