Dua Calon Mengadu ke Ombudsman
JAKARTA, KOMPAS — Dua calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia 2019-2022 mengadukan dugaan ketidaktransparanan panitia seleksi dalam proses seleksi calon anggota KPI 2019-2022 ke Ombudsman Republik Indonesia. Mereka mempersoalkan transparansi pansel dalam proses seleksi ini.
Pengaduan disampaikan Supadiyanto, calon anggota KPI 2019-2022 asal Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Sapardiyono, calon anggota KPI 2019-2022 asal Kulon Progo, DIY kepada Ketua Ombudsman RI Profesor Amzulian Rifai, Rabu (26/6/2019). “Kami bermaksud mengadukan langsung kepada Ombudsman Republik Indonesia atas indikasi terjadinya maladministrasi dalam proses seleksi calon Anggota KPI 2019-2022,” kata Sapardiyono, Kamis (27/6) kepada Kompas.
Beberapa hari setelah Ketua Pansel Ahmad M Ramli mengumumkan pembukaan pendaftaran calon anggota KPI 2019-2022 tanggal 5 November 2018, pansel langsung menyampaikan ke publik hasil seleksi administrasi calon anggota KPI 2019-2022 tanggal 30 November 2018 di mana terdapat 207 calon yang lolos seleksi administrasi. Berikutnya, pada 17 Desember 2018 pansel juga mengumumkan hasil seleksi penulisan makalah calon anggota KPI 2019-2022 yang meloloskan 54 calon pada tahap tersebut.
Pansel kembali mengumumkan pelaksanaan asesmen psikologis dan Tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) pelamar tanggal 7 Januari 2019 yang hasilnya bisa diakses melalui laman https://seleksi.kominfo.go.id/seleksi-kpi-2018 dan https://www.kominfo.go.id. Setelah itu, disebutkan ada 49 orang yang dinyatakan berhak mengikuti seleksi wawancara pada 4-5 Maret 2019 di Hotel Aryaduta Jakarta.
“Setelah selesai seleksi wawancara di atas, pansel menggelar rapat pleno bersama untuk menentukan 27 nama yang ditetapkan untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Berdasarkan hasil investigasi kami, 27 nama inilah yang ditetapkan oleh pansel yang diberikan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun faktanya, terjadi perubahan nama menjadi 34 nama,” ujar Sapardiyono.
Hal yang mengejutkan Supadiyanto dan Sapardiyono, dalam daftar baru yang berisi 34 nama calon tersebut, nama mereka justru lenyap. Padahal, awalnya nama Supadiyanto dan Sapardiyono muncul dalam daftar awal 27 nama yang beredar tetapi kemudian diralat dan tidak diakui pansel.
Hal yang mengejutkan Supadiyanto dan Sapardiyono, dalam daftar baru yang berisi 34 nama calon tersebut, nama mereka justru lenyap.
“Pansel wajib memberikan laporan kepada publik sekaligus lembaga berwenang mengenai transparansi atas hasil seleksi atau tahapan yang sudah selesai dilakukan berupa hasil penilaian atau skoring yang selama menjadi basis rujukan dalam perangkingan untuk menentukan lolos atau tidaknya para calon anggota KPI 2019-2019 sejak tahap awal hingga akhir,” tambah Sapardiyono.
Masalah prosedural substansial
Pengamat media sekaligus dosen Program Studi Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Masduki, mengatakan, saat ini terdapat empat masalah prosedural substansial yang tampak dalam proses seleksi calon anggota KPI 2019-2022. Pertama, jumlah anggota pansel yang mencapai 16 orang terlalu gemuk sehingga menyulitkan koordinasi, pengambilan keputusan, dan cenderung rawan kompromi berbagai kepentingan non penyiaran.
Saat ini terdapat empat masalah prosedural substansial yang tampak dalam proses seleksi calon anggota KPI 2019-2022.
“Posisi ketua pansel yang ditempati pejabat tinggi Kominfo juga tidak terlalu tepat, sebab berpotensi melakukan intervensi kepentingan pemerintah. Padahal, KPI adalah lembaga regulator yang secara normatif hadir untuk mewakili publik. Kominfo yang notabene merupakan regulator pemerintah adalah mitra KPI, bukan atasan KPI,” kata mahasiswa program doktoral Institute for Communications and Media Research, The University of Munich tersebut.
Menurut Masduki, ke depan, anggota pansel harus lebih sedikit, idealnya sekitar 7-9 orang dan ketuanya harus berasal dari unsur publik, bukan pemerintah. Bahkan, supaya tidak menjadi “jeruk makan jeruk”, seleksi calon anggota KPI semestinya tidak lagi dilakukan di Kementerian Kominfo, tetapi Sekretariat Negara atau dilakukan oleh tim independen yang dibentuk langsung oleh Komisi I DPR.
Pelaksanaan seluruh tahapan seleksi tidak secara konsisten mengacu prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Jika pada tahap seleksi administrasi, makalah dan psikologi ada pengumuman terbuka, pada tahap akhir sebelum dikirim ke DPR, pansel justru tidak mengumumkan terlebih dahulu nama-nama yang dinyatakan lolos untuk didengar pendapat publik. “Ini tidak lazim, karena seleksi lembaga negara lain justru terbuka di semua proses,” ucapnya.
Pada tahap akhir sebelum dikirim ke DPR, pansel justru tidak mengumumkan terlebih dahulu nama-nama yang dinyatakan lolos untuk didengar pendapat publik.
Upaya rekam jejak terhadap semua calon anggota KPI tampak tidak diupayakan secara maksimal dan terbuka. Sebagai contoh, upaya pelibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak secara terbuka diumumkan oleh pansel dan hasilnya juga tidak ada pernyataan apakah akan dipakai sebagai acuan atau tidak.
Terhadap calon petahana, menurut Masduki, pansel tampak melakukan pengistimewaan dengan memberikan tiket lolos hingga tahap uji kelayakan dan kepatutan di parlemen. Artinya, pansel tidak mengacu sepenuhnya kepada proses seleksi yang sudah dilakukan pada semua tahapan.
Seharusnya justru terhadap calon incumbent dilakukan seleksi lebih ketat dengan memperhatikan kinerja selama menjabat. Terhadap calon petahana, pansel seharusnya juga membuat audit kinerja dengan melibatkan publik. Belajar dari tradisi pemilihan pimpinan KPK, tidak ada keharusan untuk memilih satu atau beberapa orang incumbent untuk menjabat pada periode berikutnya.
“Berdasarkan catatan ini dan mengingat mepet-nya waktu seleksi akhir karena masa jabatan KPI periode ini akan selesai bulan Juli, maka kini bola ada di Komisi I DPR sebagai pemberi mandat pansel. Sebelum melakukan uji kelayakan dan kepatutan, Komisi I DPR harus segera memanggil pansel dan meminta keterangan terbuka soal simpang siur hasil seleksi KPI," kata Masduki.
Sebelum melakukan uji kelayakan dan kepatutan, Komisi I DPR harus segera memanggil pansel dan meminta keterangan terbuka soal simpang siur hasil seleksi KPI.
Sementara itu, jika ada indikasi kuat pengambilan keputusan yang tidak akurat berbasil hasil tes, Komisi I DPR harus meminta pansel untuk melakukan evaluasi ulang. Mengikuti ketentuan pada pasal 10 ayat 2 UU Penyiaran Nomor 32/2002, Komisi I DPR bertanggungjawab penuh atas nasib pansel dan hasilnya kepada masyarakat. Sebab, kekeliruan hasil menyebabkan lemahnya kinerja KPI di masa depan.
Hingga sehari pasca diumumkannya daftar 34 nama calon anggota KPI yang lolos ke tahap uji kelayakan dan kepatutan, tidak ada satupun anggota pansel yang bersedia memberikan pernyataan terkait hal ini. Jika dibandingkan dengan daftar 27 nama calon yang beredar sebelumnya, pada daftar 34 nama itu terdapat 10 nama baru yang terdiri dari 5 petahana dan 5 calon baru.