Penurunan Emisi Energi dari Pertemuan G-20 Dinanti
›
Penurunan Emisi Energi dari...
Iklan
Penurunan Emisi Energi dari Pertemuan G-20 Dinanti
Pertemuan G-20 di Jepang diharapkan menjadi momen bagi dunia untuk menyudahi penggunaan energi kotor secara total. Negara maju pun diminta tak membiayai pembangunan pembangkit energi berbahan bakar batubara di Indonesia.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertemuan negara-negara maju G-20 di Jepang diharapkan menjadi momen bagi dunia untuk menyudahi penggunaan energi kotor secara total dan menyeluruh. Negara maju pun diminta mengaplikasikan kebijakan penurunan emisinya dengan tak membiayai pembangunan pembangkit energi berbahan bakar batubara di Indonesia.
Apabila negara maju tetap melakukannya, hal itu dinilai sebagai ketidakkonsistenan dengan memindahkan pelepasan emisi ke negara berkembang. Pemindahan emisi seperti ini tak sejalan dengan upaya penurunan emisi untuk bersama-sama mengerem laju perubahan iklim.
Koalisi Organisasi untuk Keadilan Energi juga meminta Pemerintah Indonesia meninjau berbagai kebijakan energi di dalam negeri. Di antaranya adalah menghentikan eksploitasi batubara untuk tujuan ekspor ataupun pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara.
Dari sisi keadilan, Manajer Kampanye Keadilan Iklim dan Isu Global Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Yuyun Harmono, bagian dari koalisi, mendorong agar pemenuhan kebutuhan energi listrik tersebut disediakan masyarakat, bukan lagi korporasi besar.
”Transisi tidak hanya dari sumber energi kotor ke bersih, tetapi juga pengelolaan, bahwa masyarakat menjadi pemain. Listrik 1 x 1.000 megawatt (MW) dibanding 1.000 x 1 MW, kan, besarnya sama, kenapa logika kita tidak main di situ,” ujarnya, Senin (24/6/2019), di Jakarta.
Transisi tidak hanya dari sumber energi kotor ke bersih, tetapi juga pengelolaan, bahwa masyarakat menjadi pemain.
Karena kapasitas penyediaan energi kecil-kecil seperti itu, misalnya didapat dari panel surya atau mikrohidro, penggunaan batubara tidak menjadi pilihan masyarakat penyedia listrik. Itu karena terkait pengangkutan, pengumpulan, dan pembakaran yang membutuhkan suplai dan mekanisme panjang.
Langkah ini membutuhkan kesiapan industri penyedia elemen/alat pembangkit listrik ataupun operator. Karena itu, kontribusi lintas kementerian, seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pendidikan, sangat penting. ”Jadi, nanti kita tidak hanya tergantung China dalam penyediaan solar panel,” ujarnya.
Peta jalan menuju energi terbarukan ini yang belum dimiliki Indonesia. Ia mendorong Indonesia berkomitmen menyusun peta jalan untuk bertahap keluar dari ketergantungan pada energi fosil. Strategi pembangunan rendah karbon 2020-2024 yang disusun Bappenas berupa perencanaan jangka pendek.
Yuyun mencontohkan, negara maju seperti Austria memiliki target pada tahun 2025 melepaskan diri dari energi kotor batubara, Jerman pada tahun 2038 dan China pada 2050. Dari sisi komitmen penurunan emisi, menurut catatannya, baru enam negara anggota G-20 yang memiliki rencana jangka panjang terkait penurunan emisi hingga 2050 yang didaftarkan di PBB. Keenam negara itu adalah Inggris, Meksiko, Kanada, Perancis, AS, dan Jerman.
Jika semua anggota G-20 memiliki rencana jangka panjang, hasilnya akan signifikan bagi bumi. Ini karena semua negara G-20 ini yang menyumbang 75-80 persen emisi dunia. ”Rencana jangka panjang ini penting untuk melihat sejauh mana komitmen negara untuk menurunkan emisi dalam jangka panjang. Tidak hanya Kesepakatan Paris yang hingga 2030,” katanya.
Membiayai pembangunan
Tuan rumah pertemuan G-20, Jepang, kata Yuyun, diminta tak lagi membiayai pembangunan PLTU berbahan bakar di Indonesia. Demikian pula desakan koalisi kepada China dan Korea (juga anggota G-20) yang bersama Jepang menjadi investor utama pembangunan PLTU berbahan bakar batubara.
Ia berharap pertemuan G-20 bisa merumuskan sistem mandatori/wajib dijalankan bagi negara anggotanya untuk bersama-sama meninggalkan energi kotor. Catatannya, dalam pertemuan G-20 di Brisbane 2014, sembilan poin kolaborasi energi disepakati para kepala negara, di antaranya penghapusan subsidi bahan bakar serta mendorong demonstrasi dan inovasi energi bersih.
Kemudian, pada G-20 di China, disepakati rencana aksi terkait energi baru dan terbarukan pada level menteri. Karena kesepakatan hanya pada level menteri, hal ini tak memberi tekanan bagi negara itu. Seperti bauran energi di Indonesia, komposisi EBT pada 2025 ditargetkan 23 persen dan saat ini pencapaian pembangkit listrik menggunakan EBT baru 11,4 persen dari total penyediaan listrik.
”Kalau level koordinasi berhasil, tetapi kalau penerapannya tidak ada reward dan punishment. Jangan berharap G-20 akan selesaikan semua persoalan,” katanya.
Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang Melky Nahar, bagian koalisi, mengatakan, eksploitasi batubara menimbulkan berbagai permasalahan, mulai dari hulu lokasi pertambangan, pengangkutan, hingga penimbunan dan pembakarannya di PLTU. Ia mengatakan, dampak lubang tambang batubara di Kalimantan Timur yang telah menenggelamkan puluhan bocah menunjukkan karut-marut pengelolaan tambang.
Selain itu, kriminalisasi warga serta konflik agraria mewarnai aktivitas tambang batubara di Indonesia. ”Kenapa pemerintah bergantung batubara, ini tidak semata tren global, tetapi justru batubara sebagai ladang bisnis basah,” ujarnya.
Muhammad Reza, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, heran dengan kebijakan Indonesia yang masih menekankan pada energi fosil. ”Sejak 2007, saya mendengar bahwa kita krisis minyak dan perlu penggalian sumber baru, tetapi larinya ke batubara,” ucapnya.
Sebagai anggota G-20, Indonesia juga dinilai menjadi pasar dan ”pembuangan” teknologi bahan bakar kotor negara maju. ”Indonesia tidak jelas posisinya bagi G-20. Ambigu, Indonesia korban dalam perkumpulan kelompok yang memproduksi kehancuran,” katanya.
Dalam siaran pers, 15 Juni 2019, terkait pertemuan G-20 di Jepang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan mendorong diversifikasi energi yang dapat diakses masyarakat di kawasan terisolasi dan pulau-pulau kecil. Hal ini sedang dibahas dan didiskusikan oleh KLHK serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mendapatkan pilihan energi dengan harga yang terjangkau masyarakat sesuai aturan perundang-undangan.
Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan bahwa prinsip no one left behind atau tak ada yang tertinggal sangat penting dalam transisi energi dan pembangunan berkelanjutan. Hal ini mengingat transformasi energi perlu dilakukan secara cermat karena menyangkut kemampuan dan keterjangkauan masyarakat.
Faktor nilai dan harga menjadi pertimbangan terkait beban anggaran negara dan harga produk listrik. Pada tingkat menteri dan tingkat eselon I, KLHK dan ESDM secara intensif melakukan diskusi tentang hal ini. Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar juga akan mendalami lagi Rencana Umum Energi Nasional serta strategi dan kebijakan dalam dokumen-dokumen kerja Dewan Energi Nasional.