JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi menolak jika delik korupsi dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Yang dibutuhkan saat ini adalah revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga aturan itu memuat sejumlah ketentuan di konvensi PBB tentang antikorupsi seperti praktik korupsi di sektor swasta.
Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang, Senin (24/6/2019) dalam seminar bertema “Menelaah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam RKUHP” di Jakarta menuturkan, delik korupsi tetap perlu diatur dalam undang-undang tersendiri.
Selain Rasamala, hadir sebagai pembicara dalam acara yang digelar oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP itu adalah mantan pimpinan KPK Chandra M Hamzah dan peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Siska Trisia. Bertindak sebagai moderator adalah peneliti ICW Lalola Easter.
Rasamala menuturkan, salah satu sebab penolakan itu terkait dengan jumlah delik tipikor di RKUHP yang terus berubah sejak draf tahun 2008.“Draf (tahun) 2008 ada 10 delik korupsi, tahun 2012 ada 15 delik korupsi. Lantas, pada draf akhir yang disetujui pemerintah dan DPR pada Mei 2018, ada lima delik korupsi," katanya.
Selain itu, menurut Rasamala, ada kemungkinan munculnya kesulitan untuk menerapkan sanksi uang pengganti dalam perkara korupsi jika delik tersebut masuk dalam RKUHP. Selain itu, dalam RKUHP, pemidanaan merupakan penyelesaian akhir bagi kasus-kasus yang ada. “Ini tentu persoalan, karena KPK mendorong sanksi maksimal agar penegakan hukum (berlangsung) efektif,” katanya.
Menanggapi hal itu, Chandra M. Hamzah mengatakan, masuk atau tidaknya delik korupsi dalam RKUHP bukan merupakan masalah.
Ia menuturkan, asalkan terdapat pasal-pasal yang menjembatani, maka kewenangan KPK tidak akan rontok jika ketentuan korupsi masuk di RKUHP. “Perdebatannya (delik korupsi) masuk atau tidak. Kalau masuk, bikin (pasal-pasal) jembatan,” ujar Chandra.
Sementara itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Institute for Criminal Justice Reform, dan MaPPI merekomendasikan sejumlah hal, antara lain agar pemerintah dan DPR tidak buru-buru mengesahkan RKHUP. Pasalnya, masih banyak polemik terkait RUU itu, seperti delik korupsi.
Apabila pemerintah dan DPR tetap kukuh memasukkan pasal -pasal korupsi dalam RKUHP, maka perlu banyak penyesuaian dan perbaikan.