Korban jiwa warga sipil terus jatuh di tengah berlangsungnya operasi keamanan Tinombala di Sulawesi Tengah. Polisi diminta bisa memberikan rasa aman agar warga bisa beraktivitas sehari-hari dengan aman.
Oleh
·4 menit baca
PALU, KOMPAS - Korban jiwa warga sipil terus jatuh di tengah berlangsungnya operasi keamanan Tinombala di Sulawesi Tengah. Polisi diminta bisa memberikan rasa aman agar warga bisa beraktivitas sehari-hari dengan aman.
Dua warga Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, bapak dan anak, ditemukan tewas dengan luka gorok di leher di kebun mereka di pegunungan, Selasa (25/6/2019). Kepolisian belum memastikan keterlibatan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dalam kejadian itu, meskipun wilayah tersebut masuk dalam daerah Operasi Tinombala, operasi pengejaran terhadap kelompok tersebut.
Bapak-anak, Tamar (50) dan Patmar (27) ditemukan tewas dengan luka di leher, jari tangan, pangkal paha, dan bagian belakang kepala. Keduanya warga Dusun Tokasa, Desa Tanalantu, Kecamatan Torue, Parigi Moutong.
Kedua korban bersama dua warga lainnya pergi ke kebun kakao mereka di Pegunungan Watu Tiga, Desa Tindaki, Kecamatan Parigi Selatan, lima kilometer dari Desa Tanalantu yang terletak di pinggir Jalan Trans-Sulawesi, Senin (24/6/2019).
Saat hari mulai malam, dua warga mencari Tamar dan Patmar untuk pulang ke kampung. Namun, keduanya tak ada di kebun. Keduanya sempat dicari sampai malam. Pada Selasa pagi, warga kembali mencari keduanya. Warga bersama anggota kepolisian lalu mendapati keduanya dalam keadaan tak bernyawa 20 meter dari kebun mereka.
"Operasi keamanan gagal total karena tujuan utama operasi memberikan rasa aman kepada warga dari keberadaan kelompok teroris. Bayangkan, warga yang menjalankan hak hidupnya yakni berkebun menjadi korban di tengah berlangsungnya operasi," kata Koordinator Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulteng, Moh Affandi di Palu, Sulteng, Rabu (26/6/2019).
Operasi Tinombala untuk mengejar kelompok teroris MIT digelar sejak 2016. Operasi dilakukan di pegunungan Kabupaten Poso dan Parigi Moutong. Anggota kelompok tersebut tersisa 10 orang dari total tak kurang dari 40 orang sejak operasi mulai digelar.
Affandi menegaskan keberhasilan operasi keamanan tidak diukur dengan berapa banyak anggota MIT yang tewas atau ditangkap, tetapi seberapa besar sumbangannya untuk rasa aman warga.
Agar korban sipil tak terus menjadi korban, ia menyatakan kepolisian perlu mengubah pendekatan operasi. Jalan ideal adalah pendekatan damai dengan menjalin dialog atau komunikasi intensif dengan tokoh-tokoh agama di Poso atau Parigi Moutong. Pendekatan tersebut memang membutuhkan waktu lama. Namun, langkah itu diyakini bisa membuat anggota MIT "turun gunung".
Menurutnya jika anggota MIT turun gunung, mereka mengikuti program deradikalisasi yang dijalankan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. "Pendekatan penindakan hukum (pengejaran) selama ini tak menyelesaikan masalah. Kini saatnya pemerintah bersama aparat memikirkan bentuk lain operasi agar korban sipil tak terus berjatuhan," kata Affandi.
Terlepas dari belum dipastikannya keterlibatan kelompok MIT pada pembunuhan tiga hari lalu itu, kasus yang mirip dengan pembunuhan tersebut pernah terjadi pada awal September 2015 atau dua minggu sebelum acara nasional Sail Tomini di Parigi Moutong dihelat. Tiga warga Kecamatan Torue ditemukan tewas di kebunnya di pegunungan dengan luka di leher. Di awal tahun sama, tiga warga Desa Tangkura, Kabupaten Poso, juga tewas dibunuh di kebun. Atas dua kasus itu, kepolisian memastikan pelaku pembunuhan anggota MIT. Operasi pengejaran digelar juga waktu itu dengan sandi Operasi Aman Maleo.
Rentetan kasus pembunuhan di kebun tersebut membuat khawatir warga Kecamatan Torue. “Jelas ini tanggung jawab pemerintah, khususnya aparat kepolisian. Warga yang memiliki kebun di pegunungan selalu dibayangi kekhawatiran akan keselamatannya saat mencari nafkah,” kata Timo Jelahu (36), warga Kecamatan Torue.
Jelas ini tanggung jawab pemerintah, khususnya aparat kepolisian. Warga yang memiliki kebun di pegunungan selalu dibayangi kekhawatiran akan keselamatannya saat mencari nafkah
Sejak kasus pembunuhan pada 2015, banyak warga tak mengolah lagi kebun kakaonya di pegunungan. Tak sedikit pula warga yang menjual murah kebunnya meskipun sulit dibeli karena alasan keamanan.
Menurutnya sulit memang kepolisian mengawal warga yang berkebun. Namun, karena adanya operasi keamanan, warga harus dipastikan terjamin keselamatannya.
“Agar bayang-bayang kekhawatiran ini tak menjadi mimpi buruk terus, kami mendesak agar kepolisian serius memburu anggota teroris. Hanya itu caranya,” ucapnya.
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Ajun Komisaris Besar Didik Supranoto menanggapi pihaknya akan meningkatkan pengamanan terhadap warga atau mengubah strategi. Namun, ia tak menyebut secara rinci perubahan strategi yang dimaksud. “Ini salah satu bahan analisis dan evaluasi bagi pimpinan kami,” katanya.
Didik tetap meminta masyarakat untuk memberikan informasi terkait keberadaan kelompok MIT. Penyampaian informasi bisa dilakukan melalui telepon genggam kepada aparat biar lebih aman.