Deru perahu ketinting membuat orang bersorak dari pantai. Para nelayan bertambah semangat memacu perahunya menyibak laut. Itu semangat sekaligus tekad baru di pesisir Kelurahan Panau, Kecamatan Tawaeli, Kota Palu, Sulawesi Tengah, setelah sempat redup karena hantaman gempa dan tsunami, sembilan bulan lalu.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
Deru perahu ketinting membuat orang bersorak dari pantai. Para nelayan bertambah semangat memacu perahunya menyibak laut. Itu semangat sekaligus tekad baru di pesisir Kelurahan Panau, Kecamatan Tawaeli, Kota Palu, Sulawesi Tengah, setelah sempat redup karena hantaman gempa dan tsunami, sembilan bulan lalu.
Delapan perahu pertama melaju setelah diberi aba-aba. Dari pantai, perahu seperti melayang-layang di permukaan laut yang berombak kecil. Perahu-perahu dipacu untuk menjadi terdepan dengan lintasan membentuk lingkaran. Saat pemandu acara menyebut nama perahu dan pemiliknya sebagai juara pada akhir lomba, tepuk tangan dan teriakan riuh. Penonton menyebut-nyebut nama pemenang. Suasana itu berulang di empat sesi selanjutnya.
Ini baru pertama kali kami bersenang-senang lagi di pantai setelah bencana. Saya sangat gembira.
Lomba perahu ketinting tersebut dilakukan di Pantai Talise, Kelurahan Panau, Selasa (25/6/2019). Warga baik laki-laki dan perempuan, tua ataupun muda, serta anak-anak berbaris di pantai memberikan dukungan kepada anggota keluarga mereka yang berlomba.
Suasana tersebut istimewa sejak sembilan bulan lalu kawasan itu dilanda gempa bumi dan tsunami. Jarang banyak orang berkumpul dalam suasana penuh tawa di pantai. ”Ini baru pertama kali kami bersenang-senang lagi di pantai setelah bencana. Saya sangat gembira,” kata Zakinah (24), warga RT 002 RW 004, yang datang bersama dua buah hatinya yang masih kecil.
Gempa bumi disertai tsunami dan likuefaksi melanda Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong, 28 September 2018. Kawasan pesisir Teluk Palu, termasuk Kelurahan Panau, hancur dihantan tsunami. Banyak warga menjadi korban.
Keriuhan di pantai tersebut seperti deja vu.Sebelum tsunami, warga Panau kerap menghelat perlombaan, lebih sering dengan perahu berlayar. Dalam setahun, lomba perahu layar itu tak kurang empat kali dilakukan. Lomba bertepatan dengan 17 Agustus dan hari-hari keagamaan Islam.
”Situasinya seramai ini dulu. Warga ramai ke pantai. Dengan situasi begini, saya merasa seperti tak alami bencana. Semangat ini yang kami bangun ke depan,” ujar Juhali (59), nelayan di RT 001 RW 004, yang juga Sekretaris Persaudaraan Pengungsi Panau Bangkit (P3B).
Donasi lembaga amal
Lomba perahu ketinting tersebut bagian dari rangkaian acara penyerahan 30 perahu kepada warga Panau dari donasi lembaga amal Taiwan, The Mustard Seed Mission, yang didukung Pemerintah Taiwan dan Taipe Economic and Trade Office (TETO) di Surabaya, Jawa Timur. Perahu, sakaya dalam bahasa Kaili, bahasa suku Kaili, salah satu suku yang mendiami pesisir Teluk Palu, tersebut mulai digunakan nelayan sejak sebulan lalu.
Situasinya seramai ini dulu. Warga ramai ke pantai. Dengan situasi begini, saya merasa seperti tak alami bencana. Semangat ini yang kami bangun ke depan.
Perahu tersebut berpanjang 6,5 meter dengan lebar 45 sentimeter. Perahu dilengkapi mesin 6,5 PK dengan poros di sisi kiri dan kanan untuk keseimbangan perahu.
Juhali menyatakan, nelayan Panau baru ramai lagi melaut setelah mendapatkan bantuan perahu tersebut. Hanya sejumlah nelayan yang melaut tak lama bencana berselang karena perahu mereka tak rusak. Sementara nelayan yang perahunya hilang dan tak bisa dipakai memilih bekerja serabutan, terutama jadi tukang bangunan.
Perairan Panau kaya akan ikan teri atau ronodalam bahasa Kaili. Nelayan bisa mendulang hingga Rp 4 juta per hari dari hasil penjualan teri tersebut sebelum tsunami melanda. Populasi ronopun tak berkurang pascatsunami.
Juhali menyatakan, melalui P3B, nelayan membentuk koperasi simpan pinjam untuk kembali menggairahkan ekonomi penyintas. Koperasi juga akan menjual alat-alat tangkap agar nelayan tak pergi jauh membelinya.
Direktur Jenderal TETO di Surabaya Benson DS Lin menyatakan, Taiwan terlibat aktif membantu Sulteng sejak masa tanggap darurat bencana. Tak kurang dari Rp 42 miliar digelontorkan Pemerintah Taiwan, TETO, dan The Mustard Seed Mission untuk meringankan beban penyintas, baik secara langsung kepada penyintas maupun melalui lembaga amal di Indonesia, seperti Palang Merah Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat lokal. ”Kami berharap keadaan masyarakat di Sulteng kembali normal dan bertambah semangat,” ujarnya.
Chief Executive Officer The Mustard Seed Mission Anne Wu mengungkapkan, pihaknya merasa sangat dekat dengan Indonesia. Bantuan tetap akan terus digulirkan, terutama untuk pemulihan ekonomi-sosial penyintas, melalui koordinasi dengan LSM lokal.
Penyintas di Sulteng pada umumnya memang sudah kembali beraktivitas normal, ada yang membuka kios di hunian sementara serta menanam jagung di lahan yang tak lagi dialiri air karena irigasi hancur. Bantuan-bantuan dari pemerintah dan lembaga amal turut menjadi stimulan pemulihan sosial-ekonomi penyintas. Deru perahu ketinting di perairan Panau menguatkan kembali semangat untuk bangkit.