Tubuh Perempuan yang Kalah
Tubuh perempuan masih menjadi obyek diskriminasi dalam masyarakat hingga saat ini. Dari pelabelan hingga kekerasan fisik belum bisa dilepaskan dari perjalanan hidup perempuan hingga saat ini. Kata ”tubuh” dan ”perempuan” memiliki makna sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang didefinisikan masyarakat yang secara umum masih menganut patriarkisme.
Kekerasan terhadap perempuan dalam sejarah bangsa Indonesia ditulis dengan tinta hitam saat tragedi kerusuhan Mei 1998. Bentuk lainnya muncul dalam praktik budaya dan keseharian masyarakat, seperti sunat perempuan dan pelecehan seksual. Ruang privat, terutama keluarga, dan ruang komunitas bukanlah tempat steril untuk keamanan martabat perempuan.
Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan Tahun 2019 menyebut, tidak kurang dari 2.988 kasus kekerasan dalam berbagai bentuknya menimpa perempuan di ranah privat. Praktik inses dalam satu keluarga, pemerkosaan, dan pencabulan menempati tiga teratas bentuk kekerasan di ruang terdekat bagi perempuan ini.
Sementara itu, di ruang komunitas terjadi 3.616 kasus kekerasan. Pencabulan dan pemerkosaan paling banyak menimpa perempuan di kategori kekerasan seksual. Kasus perempuan dianiaya dan dipukul banyak ditemukan di kategori kekerasan fisik, sementara kasus pengancaman menimpa perempuan di kategori kekerasan psikis.
Tragedi Mei 1998
Peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang melatari tumbangnya rezim Orde Baru ternyata masih menyisakan cerita kelam bagi kaum perempuan, terutama para korban pemerkosaan dan kebrutalan massa. Kasus kekerasan seksual ini hingga sekarang belum terungkap secara terang benderang, bahkan cenderung dilupakan masyarakat.
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat, setidaknya terdapat 168 perempuan dari Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, dan Palembang yang mengalami pelecehan seksual hingga pemerkosaan massal. Sebagian besar korban adalah perempuan beretnis Tionghoa. Penuntasan kasus ini tetap menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah meski peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Mei 1998 ini sudah berselang 21 tahun lamanya.
Dua puluh tahun bukanlah waktu yang cepat untuk melupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang menimbulkan korban dengan trauma fisik dan psikis yang berat. Seiring dengan berjalannya waktu, memori masyarakat untuk terus mengingat Tragedi Mei tersebut pudar secara perlahan-lahan. Dampak dari susutnya memori publik ini adalah semakin sedikit publik yang memercayai fakta peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada Mei 1998 lalu.
Setidaknya, fenomena ini terekam dalam Jajak Pendapat Kompas pada 8-9 Mei 2019. Responden yang mengaku percaya bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan Tionghoa pada Tragedi Mei 1998 benar terjadi ”hanya” 54,8 persen. Responden justru lebih banyak percaya, Tragedi Mei sebagai peristiwa penjarahan dan pembakaran massal (76,4 persen) dan kerusuhan yang direkayasa oleh kelompok tertentu (57 persen).
Hasil jajak pendapat ini seakan menyuarakan kembali temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Mei 1998 oleh Komnas Perempuan. Temuan yang dirilis untuk ketiga kali pada 2006 itu masih mengindikasikan bahwa peristiwa tersebut kerap luput dari perhatian masyarakat dan cenderung dilupakan begitu saja meskipun data yang disajikan dalam laporan tersebut cukup untuk menyatakan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.
Pertanyaannya, mengapa peristiwa kekerasan seksual yang mengorbankan kaum perempuan kerap luput dari perhatian masyarakat atau cenderung dilupakan sehingga hilang begitu saja dari memori publik? Sebaliknya, para pelaku yang telah melanggar hak asasi perempuan justru dilepas atau diberi sanksi hukum yang relatif ringan.
Responden yang mengaku percaya bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan Tionghoa pada Tragedi Mei 1998 benar terjadi ’hanya’ 54,8 persen.
Konstruksi peran perempuan di Indonesia sebagai subordinat nyatanya turut melibatkan tubuh perempuan. Dalam tragedi yang terjadi 21 tahun lalu itu, sebagian perempuan tubuhnya menjadi obyek untuk dilucuti, dirusak, dan dihancurkan hingga ke sumsum jiwanya.
Di sisi lain, perjuangan untuk mengusut tragedi tersebut tetap berjalan hingga sekarang seiring menguatnya suara perempuan yang menuntut kesetaraan. Sayangnya, perjuangan tersebut masih kerap menghadapi tembok bernama kepercayaan dan tradisi masyarakat.
Komnas Perempuan sebagai pembela dan pelindung kelompok perempuan sudah sering menghadapi serangan ketika mengumpulkan data kekerasan terhadap perempuan. Para korban dan saksi mata cenderung bungkam karena kerap dihantui ancaman dan teror pembunuhan dari pihak luar apabila melaporkan peristiwa yang menimpa dirinya. Belum lagi, ada pula korban yang masih mengalami rasa trauma hingga bertahun-tahun setelah kejadian.
Pola serupa terjadi pula pada korban lainnya bernama Marsinah pada 1993. Sebagai aktivis buruh perempuan, ia tewas secara mengenaskan setelah aktif menyuarakan keprihatinan atas buruknya perlakuan manajemen terhadap pekerjanya. Pembunuhan yang teridentifikasi kekerasan seksual itu hingga kini menyisakan misteri.
Selain pengentasan kasus kelam terhadap perempuan di masa lalu, pemerintah juga harus menjamin keselamatan perempuan melalui upaya pencegahan, pembelaan hak, dan pengadaan hukum yang mewakili kesetaraan perempuan. Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga swadaya lainnya dari tahun ke tahun mengampanyekan hal ini kepada masyarakat. Perjuangan kaum perempuan, terutama terkait tubuhnya, kerap berhalangan dengan kepercayaan ataupun tradisi yang sudah mengakar di masyarakat.
Tubuh perempuan dan feminisme
Jika menilik feminisme dari akar pemikirannya, filsuf Perancis, Simone de Beauvoir, adalah sosok yang tepat. Dalam karyanya The Second Sex (1949), Beauvoir menyebut feminisme muncul dari budaya patriarki pada masa itu. Perempuan kerap diasosiasikan dengan peran sekunder (subordinat) di bawah laki-laki, mulai dari peran di masyarakat hingga penampilannya. Kebebasan tubuh perempuan terkekang dalam bingkai patriarkisme.
Konsep utama feminisme adalah perempuan mengenal dirinya dengan kesadaran penuh sehingga dapat menjalankan kehidupan dalam kesetaraan dengan laki-laki. Pernyataan itu dituangkan oleh Valentina Sagala dalam ”Pergulatan Feminisme dan HAM” (Institut Perempuan, 2007). Implikasinya, perihal tubuh pun perempuan sama seperti laki-laki dalam independensi dan martabat, contoh paling sederhana, dalam berpakaian dan gaya hidup sehari-hari.
Di Indonesia, wacana feminisme masih berkembang dan digaungkan terus-menerus. Lembaga-lembaga perempuan di Indonesia terus mencoba menerjemahkan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dari PBB yang diratifikasi Indonesia pada 1984. Di dalamnya, kesetaraan perempuan termasuk dalam perjuangan hak asasi manusia.
Lembaga-lembaga perempuan di Indonesia terus mencoba menerjemahkan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dari PBB yang diratifikasi Indonesia pada 1984.
Akan tetapi, perjuangan ini juga menimbulkan pertentangan. Misalnya, muncul gerakan di media sosial dengan tajuk ”Indonesia tanpa feminisme”(dimulai dari akun Instagram @indonesiatanpafeminis). Gerakan ini dilatarbelakangi kepercayaan sebagian pihak bahwa feminisme merupakan ajaran yang bertolak belakang dengan kepercayaan mereka.
Jauh sebelum munculnya tajuk di atas, pandangan adat dan tradisi juga menjadi tembok tersendiri bagi perjuangan perempuan. Misalnya, praktik poligami dan sunat perempuan yang masih dianut sebagian masyarakat. Bahkan, khususnya dalam sunat perempuan, pelukaan genital dilegalkan atas nama tradisi turun-temurun tanpa alasan medis yang mendukungnya (sebagai pembeda dengan sunat pada laki-laki).
Terlepas dari benar atau tidaknya kepercayaan dan tradisi di masyarakat, perjuangan kaum perempuan Indonesia masih dapat dikatakan panjang dan terjal. Jalan memutar juga senantiasa ditempuh dalam menyuarakan kesetaraan jender. Akan tetapi, jalan itu pun tak dapat serta-merta diinterpretasikan dengan mudah oleh masyarakat
Film sebagai media
Sayangnya, wacana tentang kesetaraan tubuh perempuan kerap kalah dengan isu-isu lain yang berkelindan di masyarakat. Dalam media film, para sineas lokal sudah merilis film dengan berbagai cerita bertemakan perempuan. Sayangnya, apresiasi masyarakat atasnya masih minim, bahkan salah interpretasi.
Salah satu film bertema perempuan yang terbilang sukses adalah Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Film fiksi ini menceritakan kisah balas dendam Marlina terhadap sekelompok pria yang telah memerkosanya dan mencuri ternaknya. Kendati tidak sukses dalam raihan jumlah penonton, film ini mampu mendapatkan berbagai penghargaan di Festival Film Indonesia ataupun internasional.
Tak lama ini, muncul pula dua film yang membawakan isu perempuan dan jender, yakni film Kucumbu Tubuh Indahku dan 27 Steps of May. Dalam capaian jumlah penonton, keduanya masih terbilang minim hingga film ini turun dari layar lebar. Film Kucumbu Tubuh Indahku hanya memperoleh 21.410 penonton, sedangkan film 27 Steps of May masih lebih beruntung, mendapat 46.741 penonton.
Sayangnya, wacana tentang kesetaraan tubuh perempuan kerap kalah dengan isu-isu lain yang berkelindan di masyarakat.
Kedua film itu memiliki pesan dalam mengenai perempuan dan jender, terutama tentang tubuh. Dalam film 27 Steps of May, diceritakan perempuan korban pemerkosaan yang berjuang dalam memulihkan diri. Tak hanya itu, sang ayah turut dikisahkan memiliki kisah rekonsiliasi tersendiri terhadap musibah yang menimpa putrinya itu.
Sementara itu, film Kucumbu Tubuh Indahku menawarkan refleksi atas tubuh seorang manusia. Film ini tidak hanya menyampaikan penderitaan tentang tubuh manusia yang lemah, rapuh dan ringkih sehingga mudah terluka, tetapi juga menyoal tubuh masyarakat dengan budayanya. Sayangnya, film ini justru sempat mendapat petisi dengan alasan memperkenalkan perilaku LGBT dalam media film.
Adanya petisi dan minimnya perhatian terhadap film-film di atas menandakan bahwa masyarakat belum dapat sepenuhnya menerima konsep kesetaraan jender ataupun tubuh yang bebas dalam berekspresi. Interpretasi yang rapuh dan terlalu menyederhanakan makna memang menjadi pekerjaan tersendiri. Dengan kata lain, jalan memutar harus senantiasa dicari dan ditempuh demi wacana tubuh perempuan yang setara di masyarakat. (Yohanes Mega Hendarto/Litbang Kompas)